Oleh Maria Al Qibtiyah
Part1
Wacana-edukasi.com — Ainun mengayun-ayun kakinya di kolong kursi taman ini. Taman indah yang bunganya sedang mekar menambah bahagia rasanya menanti seseorang yang sebentar lagi akan menemui. Sepuluh menit sudah lewat dari waktu janjian, wajah Ainun tampak mulai gusar.
Wah dikerjain nih gue, gumamnya.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang mengagetkan.
“Hai!”
Ainun sedikit terperanjat. Jantungnya hampir copot membuat tangannya tak lepas memegangi dada. “Hiih. Usil ya kamu! Huuh!” ujar Ainun masih menekuk wajahnya.
“Hehe.. Afwan ya!” Aby menyodorkan sebuah cokelat Silverking yang paling besar tepat ke hadapan Ainun.
“Buat aku?” tanya Ainun.
“Buat nenek kamu. Ya iyalah buat kamu! Duuuh,” ujar Aby terkekeh.
Ainun dan Aby tertawa bersama. Dua sejoli itu duduk berdua berjarak hanya lima jari di bangku taman. Mereka saling bercerita tentang aktivitasnya sebagai anggota lembaga dakwah kampus. Wajah keduanya berseri-seri. Tak pernah surut senyum dari bibirnya. Terkadang pecah tawa mereka karena Aby yang mencandai Ainun.
Drrtt! Drrrt!
[Ukh, sedang apa di mana? Bisa kita ketemu? Mbak Nida, Rohis Fisip]
Degg. Ainun celingukan mengedarkan matanya. Ia jadi merasa ada mata yang mengawasi.
“Kenapa? Ada siapa?” tanya Aby.
“Gak papa. Aku pulang aja ya. Takut ada yang lihat.” Ainun membereskan perintilan barangnya ke dalam tas kecil yang dibawanya.
“Cokelatnya makasih ya, By,” ucap Ainun sebelum pergi.
Faraby menatap nanar kepergian Ainun. Masih tersisa kerinduan di hatinya. Baginya, Ainun mewarnai harinya yang semula hanya hitam dan putih. Senyum, canda tawa, semua perhatian, dan kecerdasannya membuat ia kagum dengan Ainun. Jalan hijrah yang ditempuh semakin melesat sebab ada semangat yang mengiringinya yaitu hadirnya Ainun. Wanita yang ia kagumi itu telah menumbuhkan bulir-bulir cinta yang kian menderas.
Aby mengingat kembali kajian Ustaz Hamid pekan lalu yang menjelaskan batasan laki-laki dan perempuan sangatlah jelas diatur dalam Islam. Hukum asal interaksi laki-laki dan perempuan adalah infishal atau terpisah.
Hanya ada tiga hal yang membolehkannya keduanya bertemu. Pertama, muamalah bisa berupa aktivitas jual beli. Kedua, pendidikan. Ketiga, kesehatan semisal dokter dan pasien boleh berinteraksi antara laki-laki dan perempuan. Kajian itu membuat ia merasa menciderai hijrahnya sendiri. Ia merasa belum sempurna menjadi seorang muslim yang ingin berubah total dan kafah. Namun jika ia berhenti untuk berubah, maka setanlah yang akan bersorak kegirangan.
“Sampai kapan aku seperti ini,” ujar Aby mengacak rambutnya.
***
“Kamu dari mana, Nun?” tanya Nida menghadang Ainun di lorong kamar kos.
“Eh, Mbak Nida. Aku habis beli cokelat nih,” jawab Ainun berusaha biasa saja.
Nida menyelidik dari ujung kepala sampai ujung kaki Ainun.
“Beli cokelat rapi amat, Bun?”
“Iyalah, pengin aja,” jawab Ainun ngasal. Ia segera maauk kamar kosnya yang berada di ujung.
Nida masih saja penasaran dengan adik kelasnya itu. Seperti melihat gelagat tidak beres. Sebagai ketua kos putri Al Falah, Nida bertanggung jawab terhadap adik-adik kelasnya yang kos di situ. Sebanyak delapan orang adik kelasnya dibina di kos binaan yang memang bagian dari program Lembaga Dakwah Kampus Fisip. Aktivitas anggota kos terkontrol dengan baik. Mulai dari aktivitas logistik, piket kos, ibadah bersama, dan yang paling sulit adalah mengontrol aktivitas mereka di luar rumah.
Namun, sejak kajian bakda subuh diadakan dan diisi langsung oleh Nida dan Syifa tetangga kamarnya, adik-adik kelasnya semakin hari semakin baik saja. Tidak ada lagi yang pulang kuliah diantar teman laki-lakinya. Kalau tidak diantar teman perempuannya, mereka akan rela berjalan kaki atau naik angkot. Kesadaran mereka untuk taat semakin terlihat setelah terbina selama enam bulan di kos binaan ini.
Nida mengambil sapu hendak membersihkan halaman kos karena hari ini piketnya. Ia mulai menyapu perlahan halaman kos yang terbuat dari keramik 30x30cm berwarna putih sehingga debu sangat mudah terlihat. Beberapa motor terlihat terparkir di luar kos. Memang satu anak biasanya membawa satu motor untuk wira wiri aktivitas kuliahnya.
Srek, srek, srek ….
Ketika sapu membersihkan kolong motor Ainun, Nida mendapati ada lipatan kertas kecil berwarna hijau terselip di sela-sela stang motor.
“Apa ini?” tanya Nida mengernyitkan dahinya.
#Karcis Parkir Taman Satria#. Tertera tanggal hari ini dengan sedikit sobekan yang masih baru.
Nida manggut-manggut mengerti Ainun telah mengelabuinya.
***
Ainun baru saja menikmati masa-masa hijrahnya. Ia banyak belajar dari murabbi-nya tentang halal haram termasuk tentang haramnya pacaran. Di saat yang sama, ia menemukan ikhwan yang memesonanya. Dialah Faraby atau Aby yaitu ikhwan yang sama-sama baru saja mengecap manisnya hijrah. Ainun dan Aby sama-sama terjebak dalam jebakan indahnya fatamorgana dalam balut cinta merah jambu yang belum saatnya terjadi. Backstreet mereka sempat terpergoki oleh sang murabbi dan merusak niat hijrah mereka. Akankah mereka kembali meniti jalan hijrahnya yang terjal? Atau mereka lepaskan hidayah itu demi cinta semu yang belum pasti jodoh menakdirkan keduanya?
[Kita berpisah di sini. Aku berat hati, tetapi aku tetap menanti. Siapa pun yang tiba lebih dahulu di persimpangan, aku mengharap kamu terlahir untuk menghabiskan sisa usiaku bersamamu. Faraby].
(Bersambung)
Views: 22
Comment here