Oleh Sri Retno Ningrum (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, Kebijakan plinplan telah dilakukan rezim ini. Pasalnya, setelah tempat wisata dibuka tetapi ditutup kembali. Seperti halnya yang terjadi di Pantai Batu Karas, TMII, Ancol dan Ragunan. Foto-foto yang memperlihatkan kepadatan pengunjung tanpa mengikuti protokol kesehatan di tempat tersebut pun bertebaran di media sosial.
Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra, Abdul Muhaimin Iskandar meminta Pemprov DKI Jakarta lebih bijak dalam membuat sebuah kebijakan. Menurutnya, kebijakan membuka Pantai Ancol jelas menimbulkan kerumunan yang sulit dikendalikan. “Bagaimana orang mandi di pantai bisa menerapkan protokol kesehatan? Pakai masker juga tidak mungkin. Mau jaga jarak bagaimana caranya? Lihat saja berbagai gambar kerumunan yang terjadi di Ancol pada Jumat kemarin.” (Sindonews.com, 16/5/2021).
Selain empat tempat wisata tersebut ditutup, ada pula Pantai Carita, Pandeglang, Banten juga ditutup. Akan tetapi, dibuka kembali karena ada demonstrasi yang dilakukan pedagang, pengelola wisata, dan pengelola wahana permainan di Pantai Carita. Mereka menilai kebijakan Pemprov Banten plinplan karena saat bulan Ramadan membolehkan destinasi wisata buka, tetapi di tengah jalan menutupnya. “Kesal, kenapa kebijakan plinplan. Mereka kan sudah bisa memprediksi akan ada lonjakan kenapa paksain buka? Maksud dan tujuannya apa seperti itu buat kita,” kata pengelola Pantai Pasir Carita, Hilma. (Viva.co.id, 16/5/2021).
Kebijakan buka tutup tempat wisata yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah memang kebijakan plinplan yang membuat bingung pengunjung, pedagang, dan pengelola tempat wisata. Padahal, pemerintah sudah mengetahui akan ada lonjakan pengunjung ketika libur Lebaran. Sehingga menimbulkan pertanyaan, mengapa pemerintah tidak sejak awal menutup tempat wisata sebelum terjadi lonjakan pengunjung? Ada apa di balik sikap pemerintah tersebut?
Tidak bisa dimungkiri, bahwa sikap pemerintah seperti itu dikarenakan sektor pariwisata mendatangkan pendapatan daerah sehingga pemerintah tidak ingin kehilangan itu, meski keadaan negara masih terkena pandemi Covid-19. Gayung pun bersambut, masyarakat Indonesia yang memiliki hobi berpariwisata untuk mengusir kepenatan dapat menghilangkan kejenuhan dalam menjalani aktivitas sehari-hari tanpa memedulikan keadaan negara masih pandemi.
Sejatinya, penguasa yang baik adalah dia yang kebijakannya selalu mengedepankan kepentingan rakyat daripada ekonomi. Akan tetapi, ketika negara ini menerapkan sistem kapitalisme hal tersebut menjadi suatu yang mustahil dikarenakan prioritas dalam sistem ini adalah materi, bukan kemaslahatan rakyat. Sehingga sering kali kebijakan-kebijakan yang lahir darinya malah meminggirkan nasib rakyat. Tak jarang pula, kebijakan yang dihasilkan bersifat plinplan antara demi kepentingan ekonomi ataukah kepentingan rakyat seperti kebijakan buka tutup pariwisata. Miris!
Dalam pandangan Islam, penguasa adalah pelayan umat, artinya penguasa akan senantiasa melayani semua urusan dan mengayomi rakyat. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda: “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari).
Sehingga ketika Islam pernah diterapkan dalam bingkai Daulah Islam atau khilafah, semua rakyat baik muslim maupun non muslim di- riayah dengan baik. Ketika pun Daulah Islam terkena wabah yakni pada masa Rasulullah SAW. Beliau langsung menerapkan kebijakan lockdown atau karantina wilayah, sehingga wabah tidak menyebar ke daerah lain, dan persoalan wabah mudah untuk diatasi bukan seperti kondisi sekarang ini.
Sungguh, tidak ada pilihan lain bagi kita untuk meninggalkan sistem yang membawa kefasadan bagi rakyat ini, yakni sistem kapitalisme, kemudian beralih kepada sistem Islam atau khilafah. Sebab sistem Islam atau khilafahlah memiliki kebijakan yang dikeluarkan senantiasa mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga kesejahteraan dirasakan umat. Tidakkah kita menginginkannya?
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 0
Comment here