Oleh Mia Kusmiati
(Ibu Rumah Tangga Peduli Umat)
Wacana-esukasi.com — Ngeri, satu kata sarat makna. Kesan yang layak menghiasi pernyataan pemerintah Indonesia yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh. Zudan menjelaskan bahwa para transgender akan dibantu untuk mendapatkan KTP elektronik (KTP-el), akta kelahiran dan Kartu Keluarga (KK), akan tetapi dalam mencantumkan jenis kelamin adalah jenis kelamin asli hanya ada laki-laki atau perempuan bukan transgender (kompas.com, 25/4/2021).
Dalih kesulitan mengakses layanan publik seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-kes) atau bantuan sosial, sikap pemerintah seolah-olah mengaminkan perilaku yang menyimpang ini. Meski baru sekadar wacana, kebijakan ini tentu saja dapat menumbuhsuburkan kaum yang dahulunya terdiskriminasi. Walaupun jumlahnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi Kementerian Kesehatan, pada tahun 2012 memperkirakan terdapat 1.095.970 LSL (lelaki sama lelaki) di Indonesia. Angka itu diprediksi terus bertambah (bbc.com, 10/4/2019). Suatu hal yang dapat terjadi jika wacana ini diterapkan, maka jumlah tersebut akan meningkat.
Bagi masyarakat kebanyakan, keberadaan mereka adalah hal tabu karena dipandang telah menyalahi kodrat Ilahi. Perasaan terperangkap dalam tubuh yang salah dan lemahnya keimanan merupakan faktor penyebab para pelaku melakukan penyimpangan ini. Perlakuan dan sikap sosial dari keluarga serta pergaulan yang dilalui pelaku dalam kehidupannya. juga turun andil menjadikannya suatu penyimpangan yang kronis. Bahkan lebih parah lagi, para pelaku transgender ini dapat menghantarkan mereka pada tindakan homoseksual dan lesbian.
Jalan Pengakuan Eksistensi Transgender
Perlahan tetapi pasti, kemudahan yang akan diberikan pemerintah dalam hal pembuatan kartu penduduk adalah kabar baik bagi perjuangan mereka untuk lepas dari diskriminatif masyarakat. Ruang gerak merekapun semakin lepas ketika sistem kapitalisme-liberalisme yang mengatur negeri ini mengakui kebebasan individu sebagai dasar atas pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Sikap pemerintah yang tidak pada tempatnya, bukannya menghentikan, justru memberi jalan dengan kebijakan yang akan dikeluarkan.
Penerapan sekulerisme dalam negara yang bersistem kapitalismr menyebabkan agama dikesampingkan dalam aturan kehidupan. Manusia bebas berkehendak sesuai dengan hawa nafsunya dan mengabaikan hukum-hukum Allah SWT. Fitrahnya, Allah adalah pencipta manusia yang mengetahui kebaikan dan keburukan makhluk ciptaan-Nya. Demi menjaga kemuliaan, Allah menurunkan aturan untuk dijalankan manusia, konsekuensi meninggalkan aturan dapat menjerumuskan manusia pada keburukan.
Solusi Islam Sebagai Pedoman
Islam memiliki aturan hidup yang lengkap dan sempurna dengan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai sumber pedoman. Tidak ada permasalahan tanpa penyelesaian dalam Islam. Aturan Islam memiliki dua unsur, yang pertama yaitu pencegahan, mencegah manusia dari perbuatan dosa yang akan dilakukan, mencegah kasus yang sama terulang kembali, dan mencegah manusia mendapatkan hukuman di akhirat nanti. Unsur yang kedua adalah penanggulangan untuk mengatasi suatu permasalahan yang sudah terjadi.
Islam memandang bahwa haram hukumnya bagi perilaku transgender, sebagaimana Rasulullaah SAW bersabda:
“Sesungguhnya baginda Nabi SAW melaknat para lelaki yang mukhannits dan para wanita yang mutarajjilat.” (HR Al-Bukhari dan Abu Dawud).
_Mukhannats_ adalah lelaki yang berperilaku mirip perempuan dan _mutarajjilat_ adalah perempuan yang berperilaku seperti laki-laki. Sedangkan untuk perilakunya Islam menyebut sebagai takhannuts, dan istilah saat ini dikenal sebagai perilaku transgender.
Sanksi bagi pelaku jika hanya sekedar berbicara atau berbusana menyerupai lawan jenis, maka institusi negara wajib memberlakukan hukuman dengan diusir dari pemukiman atau perkampungan. Apabila pelaku transgender melakukan hal yang lebih jauh lagi seperti homoseksual, maka hukumannya adalah hukuman mati. Dalam hadits:
“Siapa menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya!” (HR. Ahmad 2784, Abu Daud 4462, dan disahihkan al-Albani).
Sedangkan pelaku lesbian, menurut Imam Dzahabi adalah dosa besar, tetapi hukuman lesbianisme tidak seperti hukuman zina, melainkan hukuman takzir, yang jenis dan kadar hukumannya diserahkan kepada qadhi (hakim), bisa berbentuk cambuk, penjara, publikasi ( tasyhir ) dan sebagainya.
Inilah hukuman yang diatur oleh syariat Islam terhadap pelaku transgender, agar membawa efek jera bagi pelakunya dan pelajaran hidup bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan hal yang sama. Sehingga aktivitas transgender ini tidak hanya berkurang, bahkan bisa lenyap dari masyarakat. Semua hukuman ini wajib diberlakukan oleh pemerintah, sebagai pelaksana hukum/ qanun syariat.
Lain halnya bagi manusia yang mempunyai alat kelamin ganda yang dikenal dengan istilah
khuntsa atau hermafrodit, mereka tidak termasuk dalam kategori transgender. Dalam fikih Islam, suatu kebolehan bagi mereka untuk memilih salah satu kelaminnya dengan mempertimbangkan struktur dominan pada jasmaninya. Sedangkan kaum transgender berfokus tidak pada fisik alat kelamin, tetapi polah tingkah yang dilakukanyalah yang berlawanan dengan jenis kelamin yang dimiliki. Bukannya mengubah tingkah laku yang merupakan kuasa manusia, tetapi mengubah jenis kelamin adalah pilihan yang mereka ambil, padahal jenis kelamin pada diri manusia adalah suatu ketetapan dari Allah yang tidak boleh diubah.
Tindakan preventif bagi transgender, Islam mengaturnya mulai dari ranah keluarga. Para orang tua wajib menerapkan pola asuh yang berbeda antara anak laki laki dan perempuan. Melarang sesama laki-laki atau perempuan tidur satu selimut walaupun saudara kandung mulai usia tujuh tahun, pembatasan pergaulan lawan jenis pun diatur dalam Islam. Sehingga antara laki-laki dan perempuan ada benang merah yang jelas dan kentara untuk menutup kemungkinan terjadinya transgender pada anak-anak muslim jika mereka dewasa nanti.
Tidaklah sempurna aturan Islam dijalankan, tanpa adanya negara sebagai wadah kekuasaan. Oleh karena itu, adalah suatu keharusan, melakukan perjuangan demi terwujudnya islam kafah yang dirindukan.
Wallaahu a’lam bishshawab.
Views: 3
Comment here