Opini

Keniscayaan Perubahan Atas Negara Korup

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd.

Praktisi Pendidikan

wacana-edukasi.com, Indonesia tanpa korupsi nampaknya hanya tinggal mimpi. Nyatanya, belum selesai satu kasus korupsi, sudah disusul kasus korupsi yang lainnya. Bahkan dari hari ke hari, jumlah uang rakyat yang dikorupsi makin fantastis saja. Padahal di saat yang sama, kondisi ekonomi Indonesia bisa dibilang kian payah.

Kasus korupsi yang semakin bertambah jumlahnya membuat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengakui bahwa pemerintahan saat ini koruptif dan oligarkis (nasional.tempo.co, 1/5/2021).

Hanya saja ia meminta masyarakat tak sepenuhnya kecewa kepada pemerintahan yang ada sebab masih ada kemajuan dari waktu ke waktu yang terus dilakukan pemerintah.
Pernyataan Mahfud MD ini kemudian ditanggapi oleh eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjajanto. Menurutnya, kemajuan yang dimaksud itu maju hancurnya (pikiran-rakyat.com, 3/5/2021). Hal ini ia sampaikan melalui akun twitternya.

Pernyataan Mahfud MD bahwa pemerintahan ini korup bukan kali ini saja. Tahun 2019 silam, dilansir dari suara.com (13/11/2019) Mahfud mengatakan lembaga penegak hukum yang tidak profesional dan korup itu turut menghambat laju pertumbuhan Indonesia. Hal itu disampaikan Mahfud dalam acara Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019).

“Hambatan-hambatan terhadap laju pemerintah itu juga dihambat oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang tidak profesional yang korup. Saya katakan ini korup,” kata Mahfud. Mahfud menyebut pelaku korupsi itu justru banyak ditemukan di lembaga penegak hukum. Ia mengaku telah berdiskusi terkait masalah tersebut dengan Presiden Joko Widodo.

Demokrasi Biang Korupsi

Bila ditilik lebih dalam, kasus korupsi bukan hanya masalah di negeri ini. Kegagalan negara-negara kampiun demokrasi untuk luput dari problem korupsi membuktikan bahwa korupsi akan selalu menyertai pelaksanaan demokrasi. Mengapa? Karena demokrasi adalah sistem yang berbiaya mahal.
Pada 2016, Transparency International merilis temuan bahwa satu dari tiga orang di Eropa memandang korupsi sebagai salah satu dari tantangan terbesar bagi negara mereka. Pada 2014, korupsi yang terjadi di Uni Eropa mencapai 120 miliar Euro atau sekitar Rp 1.920 triliun tiap tahun.
Negara kampiun demokrasi, Amerika Serikat, pun dihantui problem korupsi. Pada 2019, Amerika Serikat telah keluar dari peringkat 20 besar negara “paling tidak korup” menurut kelompok pengawas Transparency International dan sekarang dianggap sebagai “negara yang harus diawasi” oleh organisasi non-partisan itu. Kasus rasuah bahkan disebut sebagai ancaman terhadap keamanan nasional Amerika Serikat.

Mahalnya biaya politik demokrasi bukan semata pada penyelenggaraan pemilu, tapi juga karena praktik jual beli suara. Walhasil, calon penguasa butuh sokongan dana dari pihak lain untuk membiayai pencalonannya. Pihak lain ini adalah para pengusaha alias cukong. Mereka rela menggelontorkan dana besar untuk mendukung calon tertentu. Kompensasinya adalah berbagai proyek dan perubahan regulasi mengikuti keinginan mereka.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyebut, bahwa munculnya kasus-kasus korupsi sangat terkait dengan keberadaan para investor atau cukong politik yang bermain dalam setiap momen pemilihan para pejabat negara, termasuk anggota dewan maupun kepala daerah.

Para investor alias cukong politik ini tak lain adalah para konglomerat yang sangat berkepentingan mengintervensi proses pemilihan karena ada kebutuhan jaminan akan kelangsungan bisnis-bisnis mereka dari kekuasaan. Merekalah yang memasok kebutuhan dana parpol dan para pemburu kursi kekuasaan yang bertarung di ajang-ajang pemilihan.
Kondisi seperti ini memang niscaya ketika Indonesia dengan sadar menerima sistem demokrasi sebagai sistem dan model pengelolaan negara. Dalam sistem ini penguasa dan pengusaha (korporasi) berkolaborasi dalam hubungan simbiosis mutualisme. Yang satu butuh kursi, yang lain perlu kebijakan yang memuluskan.
Terlebih realitasnya, agar seseorang bisa sampai pada kursi kekuasaan, dibutuhkan dana yang sangat besar. Selain untuk biaya kampanye alias iklan, juga untuk memenuhi dana-dana siluman; menyuap para pemilih dengan serangan fajar, sekaligus menyuap semua pihak yang bisa memuluskan jalan kemenangan. Itulah mengapa setiap pesta demokrasi dilangsungkan, triliunan uang rupiah milik rakyat dan milik para cukong politik dihambur-hamburkan. Dan itulah juga, kenapa kasus-kasus berbau rasuah terus saja bermunculan.

