Oleh Afifa Afnan
Wacana-edukasi.com — Matahari tepat di atas kepala, terasa panasnya membakar kulitku. Membuat badan ini basah oleh keringat, tetapi tetap tak kuhiraukan. Telapak tangan dan kaki yang kasar begitu pun badan yang sakit dan pegal-pegal, tak mengharuskanku untuk mengeluh. Semua ini, aku syukuri.
Aku harus pulang dengan membawa uang. Batinku berbisik.
Aku Wardi, usiaku sudah tak muda lagi. Keseharian sebagai kuli angkut barang di pasar. Upahku tak menentu per harinya. Kadang dapat kadang tidak. Ya, beginilah nasib orang tak punya. Harus selalu kuat dan tegar menjalani hidup. Kalau tidak, nasib kami akan berakhir di tempat sampah, jalanan, atau bahkan di liang lahat. Namun, aku harus tetap berjuang demi masa depan anak-anakku.
Aku mempunyai dua orang putra dan putri yang masih kecil. Amirah si cantik salihah berusia tujuh tahun tepat bulan depan. Atalah si bungsu yang saleh tak pernah rewel meskipun usianya masih tiga tahun, mereka sering aku tinggal untuk mengais rezeki di pasar.
Aku menitipkan mereka pada salah satu tetangga di perkampungan tempat tinggalku, ketika aku sedang bekerja di pasar.
Sedangkan istriku, dia telah lama pergi meninggalkan kami. Entahlah, mungkin dia bosan hidup miskin terus bersamaku. Makanya selepas melahirkan si bungsu, dia pergi meninggalkanku dan anak-anak. Mungkin perbedaan usia yang cukup jauh di antara kami pun menjadi salah satu penyebab dia tidak berpikir dewasa dalam mengambil keputusan. Aku menikahi dia di saat usianya baru delapan belas tahun sedangkan aku berumur 35 tahun.
Di awal pernikahan kami tidak banyak masalah, dia tidak banyak menuntut. Namun, ketika setelah melahirkan si Sulung masalah mulai bermunculan. Dia terbawa arus pergaulan bersama teman-teman semasa sekolahnya dahulu. Dia mulai banyak menuntut terlebih dalam masalah ekonomi kami yang dahulu pas-pasan. Keadaan kami tambah terpuruk, ketika aku kena PHK di pabrik tempat aku bekerja. Istriku mulai sering marah-marah, dia tidak mau mengurus Amirah.
“Mas, aku mau kerja. Aku ingin beli barang-barang kebutuhanku. Selama ini kamu nggak pernah beliin aku kosmetik, tas, dan lain-lain,'” keluh Retna.
Ya, istriku bernama Retna. Seorang gadis lugu dan kembang desa di kampungku waktu itu. Aku bahagia ketika dia lebih memilihku sebagai calon suaminya di antara banyak pemuda yang mendekatinya. Namun, ternyata jalan kehidupan kami berkata lain. Pernikahan ini kandas, dia meninggalkan kami ketika anak-anak sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang seorang ibu.
Mas, maaf aku harus tinggalin kamu. Aku ingin hidup lebih baik, aku titip anak-anak! Isi sepucuk surat yang kutemukan di atas bantal pagi itu.
Aku tertegun sejenak kala membaca isi surat itu. Namun, aku kembali menyadari mungkin karena memang ini salah diri ini sebagai seorang suami yang tidak bisa membahagiakan istri dan anak-anakku.
(Bersambung)
Views: 3
Comment here