Oleh Isty Da’iyah
Wacana-edukasi.com —Sudah menjadi tabiat manusia untuk melindungi naluri memperhankan diri. Salah satunya adalah melindungi diri dari bahaya yang mengancam, baik secara materiel dan spiritual. Namun, dalam pemenuhan nalurinya ada manusia yang menempuh jalan yang diridai oleh Zat yang Mahakuasa yaitu Allah SWT, atau sebaliknya.
Perbuatan manusia ini sering kita jumpai di mana-mana, salah satunya adalah mempertahankan kekuasaan dan eksistensinya agar terhindar dari bahaya yang mengancam. Namun jika hal ini dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan efek bagi orang lain, maka hal ini bisa merugikan orang banyak. Apalagi jika perbuatan melindungi kekuasaan ini dilakukan oleh seorang penguasa, dan dirumuskan dalam satu Undang-Undang, jelas efeknya akan berdampak pada seluruh masyarakat.
Seperti yang menjadi sorotan beberapa pakar hukum di negeri ini, yaitu tentang pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kembali dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Pasal-pasal bermasalah yang dahulu pernah ditolak banyak pihak, kini diajukan lagi. Salah satunya adalah pasal penghinaan terhadap presiden. Hal ini jelas menimbulkan berbagai reaksi di berbagai kalangan masyarakat, di antaranya ada yang pro dan kontra.
Seperti dikutip dari Liputan6.com (10/6/21), yang mewartakan bahwa, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengkritis beberapa pasal pada Rancangan KUHP. Ada empat pasal yang dituding warisan kolonial yang bertujuan mengekang iklim demokrasi di Indonesia.
Atas hal tersebut banyak pihak yang menyerukan kepada pemerintah agar mengkaji dan meninjau pembahasan ulang draf RKUHP secara transparan, dapat diakses oleh publik, dan melibatkan berbagai keahlian dan masyarakat sebagai jaminan bahwa RKUHP adalah proposal produk kebijakan yang demokratis. Juga yang terpenting adalah menghapus pasal-pasal yang akan membunuh dan mengekang iklim demokrasi di Indonesia (liputan6.com 10/6/21).
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji mengatakan, Pasal Penghinaan terhadap Kepala Negara ini sebenarnya termuat Pasal 111 WvS (KUHP Belanda) dan juga terkait dengan pasal penghinaan yang ada pada Indian Pena Code. Ia mengatakan RKUHP berbeda dengan KUHP lama. Sebab, RKUHP tentang aturan penghinaan ini, memberi jaminan kebebasan berekspresi bercorak demokrasi (Okezone.com 13/6/21).
Oleh karena itu presiden dan wapres merupakan simbol kenegaraan yang patut dihormati, dijaga harkat dan martabatnya, sehingga memang sepatutnya ketentuan penghinaan terhadap presiden/ wapres tetap harus dipertahankan, yakni menghargai prinsip demokrasi dengan karakter kebebasan berekspresi. (Okezone.com 13/06/21).
Regulasi Membungkam Kritisi
Sikap pemerintah ini semakin menunjukkan aroma anti kritik dari berbagai pihak. Pemerintah berusaha menutup celah bagi siapa saja yang ingin mengkritisinya. Padahal kritik dari masyarakat luas sangatlah diperlukan untuk memperbaiki keadaan.
Sudah seharusnya pemerintah membuka peluang bagi masyarakat untuk bersikap kritis terhadap sebuah kebijakan agar bisa menghasilkan berbagai pertimbangan yang menguntungkan kepentingan bersama.
Dari sini sebenarnya rakyat sudah bisa merasakan bahwa hukum negara bergerak ke arah negara kekuasaan, yang mana hukum dijadikan alat kekuasaan untuk melindungi eksistensi penguasa.
Padahal seharusnya negeri yang berdasarkan demokrasi, berasaskan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, membebaskan rakyatnya untuk berpendapat dan mengkritisi para pemangku jabatan. Namun dalam praktiknya hukum seakan dibuat untuk melindungi rezim agar terhindar dari segala tuntutan hukum.
Hal ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, dalam sistem demokrasi saat ini, rakyat yang ingin menyampaikan keluhan, justru dianggap melakukan tindak pidana penghinaan. Hukum seakan tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Jangankan mengharap banyak masukan pendapat dari masyarakat demi perbaikan keadaan, pemerintah justru memperbanyak regulasi untuk membungkam sikap kritis dari masyarakat.
Islam Menerima Kritik Terhadap Penguasa
Berbeda dengan sistem Islam yang mewajibkan muhasabah lil hukkam dengan aturan main yang ditetapkan syariat. Kritik terhadap penguasa merupakan bagian dari hukum syariat, bagian dari amar makruf nahi mungkar.
Seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104;
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan, serta menyeru pada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran: 104).
Sehingga Islam memandang, menyampaikan kritik (muhasabah) adalah kewajiban. Kaum muslim wajib memberi peringatan kepada para penguasa dan mengontrol tugas dan kebijakan penguasa agar tetap dalam koridor syariat.
Dalam Islam, pemimpin adalah manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Pemimpin dalam Islam berfungsi sebagai pelindung dan pengatur urusan rakyatnya. Namun dalam pelaksanaannya seorang pemimpin dalam Islam (khalifah) bisa juga berbuat salah.
Sebab, seorang pemimpin dalam Islam bukanlah manusia yang selalu benar maka, muhasabah lil hukkam wajib dilakukan. Muhasabah ini adalah sikap mengoreksi penguasa atas tindakan apa pun yang salah, lalai, dan zalim.
Selain mengoreksi terhadap tindakan yang berkaitan dengan jabatannya, rakyat boleh mengoreksi atas sikap dan tindakan penguasa sebagai pribadi, jika pemimpin tersebut terbukti tidak taat syariat. Umat tak boleh diam terhadap sikap zalimnya penguasa. Justru sikap diam merupakan bentuk dosa, karena dianggap membiarkan kemungkaran tetap ada.
Dalam suatu kisah di masa kekhilafahan Umar bin Khattab, pernah ada seorang wanita yang melakukan koreksi atas keputusan Umar ra. Yaitu tentang besarnya mahar yang harus diberikan kepada seorang Istri, menurut Umar mahar Rasulullah SAW dan para sahabatnya, yang diberikan kepada istrinya sebesar 400 dirham atau di bawahnya.
lalu datanglah seorang perempuan menyampaikan protes tersebut. Perempuan tersebut mengingatkan Umar ra bahwa Allah telah menurunkan ayat 20 dari surat An Nisa. Umar tersentak dan segera menyadari kekeliruannya. Sehingga Umar ra, merevisi atas keputusannya tersebut.
Demikianlah sistem Islam menjamin hak rakyat untuk melakukan koreksi kepada penguasa, tidak seperti sistem demokrasi yang menggunakan Undang-Undang buatan manusia untuk menghalangi suara rakyat dalam melakukan kritik terhadap para pemangku kebijakan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 1
Comment here