Oleh Ummu Raihan (Pemerhati Sosial)
Wacana-edukasi.com — Korupsi di negara ini semakin meningkat, hal itu seakan sudah menjadi hal biasa. Disetiap pengurusan atau hal-hal yang lain selalu diikuti pelicin. Jika pelicin ini tidak ada maka apa yang diurus akan terhambat atau dibuat susah. Akan tetapi jika selalu diselipkan pelicin, urusannya akan cepat selesai tanpa rintangan. Misalnya yang dilakukan oleh sebagian PNS atau ASN saat ini.
Oleh karena kasus korupsi ini sudah mengakar, maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, menyatakan bahwa masih mendapati PNS atau ASN yang terjerat korupsi. Tjahjo menyebut setiap bulan Kemenpan RB memecat tidak hormat para PNS korup. merdeka. Com, (18/4/2021).
Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga melakukan penelitian atau survei dikalangan PNS atau ASN. Dari hasil survei itu pendapat para responden (PNS atau ASN) berbeda-beda. Ada PNS yang menilai korupsi di Indonesia meningkat tercatat 34,6%. Sementara itu, 25,4% PNS menganggap korupsi telah menurun, dan 33,9% yang tak memiliki perubahan. Dalam surveinya itu, LSI melibatkan sebanyak 1.200 PNS. sindonews.com, (18/4/2021).
Direktur Eksekutif LSI tersebut, Djayadi Hanan dalam konferensi virtualnya di Jakarta, menyatakan bahwa terdapat empat praktik koruptif yang dinilai sedikit atau sangat sedikit terjadi antara PNS dengan suatu pihak. Beliau melanjutkan bahwa praktik yang lebih banyak dinilai adalah pertama, PNS menerima uang untuk melancarkan urusan suatu pihak dan PNS didekati secara personal untuk sewaktu-waktu diminta bantuan.
Kedua, LSI juga mendapati bahwa kurangnya pengawasan membuat PNS terdorong untuk melakukan korupsi. Survei mendapati kalau 49 persen kegiatan korupsi terjadi karena kurangnya pengawasan.
Ketiga, 34,8 persen responden menilai kalau keberadaan ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa juga menjadi faktor pendorong korupsi. Sementara 26,2 persen menilai perilaku koruptif akibat gaji yang rendah.
Keempat, 24,4 persen menilai korupsi merupakan bagian dari budaya atau kebiasaan di suatu instansi. Serta 24,2 persen berpendapat korupsi dilakukan guna mendapat uang tambahan di luar penghasilan rutin.
Korupsi Meradang, Hukum Tak Mampu Menghadang
Mengakarnya korupsi di negara ini bukan tanpa sebab, tetapi karena penerapan sistem yang selalu mengutamakan keuntungan (kapitalisme). Juga dalam sistem ini aturan agama tidak dihadirkan. Sebab sistem saat ini memiliki akidah yang sekuler, sehingga ketakwaan individu itu tidak ada.
Selain sistem yang mendukung adanya korupsi, sanksi yang diberikan juga tidak ada efek jera. Ketika ada ASN ketahuan korupsi, sanksi yang diberikan adalah me-nonjob-kan pelaku. Ada juga sanksi pemecatan. Jika hanya sekadar pemecatan, tidak akan memberikan efek jera bagi yang lain. Jika dilaporkan untuk diproses lebih lanjut, bisa saja hukuman yang diberikan sangat sedikit karena ada grasi atau saat ditahan ia berkelakuan baik. Dikarenakan berkelakuan baik sehingga dipotong masa hukumannya.
Ada pula yang menyuap agar hukuman yang diberikan dikurangi. Jika seperti itu, pemberantasan korupsi hanya sebuah mimpi. Apalagi saat ini para petugas KPK yang lurus sering diteror, sehingga kasus yang tengah diselidik hilang begitu saja, jika sudah ditangani oleh orang-orang yang tidak lurus. Ini bukan rahasia lagi.
