Cerpen

Terlalu Berharga untuk Menderita

blank
Bagikan di media sosialmu

 

Oleh: Isti Rahmawati

Jangan biarkan dia sendiri dalam kesedihan karena perempuan terlalu berharga untuk menderita.

***

Matahari pagi mulai menyingsing di ufuk timur. Namun, asap dan bau ayam goreng sudah memenuhi seluruh ruangan di rumah. Pagi itu, aku sudah bersiap menghadapi hari.

Pukul enam, aku harus selesai menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami. Jika sudah berangkat, barulah aku bisa beristirahat sebentar sambil menunggu gadis kecilku bangun.

“Ayu.. Ayu.. Main,” seru Nina, anak tetangga sebelah.

“Ayu masih tidur. Belum mandi terus makan.” jawabku sambil mengisyaratkan Nina untuk kembali pulang

Akhir-akhir ini, aku dibuat tak nyaman oleh Nina. Anak kecil itu sudah beberapa hari selalu mengajak anakku main. Yang jadi masalah adalah Nina tidak tahu waktu.

Dia tak segan untuk mengetuk pintu jam 6 pagi. Tentu akan kutolak ajakannya karena Ayu belum bangun. Sekali pun mengajak jam 9 pagi, dia akan datang kembali dalam keadaan rambut kusut dan baju masih memakai baju main yang kemarin.

Karena belum mandi, kusuruh dia pulang untuk membersihkan diri. Namun, satu jam berikutnya dia kembali lagi dalam keadaan yang sama. Entah apa yang terjadi di rumahnya.

“Nina, kenapa belum mandi? Kan tadi mama Ayu nyuruh Nina mandi dulu.”

“Gak mau. Nanti aja.”

“Ibu ada di rumah? Lagi apa?”

“Ada. Mama lagi nonton tv.” jawabnya polos

Kupikir, mungkin Nina yang tidak nurut pada ibunya. Tapi, bagaimana caraku membicarakan hal itu. Kuurungkan niat itu karena khawatir dianggap mencampuri urusan keluarga orang lain.

Nina masih di rumahku sampai menjelang dzuhur. Karena kuharus menyiapkan makan Ayu, kuminta Nina untuk pulang dan makan di rumahnya. Orang tuanya tak pernah sekalipun menyusulinya. Aku hanya mengelus dada melihat Nina.

Setelah makan dan shalat dzuhur, Nina kembali datang mengetuk pintu. Karena kesal, aku mengunci pintu diringi dengan rengekan Ayu yang ingin main keluar. Ayu tetap menangis sampai akhirnya terlelap di dalam kamar.

Saat Ayu tidur, aku keluar untuk mencari angin dan berkumpul dengan tetangga di warung Bu Imas.

“Eh Bu, Nina sering main ya sekarang sama Ayu?” celetuk Bu Retno tetangga depan rumah.

“Iya, kenapa emang Bu?” tanyaku

“Dia kalau main ga tau waktu dan malu. Masa subuh-subuh udah nyamper. Mana rambutnya kusut keliatan ga disisir.” jelasnya padaku

“Iya Bu, bener. Saya udah suruh dia pulang tapi anaknya balik lagi.”

“Ya mau pulang gimana wong ibunya aja cuek ke anak. Teras rumahnya aja kotor gitu. Jijik jadinya.”

“Emang tinggal di mana dia?” tanyaku penasaran

“Itu, di kontrakan petakan punya Pak Agus. Jorok itu ibunya si Nina. Kalau aku, ga mau anakku main sama dia.” sambil menunjuk

Mendengar itu membuatku kasihan pada Nina. Kenapa ibunya tak pernah mengurusi dia dengan baik. Untuk sekadar membersihkan diri pun tak pernah kulihat Nina dalam keadaan bersih dan wangi.

Keesokan harinya, Nina kembali mengajak Ayu main di rumah. Namun kini dia tak sendiri, dia membawa anak kecil berusia sekitar 3 tahun. Tampilannya pun tak jauh dengannya. Menggunakan pakaian main namun dengan kondisi seperti belum mandi.

“Nina, ini masih jam 7. Ayu mau mandi dulu. Terus, ini siapa?”

“Ini adik aku, mau ikut main.” jawabnya

Keduanya langsung duduk di teras padahal aku belum mengiyakan ajakannya pada Ayu. Tiba-tiba Bu Retno memanggilku dari kejauhan.

“Bu Risa, suruh pulang aja dia! Malah bawa adeknya pula. Ga malu ya mereka,” hardik Bu Retno.

Aku mencoba bersikap bijak di hadapan anak-anak ini. Kusuruh mereka untuk berdiri dan pulang. Tak sengaja, kulihat Nina memakai baju rok tapi tidak memakai celana dalam.

“Astagfirullah Nina, ayo pulang dulu. Kenapa ga pakai celana? Sini mama Ayu anter pulang,”

Kupikir ini sesuatu yang kelewat batas. Banyak predator anak yang siap memangsa anak-anak kurang perhatian seperti Nina. Kuantarkan mereka pulang sambil menuntun Ayu.

Kondisi teras rumahnya sangat berantakan. Kulihat anak laki-laki usia sekitar 2 tahun sedang bermain tanah dengan pakaian lusuh dan popok yang tampak menggembung karena sudah penuh. Aku hanya mampu menggelengkan kepala melihat semuanya.

“Assalamualaikum,”

Dari dalam rumah, seorang perempuan berdaster lusuh dengan wajah yang tampak lebam keluar menghampiri dan menarik Nina dan adiknya. Tak ada sepatah kata apalagi ucapan terima kasih dari perempuan itu. Itukah ibunya Nina?

Kulihat tatapan kosong perempuan yang sedang bermasalah. Meski tak bicara, kutahu bahwa perempuan itu dalam kondisi depresi dan stress. Kusimpulkan bahwa kondisi Nina terjadi karena ibunya yang sedang bermasalah.

Sebagai sesama perempuan, sebetulnya hatiku tak bisa diam melihat kondisinya. Muncul niatku untuk bertamu dan berbincang ringan dengan perempuan itu. Namun, melihat sikapnya yang sinis membuatku enggan untuk terlibat.

Kutuntun Ayu sambil terus saja memikirkan Nina dan adiknya. Mungkin lain waktu aku bisa bertamu ke rumahnya.

***

Keesokan harinya, Nina tak lagi mengetuk pintu. Bahkan, Ayu pun ikut protes karena tak lagi kedatangan Nina. Tiba-tiba saja aku membayangkan hal buruk terjadi pada mereka. Apa mereka dimarahi dan dipukuli karena kejadian kemarin?

Kuberanikan diri untuk bertamu. Namun hari ini, perempuan itu menjawab salam dan mengajakku duduk di depan terasnya yang kecil.

“Mamahnya Nina?”

“Iya, Bu, maaf kemarin saya gak sopan.”

“Iya gapapa Bu.” jawabku

“Saya mohon maaf kalau Nina dan adiknya sering main ke rumah Ibu. Pagi sampai sore. Mereka gak keurus sama saya Bu.” jelasnya

“Iya Bu, namanya anak-anak betah main karena ada mainan. Tapi punten, saya ingin sampaikan kalau nina dan adiknya sedikit mengganggu tetangga lain. Sebelum ke saya, Nina dulu main ke tetangga yang lain. Ibu yang lain pun menceritakan keluhan yang sama. Barangkali Ibu ada masalah, coba ceritakan ke saya.”

“Iya Bu, saya tahu. Saya kepaksa membiarkan mereka main di rumah orang. Saya ga mau mereka dipukuli bapaknya Bu. Kemarin muka saya lebam dipukuli bapaknya. Makanya saya suruh Nina main di luar sama adiknya yang 3 tahun.” jelasnya sambil berderai air mata.

“Astagfirullah. Kenapa Bisa begitu Bu?”

“Biasa Bu, ekonomi. Saya kesel karena suami saya ga becus cari duit. Dia malah marah balik dan mukuli saya. Saya sudah biasa.” sambil menutupi luka di pelipisnya dengan rambut

“Tetap aja itu gak bisa dibiarkan Bu.”

“Terus saya mesti apa, Bu? Ada suami aja saya susah apalagi jadi janda.”

Tak ingin mencampuri lebih jauh, kuberikan gambaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga akan mempengaruhi psikis anak-anak. Seorang istri yang tak bahagia akan memperburuk kondisi mereka apalagi sampai tak terurus.

Perempuan di hadapanku terdiam tanpa suara. Kutahu bahwa batinnya sedang menerawang jauh ke depan memikirkan nasib ketiga balitanya juga nasib dirinya sendiri. Dengan nada yang berat, dia meminta bantuan.

“Bu, saya ingin pulang ke rumah ibu saya. Selama ini saya ga cerita ke siapa-siapa.”

“Suami ibu gimana?”

“Biar dia yang jemput saya di sana kalau memang dia mau berubah demi anak-anak,”

“Alamatnya dimana? Sekarang bawa barang bawaan Ibu.”

Tanpa pikir panjang, kuminta dia untuk membereskan barang bawaan. Dengan ongkos 150ribu dari dompetku, kuharap dia bisa menata hati dan menyelesaikan masalahnya. Walaupun kutahu bahwa kepergiannya belum tentu menyelesaikan masalah. Tapi setidaknya, perempuan itu mencoba untuk mengubah keadaan demi anak.

Melihat Nina, aku seperti melihat diriku sendiri di masa lalu. Mengasuh adik-adik karena ibuku tak berdaya. Kekerasan dalam rumah tangga membuat ibu tak lagi punya gairah untuk mengurusi kami. Ayah hanya menafkahi tanpa pernah menyentuh hatinya.

Saat itu, tak ada tempat bagi ibuku untuk sekadar berbagi duka. Segala kesedihan dipendam dan disimpannya dengan rapat. Hingga akhirnya senyumnya hilang dan dia pergi dengan mengakhiri hidup.

Kuharap, tak ada lagi perempuan yang bernasib sama dengan ibuku yang malang. Rangkulan dari orang sekitar adalah penguat bagi perempuan yang sedang terluka. Jangan biarkan dia sendiri dalam kesedihan karena perempuan terlalu berharga untuk menderita.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 20

Comment here