Opini

Kebijakan Plin Plan Pembukaan Wisata

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Annisa Al Maghfirah

(Relawan Media Muslimah)

wacana-edukasi.com, Tidak terasa kita telah lama bersama korona. Dua kali sudah ramadhan dilalui dalam keadaan pandemi. Lebaran jilid II bersama covid-19 menuai kontroversi. Ada lagi larangan mudik yang diberlakukan pada 6-17 Mei 2021. Kebijakan ini ditetapkan untuk nencegah penyebaran virus corona. Ketika mudik dilarang, pemerintah justru membiarkan tempat wisata dibuka.

Salah satu tweet menarik dari netizen Fajar Junaedi dengan nama akun @fajarjun menanggapi kebijakan inkonsisten ini. “Tempat wisata dibuka sesuai protokol kesehatan, kata pejabat. Rakyat tidak usah mudik, kata pejabat. Tempat wisata penuh sesak tanpa protokol kesehatan, sementara sebagian besar rakyat akhirnya tidak mudik, itu hasilnya. Semoga Indonesia tidak jadi India kedua.”

Kontraproduktif Pembukaan Wisata

Sebelumnya, dilansir dari Kompas.com, (16/05/2021) para ahli kesehatan terutama epidemiolog, telah mengingatkan bahwa pembukaan tempat wisata saat libur lebaran adalah kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya pencegahan penularan virus corona. Pada 24 April 2021 lalu, epidemiolog Universitas Gadjah Mada Bayu Satria Wiratama mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah melarang mudik lebaran. Akan tetapi, membuka lokasi wisata penuh dengan risiko.

Gubernur Banten, Wahidin Halim berencana tidak akan membuka semua destinasi wisata selama masa lebaran. Berkaca dari pengalaman tahun lalu, amat sulit mengendalikan protokol kesehatan terhadap wisatawan.

Kepentingan Rakyat atau Kapitalis?

Pemerintah beralasan bahwa dibiarkannya tempat wisata dibuka agar masyarakat yang tidak dapat mudik bisa menikmati wahana wisata tanpa perlu pulang kampung. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno dalam kanal youtube Najwa Shihab (15/05/2021) berjanji destinasi wisata akan mematuhi protokol kesehatan. Masyarakat yang berwisata akan memberikan stimulus pada sektor wisata dan ekonomi kreatif.

Kenyataannya, kunjungan wisatawan ke Pantai Ancol, Jakarta, membeludak mencapai kisaran 39 ribu orang. Kerumunan wisatawan di beberapa tempat wisata di beberapa daerahpun terjadi dan dikhawatirkan bakal memicu terjadinya klaster baru penyebaran Covid-19.

Topik tentang Ancol pun sempat trending topic di twitter. Tidak sedikit warganet yang membandingkan kerumunan wisatawan yang mandi di Pantai Ancol, mirip dengan yang dilakukan warga India saat melakukan ritual mandi di Sungai Gangga yang diduga menjadi pemicu terjadinya gelombang “tsunami” Covid-19.

Pemerintah seolah tidak memprediksi membludaknya pengunjung akibat dibukanya tempat wisata. Walaupun selanjutnya ada penutupan sementara, akibat kebijakan buka tutup ini rakyat dirugikan secara ekonomi dan kesehatan.

Kerugian ekonomi dirasakan oleh supir angkutan yang sejatinya tiap arus mudik menjadi tambahan penghasilan bagi mereka. Tapi menurun akibat pencegatan mudik. Belum lagi mahalnya tes rapid ataupun swab dibeberapa wilayah yang merugikan masyarakat. Di sisi kesehatan akibat kebijakan inkonsisten pemerintah, banyak masyarakat yang berllibur bisa menimbulkan klaster covid-19. Terlebih pemerintah tidak bisa menjamin protokol kesehatan bisa terterapkan dengan ketat dan baik.

Alhasil, kebijakan yang dibuat pemerintah bukan untuk kepentingan rakyat, tapi hanya menimbang pemasukan pemerintah dari PAD dan kepentingan usaha pariwisata. Beginilah karakter kapitalisme yang kalang kabut mencari sumber pemasukan akibat covid-19. Kapitalisme yang selalu mementingkan materi memang dari awal menyikapi pandemi korona tidak serius dan tanpa solusi pasti. Sesungguhnya manusia butuh aturan dari Pencipta manusia itu sendiri untuk menyelesaikan segala problematika hidupnya.

Niatnya mau menyelamatkan rakyat, tapi malah membolehkan tempat wisata dibuka? Yang ada malah berbuntut terjadi kerumunan di mana-mana. Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Apakah rakyat yang disalahkan karena kebingungan atas kebijakan pemerintah yang plinplan?

Adapun penyelesaian masalah para pemimpin di sistem demokrasi kapitalisme justru memproduksi masalah baru tanpa menyelesaikan masalah sebelumnya. Ingin mengandalkan pemasukan dari pariwisata, tapi akhirnya mengancam keselamatan rakyat,

Pemerintah seharusnya lebih mendengarkan saran atau nasehat dari para ahli yang berkaitan dengan penyelesaian masalah pandemi. Ahli yang memang mementingkan rakyat bukan yang malah mengabaikan keilmuwannya demi penguasa, entah karena takut ataupun mencarii muka. Seorang pemimpin juga bukan berpikiran bagaimana meraih keuntungan semata.

Kita bisa berkaca dari kisah khalifah Umar bin Khattab. Sebagaimana pidato khalifah Umar saat diangkat menjadi Khalifah, yang dijelaskan di Biografi Umar bin Khaththab karya Muhammad Husain Haekalmar, Khalifah Umar bin Khattab mengatakan, “Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf nahi mungkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat Saudara-Saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya, demi kepentingan Saudara-Saudara sekalian.”

Betapa menjadi seorang pemimpin itu amatlah sulit dan berat tanggungjawabnya. Ia bukan hanya bertanggungjawab kepada rakyat yang dipimpinnya tetapi yang lebih utama bertanggungjawab di hadapan Allah. Maka, seyogyanya menjadi pemimpin pun harus mengikuti aturan yang Allah aturkan kepada manusia selaku khalifah fil ardh. Umat Islam harus sadar bahwa kita adalah hamba Allah bukan hamba ramadhan. Jadi, aturanNya harus diikuti secara totalitas bukan hanya saat ramadhan saja. Pun, aturan-Nya bukan sekedar ritual ibadah namun juga berkaitan dengan wabah serta aspek lainnya diatur secara sempurna dan paripurna dalam Islam.

Wallahu a’lam bishowwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here