Opini

Polemik Aturan Mudik, Bukti Gagal Ri’ayah Negara

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ummu Fadhil

(Kepala RA. Mutiara Islam)

Tak terasa Ramadan tahun ini kembali menghampiri kita, Ramadan bulan mulia yang dipersiapkan Allah SWT untuk umat Islam dengan segala limpahan berkah dan ampunan. Bagi hamba yang beriman, tentu bisa menyambut Ramadan dengan sukacita serta mengisi setiap hari-harinya dengan ibadah adalah karunia terindah yang diberikan Allah SWT kepadanya.

Sudah menjadi tradisi dan suatu keharusan bagi umat Islam ketika hari kemenangan tiba, Idul Fitri. Berbondong-bondong umat Islam yang di perantauan bersegera pulang ke kampung halaman atau mudik. Berkumpul bersama keluarga tentu suatu hal yang sudah terbayang di pelupuk mata bagi insan yang terpisahkan oleh jarak, menjadi alasan kerinduan seorang anak, seorang bapak, atau sanak saudara untuk segera berkumpul berlebaran bersama. Menikmati rasa syukur atas kemenangan yang dicapai selama menempa diri sebulan penuh dalam ibadah saum di bulan Ramadan.

Tak terasa pula dua tahun negeri dilanda wabah Covid-19 yang kemudian terhalangnya para perantau menengok kampung halaman, tentu larangan pulang kampung tahun ini pun masih dalam mekanisme yang ketat. Dengan alasan berulang, yaitu sampai hari ini indikasi penurunan pasien Covid-19 belumlah melandai dan pemberian vaksinasi pada 10.373.963 orang penduduk. Di antaranya: petugas kesehatan, petugas layanan publik, serta para penduduk lanjut usia belum bisa dijadikan standar virus tersebut benar-benar telah hilang.

Di awal Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan keputusan larangan mudik lebaran 2021 dihasilkan dari rapat tiga menteri. Larangan mudik berlaku mulai 6—17 Mei 2021. (liputan6.com, 28/3/2021).

Muhadjir juga menjelaskan, pelarangan mudik dilakukan dalam rangka mendukung program vaksinasi Covid-19 yang masih berlangsung. Mekanisme pergerakan orang dan barang akan diatur. Selang beberapa hari dikeluarkan kembali aturan pembatasan mobilitas terkait mudik Lebaran yang kemudian diperluas mulai 22 April-22 Mei 2021. Selama periode tersebut surat tanda negatif akan diberlakukan bagi seluruh pelaku perjalanan. Selain itu, masyarakat yang memiliki keperluan non mudik harus memiliki surat izin pelaku perjalanan.

Aturan yang Ambigu

Telah tampak bahwa pengaturan mudik tahun ini, dampaknya tidak akan jauh berbeda dari keputusan pelarangan mudik tahun sebelumnya. Menurunkan angka Pandemi Covid-19 hanyalah dalih larangan mudik yang terkesan sebagai kebijakan tak serius menyelesaikan pandemi ini. Publik menilai ketidakcermatan dalam antisipasi serta tebang pilihnya kebijakan penuntasan pandemi yang diambil oleh pemangku kebijakan memang tidak memberikan solusi tuntas.

Mengapa demikian? Sebab yang dua tahun dalam upaya menormalkan kondisi negeri, kebijakan aturan larangan mudik tak sejalan dengan ketetapan aturan lainnya yang memberi ruang dan bebasnya interaksi manusia dalam segala hubungan sosial, ekonomi dan muamalah lainnya. Sebut saja sektor pariwisata, Kebijakan yang satu ini, di tengah semakin tingginya angka pasien terpapar corona. Justru dibuka ruang bagi datangnya wisatawan manca negara.

Ketika masyarakat mengkritisi inkonsistensi pemerintah, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Sandiago Uno menolak pandangan publik bahwa ada inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan. Ia berdalih, selama patuh terhadap protokol kesehatan, pandemi bisa dikendalikan dan rakyat akan bangkit dan pulih. Di samping itu sektor wisata dianggap bisa menjaga pertumbuhan ekonomi, sehingga laju Covid-19 bisa ditekan, perekonomian masyarakat juga bisa terus berjalan.

Kembali pada Syariat Solusi Tuntas

Kekecewaan demi kekecewaan telah lama dialami, selalu saja kebijakan yang dikeluarkan dalam sistem hidup kapitalisme demi kepentingan segelintir orang, menyelamatkan ekonomi para kapital tetapi menjadikan sengsara pada hidup masyarakat. Tak ada jaminan setiap keputusan yang dikeluarkan dalam sistem kapitalisme menuntaskan masalah. Oleh sebab itu, publik butuh kebijakan yang utuh, bukan basa-basi menuntaskan pandemi.

Mestinya, sejak awal pemerintah mengantisipasi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi jelang Lebaran selama pandemi. Seharusnya pula pemerintah memiliki catatan penting atas kebijakan pelarangan mudik tahun lalu.

Setelah melakukan evaluasi, pemerintah memperhatikan hal apa saja yang harus diperbaiki dan mekanisme apa yang harus ditempuh agar angka penularan menurun dan tidak mengganggu ekonomi rakyat. Sehingga, tidak ada pihak mana pun yang menderita kerugian atas kebijakan yang diputuskan.

Pemimpin adalah junnah/ perisai, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. (HR. Al-Bukhari).

Keberhasilan ri’ayah atau pengurusan kepada rakyatnya seorang khalifah bahkan telah tertoreh dalam sejarah yang tak terlupakan, kebijakan
Khalifah Umar Bin Khattab dalam mengatasi wabah yang terjadi di Negeri Syam menjadi kebijakan mendasar demi melindungi rakyat dari menyebarnya wabah, beliau mengangkat Amr Bin Ash sebagai gubernur untuk menuntaskan masalah wabah tha’un. Kala itu, Amr menyerukan kepada seluruh penduduk untuk mengisolasi dirinya masing-masing.
Amr berkhotbah di depan rakyatnya dan memerintahkan agar pergi jauh hingga rakyatnya memencar ke berbagai penjuru. Di antara mereka ada yang pergi ke gunung, bukit, dan ke daerah-daerah terpencil.

Amr bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari kebijakan yang diberlakukannya. Ketakwaan dan keimanan pemimpin berpengaruh pada cepat atau lambatnya pertolongan Allah SWT. Rakyat mudah memahami tujuan kebijakan yang diputuskan Amr, hingga wabah berakhir tanpa membutuhkan waktu yang lama.

Lahirnya Sosok pemimpin Islam seperti Umar bin Khattab yang memiliki bobot keputusan yang cermat demi umat, hanya mampu terlahir dari buah penerapan Islam, karena aqidah Islam menjadi landasan pada seluruh aspek kehidupan, menjadikan syariat sebagai problem solving karena terlahir dari Maha Pencipta Manusia yaitu Allah SWT.

Maka sebagai muslim, kita dituntun Islam untuk berhukum dengan aturan-Nya secara kafah. Satu-satunya cara agar bisa menjalankan Islam kafah hanya dengan tegaknya khilafah.

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here