Opini

Mungkinkah Negara akan Membela Tere Liye?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nur Indah

Tim Humas Teman Hijrahta’
Mahasiswa Unhas Jurusan Fisika

Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan Islam, buku dihargai dengan emas seberat buku tersebut.

Wacana-edukasi.comBeberapa waktu lalu, Tere Liye mengungkapkan keresahan di media sosial pribadinya (25/5/2021). Ia geram lantaran masih maraknya pembajakan buku, terutama yang menimpa buku-bukunya.

Sontak, ungkapannya tersebut menuai pro dan kontra. Kebanyakan mereka menyoroti gaya bahasa Tere Liye yang menuliskan bahwa “dungu” sekali orang-orang yang membeli buku-buku bajakan. Terkait dengan hal ini, mengapa banyak orang masih membeli buku bajakan?

Faktor Penyebab Masifnya Pembelian Buku Bajakan

Pertama, karena harganya lebih murah. Walaupun kualitas tergolong buruk, harga yang lebih murah menjadi daya tarik tersendiri. Bagi mereka yang haus akan ilmu tetapi tercekik masalah ekonomi, membeli buku bajakan merupakan jalan pintas memperluas wawasan.

Rosdiyati Rozalina, ketua umum IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) periode 2015-2020 mengatakan, “Umumnya itu buku perguruan tinggi dan angkanya sudah fantastis juga, makin ke sini makin besar jumlahnya,” (Republika.co.id, 8/8/2019).

Umumnya, siswa dan mahasiswa merupakan sasaran empuk para penjual buku bajakan. Hal itu dikarenakan mereka sangat membutuhkan banyak referensi bacaan. Selain itu, kebanyakan dari siwa dan sebagian mahasiswa belum teredukasi mengenai bahaya dan dampak negatif dari membeli buku bajakan.

Faktor yang kedua, karena buku-buku yang dijual oleh penjual buku bajakan adalah buku-buku lawas, berkualitas, yang tidak ada cetak ulangnya.

Kedua faktor itulah yang diliat para kapitalis di sektor pembajakan buku sebagai peluang yang harus dimanfaatkan. Alasan lain mengapa buku-buku tersebut masih laris di pasaran adalah karena adanya beberapa oknum yang menggunakan istilah “repro” alias buku yang direproduksi. Istilah yang cukup sopan menyebut buku yang dicuri, dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi oleh pembajak buku.

Pembajakan Mematikan Penulis

Pihak yang paling dirugikan dalam kasus pembajakan tentunya adalah penulis. Pantas saja, Tere Liye beberapa kali berkoar-koar soal isu pembajakan ini. Sebab dirinya adalah salah satu pihak yang paling dirugikan.

Royalti yang diterima oleh penulis dari setiap eksemplar yang terjual dapat dikatakan rendah, sekitar 10% dari harga buku (deepublish,6/7/2020).

Belum lagi mereka harus membayar pajak dari royalti yang mereka terima. Berbeda dengan mereka yang memproduksi dan menjual buku repro, tak membayar pajak apapun terkait dengan penghasilannya.

Terlepas dari itu semua, kerugian penulis bukan hanya soal materi melainkan hak kekayaan intelektualnya. Seolah-olah ide, gagasan, dan karya para penulis kurang dihargai karena bebas dicuri dan diperjual belikan tanpa izin penulis.

Sebenarnya, pemerintah sudah mengeluarkan regulasi terkait pembajakan buku yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam UU tersebut, para pelanggar hak cipta dapat dikenai hukuman pidana maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal 500 juta rupiah. Namun, regulasi tersebut kurang berdampak dalam menangani masalah pembajakan buku ini. Buktinya, sampai saat ini, para penulis masih mengeluh akan isu pembajakan.

Ketika Buku Seharga dengan Emas Seberat Buku Tersebut

Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan Islam, buku dihargai dengan emas seberat buku tersebut.

Contoh, saya punya buku Fisika Edisi ketujuh jilid 1 karya Douglas C. Giancoli. Mahasiswa fisika pasti tahu buku ini. Beratnya sekitar 1.2 kg. Kita misalkan Bapak Giancoli hidup di zaman itu, maka beliau akan mendapatkan 1.2 kg emas (setara dengan Rp1.013.400.000,00) dari satu karyanya. Namun, , bukankah angka tersebut cukup tinggi dan tidak mungkin dijangkau para peminat literasi? Berikut penjelasannya.

Zaman yang kita jelaskan di atas adalah zaman Khilafah Abbasiyyah yang saat itu dipimpin oleh Khalifah Al Makmun. Saat itu, Khalifah Al Makmun memberikan emas kepada Hunain bin Ishak seberat kitab-kitab yang telah ia salin ke bahasa Arab. Kitab-kitab yang dimaksud di sini adalah kitab-kitab ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Imbalan tersebut diberikan oleh negara. Imbalan berupa emas tersebut sudah lebih dari cukup untuk menunjang kehidupan para penulis dan ilmuwan agar mereka tetap berkarya. Tentunya tidak bergantung pada laku tidaknya buku di pasaran. Hal ini merupakan gambaran betapa Islam sangat memuliakan ilmu.

Pada saat itu, orang-orang berhak bahkan wajib menyebarkan buku-buku tersebut ketika isinya adalah ajakan untuk kebaikan. Buku dapat diperoleh dengan gratis. Kalaupun harus membeli, itu hanya sekadar mengganti ongkos cetak. Mereka boleh menggandakan buku tersebut dengan cara apa pun. Tidak ada pihak yang akan dirugikan. Bahkan, para penulis akan mendorong setiap orang untuk menyebarkan buku tersebut sebagai amal jariah mereka. Tidak ada istilah bajakan.

Tidak akan ada orang yang berteriak menuntut ganti rugi karena bukunya telah disalin tanpa seizinnya. Tidak akan ada kelangkaan buku karena buku tersebut bebas dicetak oleh siapa pun. Para penulis dan ilmuwan dapat hidup dengan layak.

Tak dapat dimungkiri, Islam sangat memuliakan ilmu. Saat ini, para penulis hanya ingin karyanya dihargai dan mendapat perlindungan atas kekayaan intelektual. Di sini diperlukan peran negara dalam memberikan penghargaan berupa tunjangan kepada para penulis agar mereka bisa hidup dengan layak.

Tentu hal itu hanya akan terjadi di sistem yang pada dasarnya sangat menghargai ilmu. Tidak lain dan tidak bukan adalah sistem Islam.
Kisah di atas hanya secarik kisah manis saat zaman Khilafah Islamiah.

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 21

Comment here