Dalam satu kesempatan wawancara dengan detikcom, Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), pernah menyatakan bahwa karena kasus ini terus berulang, berarti kelemahan ada pada sistem (5/10/2019). Jika demikian gamblang fakta kelemahan sistem demokrasi dalam memberantas korupsi karena justru menjadi biang masalah korupsi, maka tak layak jika bangsa Indonesia terus mempertahankan sistem rusak ini. Apalagi dengan berpikir bahwa sistem ini masih bisa diperbaiki.
Rakyat tak boleh hanya kecewa tetapi harus menyadari bahwa kerusakan pemerintah dan munculnya pemerintah yang korup akibat sistem sekuler dan rakyat harus aktif mendorong berbagai pemangku kepentingan menghentikan praktik pemerintah sekuler.

Demokrasi dengan paham sekuler dan liberal inilah yang membuat aturan yang berlaku tak jelas standar dan sarat dengan berbagai kepentingan. Bahkan, mekanisme demokrasi telah menjadikan pembuatan aturan sebagai jalan memuluskan kepentingan. Terutama bagi mereka yang disokong dana banyak dan akhirnya bisa duduk di kursi kekuasaan. Vox populi vox dei hanya menjadi jargon basa-basi. Suara rakyat dibeli secara murah dalam demokrasi, lalu dijadikan legitimasi atas peraturan yang rusak dan merusak.

Inilah yang berbeda dengan Islam. Sistem Islam tegak di atas landasan keimanan kepada Allah Swt. yang termanifestasi dalam penegakan seluruh aturan-Nya oleh negara/penguasa, serta ditaati oleh individu-individu rakyatnya yang beriman dan bertakwa.
Penerapan aturan Islam secara kafah inilah yang akan menutup celah munculnya kasus korupsi. Karena aturan Islam sejatinya bebas dari kepentingan apa pun, dan dalam penerapannya ada jaminan kesejahteraan, keadilan, dan keamanan bagi setiap individu rakyat, sehingga tak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan kecurangan.

Terlebih, masyarakat dalam sistem Islam ini hidup dengan budaya amar makruf nahi mungkar. Sehingga akan tercipta suasana keimanan yang tinggi, dan di saat yang sama, setiap potensi penyimpangan akan tercegah sejak dini. Kalaupun ada satu dua kasus terjadi, maka negara akan menerapkan sanksi tanpa tebang pilih, dengan bentuk sanksi yang dijamin akan memberi efek jera pada pelakunya, sekaligus menjadi “warning” bagi mereka yang hendak coba-coba melakukan pelanggaran.
AF Ahmed dalam The Rightly Guided Caliphs and the Umayyads menulis, saat Umar bin Khaththab menjabat sebagai Khalifah, ia memecat pejabat atau kepala daerah yang melakukan korupsi. Mohammad Hashim Kamali dalam Islam Prohibits All Forms of Corruption menulis, khalifah Bani Abbasiyah Jafar al-Mansur mendirikan Diwan al-Musadirin yang bertugas menangani persoalan korupsi dan suap. Pada masa Bani Utsmaniyah, dibentuk pengadilan khusus penanganan penyimpangan wewenang oleh pejabat negara atau mazhalim.
Koruptor dipaksa untuk mengembalikan harta yang mereka terima secara ilegal. Penerima, pemberi, dan mediator suap atau korupsi diganjar hukuman pencopotan dari jabatan atau penjara. Pengasingan juga dilakukan sebagai bentuk hukuman lainnya. Pada abad ke-18, hukuman diperluas dengan hukuman mati dan denda. Pada kasus tertentu, hukuman mati bisa diganti dengan sejumlah harta (republika.co.id, 20/3/2020).

Korupsi merupakan perkara yang haram dalam Islam, sehingga harus ditinggalkan. Jika tidak, pelakunya akan mendapat sanksi yang menjerakan.
Demikianlah Khilafah mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Sistem pemerintahan inilah yang butuh kita wujudkan segera, menggantikan demokrasi yang menyengsarakan.
Berdasarkan hal tersebut, kita yakin bahwa Pemerintahan Indonesia akan bersih dari korupsi jika asas sekuler-liberal ini dihilangkan dan diganti dengan asas akidah Islam. Keyakinan pada Allah SWT hendaknya mewujudkan ketaatan pada syariat-Nya, termasuk syariat yang mengatur pemerintahan. Maka, bagi mereka yang masih berharap kebaikan pada sistem demokrasi yang koruptif dan oligarki cukuplah merenungkan ayat Allah ini:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah : 50)

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here