Oleh Ateh Fitriani
Wacana-edukasi.com — Salah satu keputusan yang berdampak pada keuangan ialah keputusan untuk berutang. Utang merupakan dana yang digunakan dari pihak lain, untuk memenuhi kebutuhan, keinginan, atau tujuan keuangan.
Baru-baru ini, Bank Dunia menyampaikan laporan International Debt Statistics ISD2021 atau Statistik Utang Internasional. Dalam laporan tersebut Indonesia masuk ke dalam daftar 10 negara berpendapatan kecil-menengah dengan utang luar negeri terbesar di dunia.
Utang pemerintah pusat pun kian membengkak di tengah pandemi Covid-19 ini. Periode April 2021 meroket menjadi Rp6.527,29 triliun. Dengan jumlah itu, rasio utang pemerintah mencapai 41,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah itu bertambah Rp82,22 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya sebesar Rp6.445,07 triliun. (detik.com, 7/6/2021).
Penyebab Utang kian Membengkak
Sebagaimana apa yang disampaikan oleh politikus Rizal Ramli, sebelum pandemi ekonomi negeri ini sebenarnya sudah bermasalah. “Everything is Fine, Everything is Ok”, padahal utang banyak. Kasus pertama Covid-19 menurut Fakultas Kedokteran dimulai pada bulan Januari, akan tetapi dari Januari sampai pertengahan Maret pemerintah diam dan berusaha pura-pura menghibur rakyat.
Pada saat Covid-19 sudah disadari berada di Negeri ini bukanya menutup jalur turis dan pekerja dari Cina, malah mengizinkan dan berencana memberi insentif sekian miliar untuk membantu meningkatkan turis. Sewa buzzer yang dananya cukup besar untuk urusan Covid-19 yang justru buat misinformasi. Ada pejabat yang tadinya super optimis jadi super pesimis seolah-olah hanya menyalahkan Covid-19 bukan karena kebijakannya. Hingga simulasi grafik ekonomi Covid-19 akhirnya pun outbreak.
Penyebab utama dari bertambahnya utang ini adalah defisit anggaran yang diterapkan oleh pemerintah, artinya pemerintah lebih banyak melakukan pengeluaran daripada mengumpulkan pemasukan. Di kala sumber daya semakin terbatas dan Negara dihadapkan pada upaya penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi, tetapi sayangnya pemerintah justru masih kurang serius dalam menangani hal ini dan tidak melakukan apa yang memang perlu dilakukan, begitu pula sebaliknya. Hingga pada akhirnya tidak membuahkan hasil yang optimal.
Di sisi lain proyek-proyek infrastruktur masih terus berlanjut termasuk ibu kota baru yang masih belum jelas, bukannya dihentikan justru terus dilanjutkan. Peningkatan rasio utang berpotensi membuat Negeri ini sulit keluar dari jebakan utang dalam skala besar, di sisi lain kemampuan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan penerimaan lebih rendah dari pertumbuhan utang. Belanja pemerintah terus meningkat seiring dengan penyusutan penerimaan negara, ditambah utang yang semakin membengkak.
Dampak Utang makin Membengkak
Dampak peningkatan utang memberi beban yang tidak semestinya pada generasi mendatang. Secara logis pemerintah dengan kebijakan fiskalnya akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak. Pajak adalah tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan seolah kehabisan akal untuk membereskan beban negara yang tak kunjung selesai tersebut. Meski dengan kebijakan kenaikan pajak yang baru-baru ini akan percuma, memang penerimaan pajak akan naik jika PPN meningkat. PPN menjadi penyumbang terbesar dalam penerimaan pajak di dalam negeri. Kenaikan pajak percuma sebab ekonomi domestik bergerak lemah. Hal ini akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi negeri ini malah terkontraksi minus dan sejak resesi pertama kali pada tahun 1999 sudah dikuncurkan dana besar. Ini membuktikan bahwa persoalannya ada pada manajemen penanganan pandemi, utang luar negeri bukanlah solusi.
Solusi Atasi Utang hanya dengan Sistem Islam
Itulah yang terjadi jika menerapkan aturan hanya untuk kepentingan kelompok, bukan menyelesaikan tetapi menambah masalah. Dibutuhkan menerapkan aturan yang benar. Aturan yang tentunya pasti benar dan aturan tersebut pasti hanya bersumber dari _Al Khaliq_, yaitu berpedoman pada Al-Qur’an.
Perlu diperhatikan, dalam sistem utang pada kapitalisme juga menerapkan riba dan sekaligus menjadi alat penjajahan oleh negara-negara kapitalis kepada negara-negara berkembang. Sedangkan dalam Islam sendiri riba jelas sekali hukumnya adalah haram. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275).
Faktanya umat muslim saat ini dengan mudah melanggar hukum Allah. Seperti halnya mengambil riba karena merasa bahwa hukuman riba itu biasa-biasa saja. Allah telah mengharamkan riba tetapi kamu masih saja ngotot menawarnya, apakah bagimu pekerjaanmu jauh lebih penting dari-Nya? Jika Allah sudah berfirman “Tinggalkan” maka segera tinggalkan!
Allah berfirman:
فَاِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلُوۡا فَاۡذَنُوۡا بِحَرۡبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖۚ
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al- Baqarah: 279).
Atas ayat ini, Imam Al Qurthubi menjelaskan, ketika Imam Malik ditanya seseorang yang mengatakan, “Istri saya tertalak jika ada yang masuk ke dalam rongga anak Adam lebih buruk daripada khamr.” Dia berkata,” Pulanglah, aku cari dulu jawaban pertanyaanmu! Keesokan harinya orang tersebut datang dan Imam Malik mengatakan hal serupa. Setelah beberapa hari orang itu datang kembali dan imam Malik berkata, “Istrimu tertalak. Aku telah mencari dalam seluruh ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi tidak aku temukan yang paling buruk yang masuk ke rongga anak Adam selain riba, karena Allah memberikan sanksi pelakunya dengan berperang melawan-Nya.” (Tafsir Al Qurthubi).
Allah berjanji akan memasukkan pelaku “riba” ke dalam neraka kekal selamanya. Allah berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ؕ فَمَنۡ جَآءَهٗ مَوۡعِظَةٌ مِّنۡ رَّبِّهٖ فَانۡتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَؕ وَاَمۡرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِؕ وَمَنۡ عَادَ فَاُولٰٓٮِٕكَ اَصۡحٰبُ النَّارِۚ هُمۡ فِيۡهَا خٰلِدُوۡنَ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Iarangan dari Tuhannya, laIu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Iarangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekaI di dalamnya” (QS. Al Baqarah: 275).
Dalam hadis, Nabi ﷺ juga memerintahkan agar seorang muslim menjauhi riba. Sebab riba termasuk salah satu dari tujuh dosa besar.
Nabi SAW bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ ”. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ قَالَ ” الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ ”
“Jauhi tujuh hal yang membinasakan! Para sahabat berkata, “Wahai, Rasulullah! apakah itu? Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa haq, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh wanita beriman yang Ialai berzina.” (Muttafaq ‘alaih).
Maka solusi dalam menyelesaikan riba harus menggunakan penyelesaian secara fundamental oleh negara yang berdaulat dan mandiri yaitu dengan diterapkannya ekonomi Islam. Sungguh hanya dengan sistem Islam secara kafah, ekonomi Islam dapat diterapkan dengan benar.
Wallohualam bishowab
Views: 2
Comment here