Oleh Meitya Rahma, S. Pd
Wacana-edukasi.com — Ayat lakum dînukum wa liyadîn ini sudah familier di telinga kita sebagai umat Islam. Ayat ini merupakan bentuk ketegasan sikap dalam beragama. Latar belakang turunnya ayat ini adalah ketika Nabi Muhammad berdakwah kepada orang-orang kafir di Makkah. Ketika beliau menyuruh mereka mengikuti ajarannya, mereka mencoba mengajak Nabi untuk berkompromi. Setahun mereka menyembah Tuhannya Nabi Muhammad (termasuk orang-orang kafir), setahun berikutnya semua (termasuk Nabi Muhammad SAW) menyembah tuhan-tuhan orang kafir. Mereka menganggap , ini adalah jalan tengah. Namun beliau menolaknya. Dalam hal agama dan keyakinan, tidak ada kompromi.
Surat Al-kafirun, Ayat 6 di atas sekaligus menegaskan bahwa Islam memberi kebebasan kepada siapa pun untuk menentukan agamanya sendiri. Ayat ini didukung oleh sejumlah ayat lain di dalam Al-Qur’an seperti _lâ ikrâha fî ad-dîn_ (tidak ada paksaan dalam memeluk agama [Islam]). Rasulullah sudah memberikan contoh, beliau tiada kata “compromise” dalam urusan akidah. Tidak mau berkompromi untuk urusan keyakinan kepada Allah. Islam juga tidak memaksakan agama bagi pemeluk agama lain. Inilah salah satu wujud toleransi dalam Islam.
Berbicara masalah toleransi beragama, menteri agama baru-baru ini meminta setiap acara yang berlangsung di kementerian memberikan kesempatan kepada agama lain mengisi doa. Jadi bukan hanya doa secara Islam saja tetapi juga doa menurut agama lain. Hal ini disampaikan Yaqut pada saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama secara daring dan luring. Ia mengatakan, “Pagi hari ini saya senang Rakernas dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Ini memberikan pencerahan sekaligus penyegaran untuk kita semua. Tapi akan lebih indah kalau doanya diberikan kesempatan semua agama untuk memberikan doa,” kata Yaqut, (ANTARA news,5/4/21).
Pernyataan ini sebagai otokritik terhadap lembaga yang dipimpinnya. Sebab dalam setiap acara di Kemenag hanya menyertakan doa agama Islam saja. Ia ingin agama yang lain juga diberikan kesempatan sama. Sebab Kemenag menjadi rumah bagi seluruh agama yang ada di Indonesia,(ANTARA news,5/4/21).
Moderasi agama adalah isu yang yang sering diangkat pemerintah. Program moderasi beragama masif diopinikan melalui lembaga pemerintahan. Melalui Kementerian Agama yang menjadi corong untuk menderaskan opini moderasi beragama. Presiden Jokowi juga mencanangkan 2022 sebagai tahun moderasi melalui toleransi beragama. Maka sesuai arahan presiden, program moderasi beragama secara masif dilakukan di lembaga pendidikan dan rumah ibadah. Program ini juga terkait sub-sub tema ceramah, khutbah, maupun materi pendidikan keagamaan (kemenag.go.id, 9/4/21).
Alhasil moderasi Islam telah menjadi program utama pemerintahan, melalui kementerian agama.
Moderasi agama yang diprogramkan pemerintah berfokus pada moderasi Islam. Hal ini dikarenakan Islam dianggap ekstrem, intoleran, dan stigma negatif lainnya. Moderasi Islam sebenarnya berusaha menyesuaikan islam dengan ide ide Barat, mencampuradukkan ide Barat dengan Islam. Dengan mewacanakan toleransi, Islam yang modern sesuai dengan zaman. Seharusnya zaman itu mengikuti Islam (syariat Islam). Namun para pegiat moderasi memaksakan Islam (syariat Islam) harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam juga disamakan dengan agama lain, sama-sama mengajarkan kebaikan. Substansi moderasi sebenarnya adalah agar umat Islam menerima nilai-nilai Barat seperti demokrasi dan HAM, sekulariame. Seperti apa yang dilakukan oleh Gus Yaqut dengan anjuran doa bersama dalam setiap acara di lingkungan Kemenag. Baginya ini merupakan wujud toleransi dalam beragama.
Toleransi merupakan bagian yang penting dalam moderasi beragama. Menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan antar sesama, akan menghentikan radikalisme dan terorisme. Pengamalan ajaran agama moderat yang mendasar adalah pendidikan toleransi dan pengakuan terhadap segala bentuk perbedaan. Sehingga terjadi hubungan yang baik antar kelompok beragama, sekaligus mencegah praktik radikalisme (mediaindonesia.com, 23/7/2020).
Gerakan moderasi yang dilakukan di negeri ini tak ubahnya seperti gerakan sinkretisme yang memiliki pandangan bahwa pada dasarnya semua agama sama, mengajarkan kebaikan dan melarang kejahatan. Namun dalam Islam tidak menganggap demikian. Islam memandang agama Islam bersumber dari wahyu Allah. Keberadaan Islam di dunia ini adalah untuk membawa rahmat.
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (TQS Al-Maa-idah: 3).
Ayat ini memiliki makna bahwa, sebagai umat-Nya Allah SWT tidak memerlukan agama lain dan tidak pula nabi lain selalain Muhammad SAW. Rasulullah sebagai penutup para nabi. Sehingga apa yang dibawa oleh Rasulullah, harus ditaati.
Maka ketika Islam dicampuradukkan dengan agama lain atau disamakan dengan agama lain, ini sudah bertentangan dengan syariat Islam. Dalam program moderasi Islam, sinkretisme merupakan alat untuk menjalankan program ini. Sepatutnya kaum muslim perlu mewaspadai segala bentuk kegiatan yang akan mengarah kepada sinkretisme. Sinkretisme ini diopinikan seolah- olah mengajarkan nilai nilai kebaikan. Namun pada faktanya membuat rusak akidah. Jika negara tidak menghentikannya, maka pelan tetapi pasti akidah umat Islam akan tergerogoti.
Di negara yang bersistem kapitalisme dan berpemahaman sekuler seperti Indonesia, sinkretisme dibiarkan berkembang begitu saja. Dengan label moderasi Islam yang dibungkus memikat menjadikan masyarakat sedikit banyak menerima paham tersebut. Susah memang di zaman kapitalisme ini akidah bagaikan baju saja. Bisa disesuaikan dengan berbagai aksesori dan jenis pakaian lain. Dicampurkan, disesuaikan, disamakan dengan akidah lain. Padahal akidah Islam merupakan akidah yang lurus, bersumber dari wahyu. Tidak bisa dicampuradukkan dengan agama dan ide mana pun.
Maka sudah saatnya umat Islam butuh suatu sistem yang bisa melindungi akidah umat Islam. Seperti diketahui dalam sejarah kekhilafahan, penjagaan akidah menjadi hal yang penting. Hal ini terlihat hukum yang diterapkan bagi seseorang yang murtad adalah dibunuh. Setelah tidak mau kembali pada Islam, orang yang murtad ini kemudian diberikan hukuman. Begitulah Islam dalam penjagaan akidahnya. Sinkretisme tak akan bisa eksis di tengah-tengah masyarakat ketika Islam diterapkan. Namun ketika negara abai maka rusaklah akidah Islam di tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 191
Comment here