Opini

Dengan Pajak Rakyat Dipalak

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Erdiya Indrarini 

(Pemerhati Kemasyarakatan)

Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” (HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7)

Wacana-edukasi.com –Bak lintah darat pengisap darah, menghimpun pendapatan negara di atas penderitaan rakyat. Bukan cuma bumi dan bangunan, tapi kesehatan, pendidikan, bahkan sembako dan segala pelayanan jasa, bakal dikenai pajak.

Kementerian keuangan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat. Di antaranya adalah sembako dan sekolah, yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 pada Pasal 4A, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Selain itu, pemerintah juga akan memungut pajak berbagai pelayanan jasa. Seperti jasa pada pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan prangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi (Cnnindonesia.com, 12/6/2021)

Kebijakan kementerian keuangan ini mendapat respon keras dari berbagai kalangan. Di antaranya ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Ia meminta agar Kementerian Keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan.

Ia menilai Kementerian Keuangan harus menyadari, bahwa masih banyak cara menaikkan pendapatan negara tanpa harus memberatkan rakyat. Kementerian Keuangan harus terlebih dahulu menertibkan jajarannya agar bisa mengejar para pengemplang pajak yang potensinya mencapai ratusan triliun per tahun,” katanya (Antaranews.com, 13/7/2021)

Pajak Tulang Punggung Pendapatan Negara Kapitalisme

Negara yang menerapkan ideologi kapitalisme, yang di dalamnya ada sistem demokrasi, liberalisme, maupun sekularisme, meniscayakan bahwa pajak dan utang luar negeri merupakan tulang punggung bagi negara. Utang luar negeri tentu berisiko. Oleh karenanya, pemerintah membabi buta menggalakkan pajak di setiap denyut kehidupan masyarakat, tidak hanya pekerja, namun lansia bahkan anak-anak pun ter pungut pajak. Pajak adalah napas bagi perekonomian negara yang menerapkan sistem kapitalisme.

Tak heran, jika pemerintah gencar mengopinikan bahwa “Orang bijak taat pajak” atau, “Bangga membayar pajak”. Slogan itu menggiring agar rakyat semangat membayar pajak. Istilah-istilah itu tentu tidak sejalan dengan syariat agama (Islam). Artinya, semua itu menjadi opini yang menyesatkan bagi rakyat.

Mengapa Pemerintah Menggencarkan Pajak?

Beberapa tahun yang lalu, pendapatan ekonomi negara masih banyak ditopang oleh PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak), seperti BUMN yang mengelola migas, non migas, maupun sumber daya alam lainnya. Namun, secara bertahap beralih ke pajak.Untuk mencapai target penerimaan, pemerintah terus melakukan reformasi pajak, guna memperluas jangkauan barang maupun jasa yang akan dikenai pajak. Juga bakal menyasar pada pemberlakuan pajak digital.

Sri Mulyani menilai, pada basis digital akan mendatangkan banyak penerimaan bagi negara, mengingat banyaknya populasi penduduk Indonesia. Kata Menkeu saat Konferensi Pers Economic Surbey of Indonesia 2021, Kamis (18/3).

Pemungutan dengan paksa melalui pajak ini bukanlah kebetulan. Namun memang diharuskan secara global oleh sistem kapitalisme melalui perjanjian bilateral negara-negara G-20, bahwa tiap negara harus menjadikan pajak sebagai sumber utama ekonomi negara.

Pajak Bentuk Kezaliman Negara Terhadap Rakyat

Di satu sisi membabi buta mengambil pajak pada kebutuhan krusial masyarakat. Namun, pemerintah tak segan-segan memberikan tax allowance maupun tax holiday selama bertahun lamanya kepada investor, bahkan tidak mengambil pajak dari pembelian barang mewah seperti mobil.

Hal ini menggambarkan bahwa keadilan dalam naungan sistem kapitalisme, susah didapat. Pemerintah hanya memihak dan mengurusi para pemodal/kapitalis. Sementara, rakyat secara umum yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk dipenuhi segala kebutuhan dasarnya, tidak diperhatikan. Malah dianggap mangsa yang bisa terus dihisap darahnya.

