Oleh Nurjaya, S.Pd.I.
(Pemerhati Sosial)
wacana-edukasi.com, Hari Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan bagi kaum muslimin setelah sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadan. Idul Fitri ini sudah menjadi kebiasaan bagi kaum muslimin menyambutnya dengan penuh kegembiraan,masjid,-masjid, dan musala menggemakan takbir, hingga konvoi kendaraan bermotor untuk takbiran keliling pun dilakukan, tanda sukacita menyambut hari yang mulia. Meski di hati ada kesedihan karena bulan Ramadan telah pergi.
Tidak cukup dengan hal itu, ibu-ibu di rumah jauh-jauh hari sudah menyiapkan pernak-pernik hari raya ini, mulai dari menyiapkan rumah agar tampil beda di hari raya dengan memperbarui perabotannya, bersih-bersih rumah, tak ketinggalan juga aneka makanan dan minuman pun disiapkan untuk menyambut sanak saudaranya.
Anak-anak juga bersukacita menyambut Hari Raya Idul Fitri ini, karena biasanya mereka dapat jatah dari orang tuanya untuk membeli pakaian baru, sandal baru, meskipun setahun sekali, dan biasanya mereka dapat banyak angpau ketika pergi untuk bersilah ukhuwah ke sanak saudara.
MasyaAllah. Sungguh hari yang menyenangkan bagi kaum muslimin.
Namun, sejatinya, orang yang benar-benar layak merayakan hari raya adalah orang yang sempurna ibadah dan ketaatannya kepada Allah di bulan Ramadan dan juga untuk orang yang mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Bukan bagi orang yang mengenakan pakaian serba baru.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari Nabi Muhammad SAW bahwa Nabi bersabda: “Ketika umat Nabi melaksanakan puasa pada bulan Ramadan dan mereka keluar untuk melaksanakan Shalat Idul Fitri, maka Allah berfirman: ‘Wahai malaikatku, setiap yang telah bekerja akan mendapatkan upahnya. Dan hamba-hambaku yang telah melaksanakan puasa Ramadan dan keluar rumah untuk melakukan Shalat Idul Fitri, dan memohon balasan (dari ibadah) mereka, maka saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah memaafkan mereka.’ Kemudian ada yang berseru, ‘Wahai umat Muhammad, kembalilah ke rumah-rumah kalian, aku telah menggantikan keburukan kalian dengan kebaikan’. Maka Allah SWT berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian berpuasa untuk-Ku dan berbuka untuk-Ku, maka tegaklah kalian dengan mendapatkan ampunan-Ku terhadap kalian.”
Di Indonesia meski sedang dilanda pandemi Covid-19 tetapi masih bisa melaksanakan Shalat Idul Fitri secara berjamaah meski dengan kapasitas jamaah hanya setengah dari biasanya.
Suasana Idul Fitri ini yang sejatinya disambut dengan kegembiraan, tetapi suasana berbeda terjadi di Palestina. Hari Raya Idul Fitri mereka disambut dengan ketakutan yang sangat, kesedihan yang mendalam karena terus dibombardir oleh Israel semenjak sepuluh hari terakhir Ramadan lalu. Bangunan yang hancur, darah bergelimangan di mana-mana, bahkan mayat pun menjadi pernak-pernik Hari Raya Idul Fitri di Palestina.
Suasana pilu juga dirasakan oleh banyak kaum muslimin di banyak negara. Jangankan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri dengan kegembiraan lengkap dengan pernak-perniknya, bahkan sekadar menunjukkan identitas keislamannya saja semisal hanya memanjangkan jenggot, mereka akan mendapatkan siksaan yang tidak manusiawi, dipenjara, hingga dibunuh. Sebut saja muslim Uighur, Kasmir, Rohingya, dan lainnya.
Kondisi ini terjadi karena kaum muslimin meninggalkan agama, kekuatan kita ada pada Islam dan khilafah sebagaimana dikatakan oleh Lord Curzon, mantan Menlu Inggris. Kita saat ini jauh dari Islam, hanya kita jadikan sebagai sekadar identitas belaka, hanya melaksanakan ibadah ritual saja (shalat, puasa, zakat, haji, dll). Sementara untuk perkara hukum, pendidikan, kesehatan, politik, bernegara, kehidupan sosial, jual beli hingga berumah tangga, kita tidak menjadikan Islam sebagai sumber panduan. Akibatnya kita menjadi lemah dan tidak punya daya untuk membantu saudara muslim yang sangat butuh pertolongan kita, entah apa yang akan kita jawab ketika di hari penghisaban, mereka itu mengadu kepada Allah karena diamnya kita ketika melihat, mengetahui kondisi mereka.
Padahal dahulu ketika Islam diterapkan secara total dalam sebuah negara (khilafah), kita adalah kaum yang sangat diperhitungkan dunia. Khalifah sebagai kepala negara tidak tanggung-tanggung dalam membela saudara muslim yang sedang dianiaya. Sebut saja Khalifah Al Mu’tashim Billah.
Kita tersekat-sekat oleh nasionalisme sehingga merasa bahwa derita mereka bukanlah derita kita, dan bukan menjadi kewajiban bagi kita untuk menyelamatkan mereka. Padahal muslim yang satu adalah saudara bagi muslim lainnya.
“Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menyerahkan kepada orang yang hendak menyakitinya. Barang siapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhannya. Barang siapa yang melapangkan kesulitan seorang muslim, Allah akan melapangkan kesulitan-kesulitannya di hari kiamat.” (HR. Bukhari Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dari Abdullah bin ‘Umar).
Kondisi ini mengingatkan kita bahwa muslim sedunia sejatinya saat ini membutuhkan junnah (pelindung) yakni khilafah untuk memberi jaminan rasa aman dan perlindungan dari beragam serangan dan ancaman bahkan hingga memberikan kesejahteraan kepada warga khilafah baik muslim maupun non muslim. Semua telah dibuktikan oleh sejarah.
Kita butuh seorang khalifah yang akan memimpin pasukan untuk membebaskan bumi Palestina, Muslim Uighur, Rohingya, Kasmir, dan yang lainnya dari penjajahan musuh-musuh Islam. Tidak bisa ditawar, khilafah adalah kebutuhan yang paling mendesak saat ini untuk kaum muslimin. Ya Allah … Segerakanlah pertolongan-Mu.
Views: 6
Comment here