Oleh Nazwa Hasna Humaira
(Pelajar dan Aktivis Dakwah
Wacana-edukasi.com — Keinginan mudik Lebaran 1442 H betul-betul menyisakan kecewa bagi sebagian besar masyarakat. Rutinitas tahunan bersua dengan keluarga besar tak lagi bisa terealisasi, alasan pandemi membuat pemerintah memberlakukan larangan pulang kampung dengan mengerahkan aparat untuk jaga alur mudik. Seperti halnya di daerah Cileunyi, petugas melakukan penyekatan dan membuat puluhan kendaraan dipaksa untuk memutar balik.
Masyarakat yang dipaksa putar balik tentu merasakan kecewa bahkan berujung keributan, sebagaimana yang terjadi di jagat maya tentang viralnya pemudik memarahi aparat karena tidak terima jika ia harus memutar balik kendaraannya.
Peristiwa tersebut menggambarkan satu hal bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih terlalu dini dan kurangnya sosialisasi, terlebih efek dari kebijakan itu bersifat parsial. Pintu keluar ditutup, pintu msuk terbuka lebar. Hal ini terbukti berdasarkan berita yang menyebutkan banyaknya WNA masuk ke Indonesia bermodal selembar surat tes negatif Covid, padahal negara asal dari WNA tersebut mengalami peningkatan kasus wabah yang sangat besar, seperti India.
Dikarenakan Covid-19 masih menunjukkan kebahayaannya, semestinya negara menutup rapat akses masuk warga luar Indonesia, apa pun alasannya. Jika ini tetap dilakukan, apalah artinya melarang mudik, melarang berkumpul bila virus masih dibiarkan masuk bersama warga asing.
Itulah yang terjadi apabila negara berpijak pada paham kapitalisme. Solusi yang ditawarkan berupa kebijakan atau aturan hanya solusi semu. Aturan mudah berubah jika berpeluang ada keuntungan di dalamnya, sementara rakyat terus dipaksa menerima atas aturan tersebut, bahaya atau tidak bukan prioritas negara. Masyarakat menderita pun negara tak peduli.
Maka, tak heran bila bagaimanapun aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak bisa menenteramkan bagi masyarakat, sebab tidak menuntaskan masalah tersebut hingga akarnya. Pada akhirnya, wabah Covid-19 ini tetap ada, kehidupan masyarakat semakin resah dan susah.
Penanganan Wabah dalam Islam
Berbeda halnya dengan Islam dalam menyikapi suatu wabah. Pemimpin Islam akan mengambil keputusan yang tepat dan tegas sesuai dengan syariat Islam, tidak akan ada aturan tebang pilih ataupun tumpang tindih. Pemimpin Islam, melalui apa yang dicontohkan Rasul SAW dan Khalifah Umar ra. dalam menangani sebuah wabah di masanya, menerapkan _lockdown_ yaitu melarang dengan tidak memasuki wilayah yang terkena wabah penyakit, dan orang-orang di wilayah tersebut tidak boleh keluar, apalagi virus penyebab wabah itu sangat mematikan, _tha’un_ misalnya. Rasulullah SAW. mengingatkan:
“Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Bukan hanya itu saja, Rasulullah SAW pun menganjurkan untuk mengisolasi diri, supaya penyakit yang ada dalam tubuh tidak bisa menyebar ke orang lain.
“Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Itulah langkah-langkah yang dipraktikkan Rasul SAW saat terjadi wabah. Sementara pemenuhan kebutuhan masyarakat baik yang terdampak atau tidak akan ditanggung negara secara maksimal dari saat sakit hingga setelah sembuhnya sebagaimana masa kepemimpinan Umar bin Khattab.ra. atau pemimpin sesudah beliau.
Kondisi tersebut hanya akan dijumpai dan dirasakan pelayanan serta perhatian negara saat sistem pemerintahan Islam tegak di tengah umat. Sistem ini satu-satunya yang mampu memberi solusi nyata bukan dusta. Aturan yang diterapkan akan membuat masyarakatnya nyaman, sejahtera, dan dapat mampu bersilaturahmi kepada sesama muslim tanpa adanya halangan apa pun.
Nazwa Hasna Humaira
Views: 1
Comment here