Oleh : Nurmilati
Bengis, satu kata yang pantas disematkan pada seorang ayah di Bogor berinisial ADS (38) dengan kejamnya ia menganiaya 3 anak tiri dan satu anak kandungnya sejak tahun 2014 silam. Dengan dalih mendidik anak, ia tega menganiaya keempat anaknya dengan benda tumpul dan senjata tajam (sajam) seperti pisau, obeng, palu dan kunci inggris.
Menurut Wakapolresta Bogor Kota, AKBP Arsal Sahban, Selasa 23/2/2020. Penganiyaan itu sering dilakukan pelaku sejak awal menikah, namun istrinya (SH) memilih diam dengan alasan demi keutuhan rumah tangganya. SH berharap setelah memiliki anak bersama, perilaku suaminya akan berubah. Tetapi kian hari justru kekejamannya semakin menjadi. Hanya karena kesalahan sepele, pelaku tak segan menganiaya anak-anaknya.
Penganiyaan yang kerap dilakukan ADS baik secara verbal maupun fisik membuat anak-anaknya mengalami trauma, sehingga Polresta dan P2TP2A harus memberikan konseling pada korban, sementara pelaku dijerat pasal berlapis UU 3t/2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 43 Pidana tentang KDRT, Pasal 351 Pidana Penganiyaan dan ancaman hukuman di atas 10 tahun penjara.
Contoh kasus di atas hanya satu dari ratusan kekerasan terhadap anak dan KDRT di Kota Bogor. Dilaporkan sepanjang Januari-Maret 137 kasus kekerasan anak dan KDRT terjadi. Berdasarkan catatan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Bogor, tahun 2021 ada 25 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, 10 di antaranya kasus rujukan dari kepolisian. Sebagaimana disampaikan koordinator dan Advokat P2TP2A Kota Bogor Iit Rahmatin.
Bogor 25/3/2021
Sementara menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Dudih Syiaruddin mengatakan kasus kekerasan yang terjadi pada anak di tahun 2017 ada 30 kasus, tahun 2018 ada 48 dan di awal tahun 2019 tercatat 14 kasus.
Awal masa pandemi terdapat 112 kasus yang masuk dalam daftar P2TP2A Kota Bogor yang didominasi KDRT. Iit Rahmatin menduga hal ini terjadi karena tingginya intensitas pertemuan anggota keluarga selama pandemi sehingga mudah menimbulkan perselisihan dan pertengkaran bahkan tak jarang berujung pada penganiayaan yang dilakukan kepala keluarga terhadap anggota keluarganya.
Selain investigasi, P2TP2A juga melaksanakan fungsi pendampingan di kepolisian dan pengadilan, baik dari sisi hukum maupun psikologis untuk anak-anak. Sehingga diharapkan kondisi psikologis korban segera membaik. Dalam menangani hal ini polisi bersama P2TP2A di bawah naungan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) bersinergi untuk memberikan jalan keluar.
Kota Hujan dengan jargon Kota Ramah Keluarga, berharap menjadi kota yang mampu menjadikan rumah sebagai tempat yang mampu memberikan kenyamanan dan keamanan untuk semua anggota keluarganya. Namun, faktanya kekerasan terhadap anak dan KDRT yang terjadi dalam lingkup keluarga masih tinggi, rumah dan keluarga yang seharusnya memberi kebahagiaan dan ajang berkumpul anggota keluarga, justru menjadi tempat berbahaya yang dapat mengancam nyawa penghuninya.
Sekretaris Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor, Rudi Mashudi mengatakan, rapat koordinasi (Rakor) Gugus Tugas Kota Layak Anak Tingkat Kota dan kecamatan dilakukan untuk menyamakan persepsi upaya strategis guna mewujudkannya dan harus ada sinergi pemerintah pusat, provinsi dan kota.
Kota layak anak dipandang perlu keberadaannya saat pandemi Covid-19 dan diharapkan dapat membantu memberikan suasana masyarakat yang kondusif sehingga tidak ada lagi cerita buruk dialami anak-anak maupun KDRT yang menorehkan luka batin.