Banyak orang mengatakan, pajak yang terkumpul, akan kembali ke rakyat berupa infrastruktur jalan, gedung dan semacamnya. Namun faktanya, setiap fasilitas umum yang dipakai, rakyat harus membayar dengan mahal. Artinya, pajak kembali ke rakyat hanyalah pemanis bibir saja.

Dari sini terlihat, bahwa sejatinya rakyat belumlah merdeka. Negara masih dalam kendali asing. Sehingga, negara sering kali tidak berpihak pada rakyat, tapi mengutamakan kepentingan asing. Di antaranya adalah, rakyat dipaksa/diwajibkan menyetor sebagian hartanya. Jika tidak, maka akan mendapat sangsi baik penjara maupun denda. Padahal, Allah telah melarang pungutan pajak, sebagaimana dalam firman yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….” (Qs. An-Nisa : 29)

Rasulullah-pun menjelaskan sanksi bagi pemungut pajak. Seperti dalam sabda beliau yang artinya : “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” (HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7)

Inilah konsekuensi negara yang menerapkan ideologi kapitalisme. Segalanya harus tunduk diatur asing/barat sebagai pencetus ideologi ini. Padahal manusia, baik individu, masyarakat, maupun negara haruslah tunduk dengan aturan sang pencipta, yakni Allah Swt. Termasuk harus tunduk pada Allah tentang larangan pajak. Lalu, bisakah negara terbangun jika tidak dari pajak dan utang?

Islam Solusi Sempurna tanpa Pajak dan Utang

Terlalu sedikit dan tidak mungkin cukup mengelola negara dengan mengandalkan utang dan pajak seperti yang diterapkan pada ideologi kapitalisme ini. Dalam sistem Islam tidak ada pajak. Di samping pajak dilarang syariat, keuangan negara sangatlah kukuh, dan kuat. Hal ini karena negara memiliki kas besar bernama Baitul mal, yang ditopang setidaknya dari 12 sumber pos pendapatan.

Sumber pendapatan yang menjadi andalan adalah pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) baik yang ada di permukaan bumi dan lautan, maupun yang terkandung di dalamnya. Islam melarang SDA dikuasai individu, swasta, terlebih oleh asing. Oleh karenanya, SDA dikelola oleh negara dengan mengoptimalkan keahlian putra bangsanya, hingga tak ada lagi pengangguran. Kemudian hasilnya, untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Selain SDA, masih banyak lagi pos pendapatan negara yang tak kalah besarnya. Di antaranya seperti zakat, waqaf, fa’i dan kharaj, jiziah, anfal dan ghanimah, warisan yang tak ada ahli warisnya, harta orang murtad, usyur, maupun harta tidak sah dari pegawai pemerintahan. Kita semua tahu, dari zakat saja kalau dikumpulkan teramat banyak jumlahnya. Maka tak heran, menjadi incaran pemerintah saat ini untuk dikuasai.

Melakukan Perubahan

Solusi satu-satunya tentu melakukan perubahan dari pajak yang banyak ditolak bahkan di negeri asalnya, ke sistem Islam. Pertama, atur kepemilikan, mana kepemilikan individu, umum, atau negara, sehingga tidak terjadi yang kaya makin kaya dan yang miskin makin tak berdaya. Dengan demikian, roda perekonomian tidak berputar di kalangan tertentu saja.

Kedua, atur/hitung pengeluaran dan pendapatan. Dari SDA saja, pendapatan negara Indonesia sudah lebih dari cukup. Ketiga, menerapkan syariat tidak dalam sistem ekonomi saja, tapi di seluruh aspek kehidupan seperti sistem hukum, sistem sosial, dan lainnya.

Sebagai muslim, kita punya tolak ukur yaitu syariat Islam. Jika ada kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam, tidak semestinya diterima begitu saja. Teruslah memperdalam tsaqofah Islam, karena Islam adalah sistem yang kompleks mengatur seluruh aspek kehidupan. Jika diterapkan keseluruhan, maka akan tercipta rahmat seluruh alam.

Wallahua’lam bishowab .

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 44

Comment here