Di sisi lain, sistem saat ini juga sering mempersulit ketika ada seseorang mengurus sesuatu. Misalnya PNS yang mengurus kenaikan pangkat, jika tidak ada yang dikenali dalam instansi tersebut akan dipersulit. Maka untuk mempermudah urusannya, diselipkanlah pelicin agar cepat pengurusannya. Pengawasan yang ada sangat kurang, karena ketika ketahuan korupsi, bisa saja ada uang tutup mulut agar saksi tidak bersuara. Maka istilah no free lunch, sangat cocok disematkan pada sistem saat ini.
Gaji rendah yang diterima seorang PNS atau ASN, juga menjadi pemicu melakukan korupsi atau pungli. Selain gaji rendah, kehidupan yang hedonisme juga mampu mendorong seseorang melakukan korupsi, apalagi ia menduduki sebuah jabatan yang tinggi. Rasa gengsi itu pasti menyelimutinya, sehingga membuat dirinya berpikir untuk mengambil cara-cara yang diharamkan agar keinginannya tercapai.
Jika ditelisik lagi, korupsi ini adalah masalah yang sistemik. Oleh karena itu, korupsi ini akan hilang jika sistem yang diterapkan saat ini diganti. Sebab korupsi tidak bisa hanya menyalahkan oknum yang melakukan tetapi pada sistem juga. Sistem memberikan peluang kepada mereka yang berani untuk menyuap atau korupsi. Jika solusi yang diberikan hanya solusi parsial, misalnya pemecatan atau me-nonjob-kan tadi, pasti tidak ada efek jera.
Penguasa juga harus menerima saran dan kritik dari pihak-pihak yang menginginkan negara ini bebas dari korupsi, yaitu dengan mengganti sistemnya. Dari sistem buatan manusia kepada sistem buatan Allah SWT yakni sistem Islam. Sebab jika berharap pada sistem sekarang ini, hanya kekecewaan yang didapat, karena para penguasa hanya beretorika saja tentang pembasmian koruptor.
Sedangakan Islam ini hadir bukan sekadar agama yang hanya mengatur tata cara ibadah, tetapi Islam ini adalah sistem yang mampu mengatur seluruh aspek kehidupan. Salah satunya tentang korupsi.
Islam Solusi Sistemik Kasus Korupsi
Dalam Islam, sangat melarang umatnya untuk mencari nafkah dengan cara yang tidak halal misalnya korupsi atau suap tadi. Sebagaimana dalam Q.S Al-Baqarah ayat: 188, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.”
Selain itu, penguasa Islam juga akan mengatasi korupsi sedini mungkin, dengan cara-cara sebagai berikut :
pertama, pemerintahan Islam terdapat larangan keras untuk menerima harta ghulul yaitu harta yang diperoleh para pejabat atau pemimpin dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat. Dikarenakan diperoleh dengan cara yang haram, maka korupsi termasuk ghulul. Untuk mencegah adanya ghulul atau korupsi, maka negara khilafah harus memberikan gaji yang memadai kepada para aparatnya, dengan begitu kebutuhannya tercukupi.
Kedua, dalam pengangkatan aparaturnya, khilafah menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan selain syarat profesionalitas.
Ketiga, untuk mengetahui apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, khilafah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setalah menjabat, jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka Khilafah mengambilnya.
Keempat, khilafah menetapkan hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan , penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati
Pencegahan dan pemberian sanksi tersebut diatas pernah dicontohkan pada masa Khalifah Umar Bin Khattab. Beliau pernah membuat kebijakan agar kekayaan para pejabatnya dihitung sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada selisih, maka harta tersebut diambil. Beliau juga pernah mengangkat Badan Pengawas Khusus untuk mengawasi keuangan para pejabat, yaitu Muhammad Bin Maslamah.
Jika ada aparatur negara yang melakukan korupsi maka sanksi diberikan kepada pelaku bisa dengan publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati. Sebab korupsi masuk dalam wilayah takzir, sehingga sanksi yang diberikan kepada pelaku berdasarkan ijtihad hakim.
Sedangkan dalam upaya untuk menghindari kasus suap di antara para pejabat negara atau pegawai dialarang untuk menerima hadiah dari siapa pun. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/ gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/ gaji ) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud).
Dengan terjaminnya gaji dan kehidupan para PNS atau ASN, mereka tidak akan melakukan korupsi, baik itu suap atau pungli.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 86
Comment here