Tidak dapat dimungkiri, pandemi berdampak pula pada kondisi kesehatan dan terhambatnya roda perekonomian masyarakat yang berimbas pada kondisi rumah tangga. Hal ini dibahas dalam Rakor Gugus Tugas Kota Bogor Kota Layak Anak Tingkat Kota Bogor dan Tingkat Kecamatan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) 25/3/2021.
Di samping itu, pembelajaran yang dilakukan dengan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sudah membatasi ruang gerak dan interaksi dengan guru dan teman-teman sehingga sangat memengaruhi psikis dan mudah menimbulkan stres pada anak.
Rudi berharap, Covid-19 tidak menimbulkan lost generation. Visi Kota Bogor dengan julukan kota ramah keluarga harus menghadirkan keramahan pada anak. Kebijakan dibentuknya gugus tugas layak anak pada 2019 hingga saat ini bertujuan memastikan kondisi anak-anak tetap kondusif.
Kota layak anak ini diperkuat juga melalui Perda nomor 3 tahun 2017 tentang kebijakan penyelenggaraan kota layak anak di Kota Bogor dan menjadi rencana aksi daerah 2019 hingga 2024 tentang kota layak anak. Sehingga harapan ke depannya Kota Hujan sebagai kota layak anak tingkat madya pada 2019 mendapat predikat yang lebih baik lagi.
Langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB) yang diberlakukan pemerintah dalam meminimalisir laju penyebaran Covid-19 ternyata menimbulkan masalah baru dalam keluarga. Perempuan dan anak-anak lebih rentan menerima dampaknya, terlebih pada keluarga dengan perekonomian berkekurangan karena imbas pandemi. Sedangkan keluarga harmonis menjadi harapan untuk melahirkan generasi kuat, sehat dan berkepribadian Islam yang jadi pendukung modal memajukan masa depan bangsa.
Data kekerasan terhadap anak dan perempuan yang terjadi dan selalu meningkat sebelum pandemi hingga sekarang, membuktikan bahwa permasalahan ini ada bukan akibat pandemi tetapi ada yang salah dalam sistem negara ini.
Rendahnya iman, faktor psikologis yang labil dan faktor kekurangan ekonomi keluarga merupakan imbas kesalahan tata kelola perekonomian negara, dimana dengan sistem kapitalisme yang diterapkan negara hanya akan berpihak pada kapitalis dan pemerintah berfungsi sebagai regulator dan fasilitator untuk investor dan para kapital, sehingga mereka mendapatkan hak istimewa dari pemerintah.
Pengaturan perekonomian dalam sistem demokrasi kapitalis lebih mementingkan para pemilik modal daripada rakyatnya sehingga rakyat menjadi korbannya karena tidak diberi kesempatan mengelola kekayaan di negerinya sendiri dan pada akhirnya rakyat dimiskinkan secara sistemik. Kemiskinan berdampak pada ketahanan rumah tangga yang memicu terjadinya kekerasan terhadap anak dan KDRT.
Permasalahan yang menimpa anak dan KDRT akan selalu terjadi dan berulang dengan kasus beragam dan belum ada solusinya, menuntut persoalan ini harus secepatnya diselesaikan.
Tidak cukup dengan konseling, jargon kota, Perda atau sinergi berbagai pihak untuk mengakhirinya, namun harus ada peran negara yang didukung oleh sebuah sistem yang mampu memberikan solusi yang solutif.
Kehadiran negara yang diharapkan tentu tidak dapat diwujudkan dalam tatanan sistem kapitalisme dan sekulerisme, hanya negara dengan sistem Islam secara kaffah yang mampu melaksanakan peran tersebut.
Maka untuk mewujudkannya negara harus mengganti sistemnya, kegagalan melindungi anak dan tidak terjaganya kemuliaan perempuan karena sistem yang diterapkan saat ini adalah sekulerisme dimana agama harus dipisahkan dari kehidupan, agama hanya untuk urusan ibadah bukan untuk mengatur urusan keluarga.
Maka untuk mengakhiri penderitaan anak dan perempuan serta mewujudkan kota ramah anak, tidak ada pilihan lain untuk mengganti sistem sekulerisme dengan sistem Islam yang akan diterapkan seorang khalifah berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan as-sunah dan dengannya dapat menyelesaikan berbagai problematika hidup manusia sehingga tercipta ketentraman di berbagai lini kehidupan.
Wallahu a’lam bishowab.
Views: 0
Comment here