Wacana-edukasi.com — Pemerintah berencana mewajibkan 25 persen aparatur sipil negara (ASN)di tujuh kementerian/ lembaga di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk bekerja dari Bali atau Work From Bali. Upaya ini guna memulihkan pariwisata yang terpukul akibat pandemi Covid-19 (CNNIndonesia.com 23/05/2021).
Tak ayal, wacana tersebut menuai sorotan publik. Pasalnya, langkah tersebut dinilai sebagai kebijakan yang kontraproduktif di tengah minimnya anggaran yang dimiliki pemerintah. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, keuntungan dari kebijakan tersebut tidak sebanding dengan risiko yang terjadi. Sebab, pandemi Covid-19 masih berlangsung. Jika diterapkan, rencana itu hanya akan menguntungkan pemilik hotel dan tidak berpengaruh terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (Limapagi.com 23/05/2021).
Meski, diklaim punya tujuan untuk menghidupkan kembali pariwisata di Bali. Akan tetapi, menurut para ekonom gagasan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kurang tepat. Hal ini, dinilai justru hanya membuang-buang anggaran saja. Sebab, tidak sejalan dengan kebijakan pemangkasan anggaran perjalanan dinas tahun 2021 yang mengalami penurunan Rp1,8 triliun (TribunBali.com 24/05/2021).
Sejatinya, kebijakan ini adalah gambaran dari liberalisasi yang menjadi ruh kapitalisme. Sebuah paham yang mangajarkan orientasi keuntungan dengan mudah menggiring gaya hidup masyarakat memasuki era ekonomi wisata. Paham ini, meniscayakan keindahan alam untuk bersenang-senang. Maka wajar, jika ditemukan ada kebijakan untuk menggarap alam, budaya, dan karya manusia sebagai destinasi wisata.
Berbeda halnya dengan islam. Islam tidak akan pernah menjadikan pariwisata sebagai core ekonomi negara. Pariwisata dalam islam diatur untuk kepentingan dakwah dan tadabur alam. Sehingga, keimanan seseorang akan bertambah.
Ummu Alif (Kendari — Sulawesi Tenggara)
Views: 6
Comment here