Surat Pembaca

Hidup Merana dalam Sistem Jemawa

blank
Bagikan di media sosialmu

Wacana-edukasi.comPanic buying kembali terjadi beberapa waktu belakangan, menyusul angka penyebaran Covid-19 yang kian melejit. Harga berbagai alat kesehatan dan obat-obatan pun melonjak drastis. Bagi mereka yang berduit, tentu hal ini bukan masalah pelik. Tapi, bagaimana nasib rakyat kecil yang hidupnya serba kekurangan? Jangankan berpikir membeli vitamin dan masker, bisa makan sehari sekali saja sudah bersyukur. Belum lagi, mereka menjadi golongan yang rentan terpapar. Baik karena minimnya alat kesehatan yang dimiliki, atau kurangnya edukasi. Hal ini diperparah jika sampai mereka terpapar virus. Biaya pengobatan yang mahal jelas tak dapat mereka jangkau. Apalagi melihat kondisi fasilitas kesehatan yang kolaps menangani pasien. Semakin berat beban yang harus mereka tanggung. Miris, pemerintah seolah kehabisan akal mengatasi permasalahan yang datang silih berganti. Alih-alih sibuk memikirkan nasib rakyat, justru mengeluarkan pernyataan tidak berdasar. Sebagaimana yang disampaikan Koordinator PPKM Darurat, Luhut Binsar Pandjaitan, “Mati semua rakyat nanti kalau kita lockdown” (news.detik.com, 06/7/2021).

Berdalih memikirkan nasib rakyat, akhirnya pemerintah memilih menerapkan PPKM darurat daripada lockdown. Sebenarnya, ini hanya alasan yang dibuat-buat karena pemerintah tidak sanggup menjamin kebutuhan hidup masyarakat saat lockdown. Padahal, hal ini jelas tanggung jawab negara. Tetapi, negara seolah berlepas tangan untuk mengurusi rakyat. Siapa lagi dalangnya, jika bukan sistem kapitalisme liberal yang dianut negara ini. Sistem ini hanya berpihak pada kepentingan para kapitalis, dan mengabaikan nasib rakyat kecil. Ini adalah salah satu siasat Barat untuk mengokohkan kekuasaan di negeri jajahannya. Menguasai pemikiran penguasa dan rakyat dengan sistem rusak. Sumber daya alam yang melimpah dikuasai asing. Ekonomi negara ditopang oleh utang dan pajak. Jelas saja negara ini memiliki ketergantungan dengan negara penjajah. Akhirnya, mereka harus tunduk dan menjadi anteknya. Alhasil, kebijakan yang dibuat adalah demi kepentingan tuannya. Melihat kondisi ini, rakyat yang terus ditindas mulai terusik.

Karut-marut di tengah pandemi yang semakin mengganas, membuat rakyat sadar bahwa sistem kapitalisme yang angkuh pun tidak berkutik. Rakyat semakin tidak percaya bahwa sistem ini mampu menghadapi wabah. Nyatanya, semua solusi yang disajikan hanyalah semu. Kondisi semakin memburuk, rakyat semakin banyak menjadi korban. Sungguh merana hidup dalam sistem kapitalisme, rakyat harus berjuang sendiri untuk menyelamatkan nyawanya dari amukan wabah.

Sesungguhnya, kondisi ini tidak akan berlarut-larut jika sejak awal pemerintah bertindak tegas. Melakukan lockdown atau karantina wilayah yang terjangkit wabah. Mereka yang berada di dalam wilayah tersebut, tidak diperbolehkan keluar, hingga wabah dapat diatasi. Dan yang dari luar, tidak diperbolehkan masuk. Mereka yang terjangkit mendapatkan penanganan medis terbaik, tanpa membedakan kasta. Selain itu, kebutuhan rakyat di dalam wilayah yang terjangkit wabah, ditanggung sepenuhnya oleh negara. Dengan begitu, mereka tidak perlu keluar bertaruh nyawa demi mencari sesuap nasi. