Opini

Sekolah Tatap Muka, Siapkah Indonesia?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Rosyida Elzam

Wacana-edukasi.com Sudah satu tahun lebih kita berada di masa pandemi. Pandemi tidak tahu kapan berakhir, dan pandemi ini telah menyebabkan banyak aktivitas kita hanya terbatas secara virtual, mulai dari jual beli, seminar, kajian, reuni, silaturahim hingga pendidikan. Ternyata perubahan yang cukup drastis dan mendadak ini juga menimbulkan permasalahan lain, contohnya saja dalam hal pendidikan. Banyak siswa yang mengeluhkan tugas yang menumpuk sementara batas waktu hanya sebentar, pelajaran yang semakin susah dipahami, serta masalah lainnya yang semakin menambah beban para siswa dalam menuntut ilmu. Namun sangat disayangkan, hanya cara pembelajaran ini yang bisa dilakukan di tengah kondisi pandemi yang tak segera usai.

Hingga muncul pengumuman bahwa sekolah tatap muka akan dimulai pada Januari 2021, namun ternyata belum bisa diwujudkan juga. Dilansir dari KONTAN.CO.ID, sekarang ini terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri yang menjelaskan tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Namun hal ini tentu sangat berisiko tinggi terjadi kluster, ini terjadi jika sekolah tatap muka dilakukan tanpa persiapan yang memadai terhadap infrastruktur dan protokol kesehatan. Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan menegaskan, seharusnya April-Juni adalah waktunya melakukan penyiapan, bukan ujicoba secara terbatas. Karena Data menunjukkan, negara-negara yang melakukan sekolah tatap muka di masa Pandemi melakukan penyiapan dengan sungguh-sungguh dan memiliki mitigasi risiko yang baik. Sehingga dapat mencegah sekolah menjadi kluster baru.

Maka dari itu, sangat penting untuk mempersiapkan infrastruktur, fasilitas serta memastikan kesiapan dan edukasi yang benar dari pihak sekolah, wali murid dan tentu juga para murid. Karena pembelajaran tatap muka tidak bisa dimulai begitu saja hanya karena pembelajaran secara daring tidak maksimal atau juga karena desakan publik. Jika persiapan yang dilakukan untuk pembelajaran ini tidak sungguh-sungguh dan maksimal maka, hal ini justru akan menambah semakin banyak korban dari pandemi COVID-19.

Dilansir dari Republika.co.id, persiapan yang harus dilakukan dari berbagai pihak untuk pembelajaran tatap muka. Hal-hal tersebut adalah pemerintah daerah, sekolah, guru, orang tua, dan anak. Dari kelima hal tersebut haruslah saling bersinergi dan mendukung supaya pembelajaran tatap muka menjadi lebih aman untuk diupayakan. Namun jika kita lihat, saat ini lima komponen tersebut belum saling bersinergi. Seperti contohnya beberapa sekolah tidak bisa menyediakan fasilitas untuk menerapkan program kesehatan, banyak orangtua yang mulai mengabaikan program kesehatan sehingga anak juga mengikuti perbuatan orang tuanya. Dari sini kita tahu, bahwa penerapan pembelajaran secara tatap muka yang akan dilakukan terlihat seperti ‘agak dipaksakan’ karena desakan publik.

Bila kita perhatikan, kebijakan pemerintah saat ini kebanyakan karena desakan publik atau karena keterpaksaan sehingga semua terkesan mendadak dan tanpa persiapan yang matang. Contohnya saja saat pengesahan undang-undang omnibuslaw, RUU KPK, juga KUHP yang terkesan sangat mendadak dan tanpa persetujuan semua pihak, juga beberapa kebijakan yang dilakukan selama PSBB dan PPKM yang ambigu dan menimbulkan banyak pertentangan. Ibaratnya pemerintah akan membuat kebijakan yang adil jika didemo bahkan demo pun tidak selalu merubah kebijakan.

Hal ini sangat berbeda dengan Pemerintahan di masa syariat Islam masih diterapkan, semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah umat islam saat itu tidak hanya karena desakan publik atau pihak lain namun tentu semua peraturan dan kebijakan haruslah menimbang faktor jaminan keselamatan dan keamanan manusia, hal tersebut lebih utama daripada jaminan kemudahan. Contohnya saja seorang Khalifah Umar bin Khattab yang selalu berkeliling setiap malam untuk memastikan umatnya aman dan selamat, juga saat terjadi wabah Thaun di Damaskus pada masa Umar yang mengharuskan karantina di wilayah tersebut hingga wabah menghilang serta banyak lagi kebijakan serupa yang selalu mementingkan keselamatan dan keamanan manusia. Hal ini terjadi karena tujuan dari syariat Islam adalah melindungi agama, jiwa, pikiran, harta dan juga keturunan. Maka dari itu, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang menerapkan syariat Islam haruslah menimbulkan keamanan dan ketentraman di masyarakat bukan sebaliknya, sangat berbeda dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini yang hanya mementingkan keuntungan dan manfaat.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 1

Comment here