Surat Pembaca

Sertifikasi Dai, Perlukah?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ummu Adibsa

(Anggota Komunitas Tinta Pelopor)

Wacana-edukasi.com — Dalam rangka penguatan moderasi beragama, Kementerian Agama (Kemenag) akan melakukan sertifikasi wawasan kebangsaan kepada para dai dan penceramah agama.
Hal itu disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas saat rapat dengan Komisi VIII DPR, Senin (31/5/2021) lalu. Yaqut mengatakan, sertifikasi ini terkait dengan penguatan moderasi beragama melalui kompetensi penceramah. (Tribunnews.com, 31/5/2021).

Di sisi lain, Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS, Iskan Qolba Lubis menanggapi kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) RI untuk melakukan Sertifikasi Dai di Indonesia. Dia merasa kecewa dengan adanya kebijakan sertifikasi tersebut. Menurutnya, hal tersebut menyerupai Penelitian Khusus (Litsus) yang terjadi di zaman orde baru (orba).

Selain itu, menurutnya hal ini juga bertentangan dengan hak kebebasan berbicara dan berpendapat selayaknya berdakwah tanpa harus memiliki sertfikasi. (Tribunnews.com, 7/6/2021).

Kebijakan terkait dengan sertifikasi dai memunculkan kontroversi sejak awal kemunculannya. Dimulai dari era Menag Lukman Hakim, Fachrul Razi sampai sekarang, Menag Yaqut, seakan memaksakan agenda ini supaya bisa terealisasi meskipun banyak yang menolak hal itu. Ia pun mengatakan bahwa penguatan moderasi beragama lewat wawasan kebangsaan, menurut mantan pimpinan Gerakan Pemuda Ansor itu telah menjadi bagian dari arah kebijakan dan strategi pemerintah menuju “Revolusi Mental” dan pembangunan kebudayaan.

Di RAND Corporation dalam Building Moderate Muslim Networks menjelaskan karakter Islam moderat, yakni mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum yang nonsektarian, dan menentang terorisme.

Analis Islam terkemuka di AS, Robert Spencer, menyebut kriteria seseorang yang dianggap sebagai muslim moderat antara lain: menolak pemberlakuan hukum Islam kepada non muslim; meninggalkan keinginan untuk menggantikan konstitusi dengan hukum Islam; menolak supremasi Islam atas agama lain; menolak aturan bahwa seorang muslim yang beralih pada agama lain (murtad) harus dibunuh; dan lain-lain. (Muslimahnews, 7/5/2021).

Berdasarkan hal di atas semakin menegaskan bahwa moderasi beragama bertujuan untuk menangkal radikalisme yang masih didengungkan oleh rezim hingga sekarang. Padahal, jika diamati permasalahan yang terjadi tidak semata tentang radikalisme masih banyak permasalahan yang lebih urgent lainnya. Seperti penuntasan wabah Covid-19 yang sampai saat ini belum juga terselesaikan.

Dikutip dari Jawapos.com, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengkritisi program sertifikasi dai berjudul _Kompetensi Penceramah_ yang akan diluncurkan oleh Kementerian Agama RI. Wacana program tersebut telah bergulir setidaknya sejak tahun 2015 dan terus ditolak oleh berbagai ormas besar di Indonesia, seperti, MUI, Muhammadiyah, NU dan Ikatan Dai Indonesia (Ikadi).

HNW mempertanyakan kebijakan Menag yang hendak melanjutkan program kontroversial tersebut, sekalipun dengan beberapa perubahan. Apalagi, rencana itu akan dilaksanakan di tengah kekecewaan warga dan umat terhadap berbagai kebijakan pemerintah seperti tes wawasan kebangsaan KPK dan pembatalan pemberangkatan jamaah haji Indonesia oleh Kemenag. Juga, belum maksimalnya capaian program prioritas Kemenag seperti jumlah formasi PPPK untuk guru agama dan sertifikasi guru dan dosen agama. Juga penanggulangan dampak Covid-19 di pondok pesantren dan sekolah di bawah kewenangan Kemenag. (Jawapos.com, 7/6/2021).

Jika memang rezim menginginkan para dai mampu membawakan pemahaman yang benar, maka sesuaikan pemahaman para dai tersebut dengan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunah yang merupakan warisan Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW bersabda,

“Aku tinggalkan kepada kamu (umatku) dua perkara. Jika kamu berpegang teguh kepada keduanya maka niscaya kamu tidak akan tersesat untuk selama-selamanya. (Dua perkara itu adalah) Al-Qur’an dan sunah.” (HR. Muslim).

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.An-Nissa [4]: 59).

Ketakwaan kepada Allah SWT dan memegang kuat sunah Rasulullah SAW dalam setiap kondisi, termasuk dalam urusan pemerintahan sangatlah penting dan diutamakan. Terlebih dalam urusan dakwah, menyampaikan kebenaran di tengah masyarakat, supaya apa yang diputuskan dan yang diberlakukan mendapat keberkahan serta rida dari Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Tidaklah berarti apa yang manusia upayakan bila bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.

Oleh karena itu, jangan sampai adanya sertifikasi dai ini menjadi alat untuk membungkam para dai untuk menyuarakan kebenaran Islam yang hakiki, yang sesuai dengan Al-Qur’an dan as Sunah serta menjadi ajang rezim untuk menyetir para dai agar menyampaikan sesuai dengan yang rezim inginkan.

Umat sangat membutuhkan adanya para dai yang mampu memberikan pemahaman sesuai dengan syariat Islam. Sebab, syariat Islam mampu menuntaskan segala problem manusia pada umumnya. Hal itu telah dibuktikan di masa-masa kegemilangan Islam di bawah kekuasaan pemerintahan Islam yaitu khilafah.

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here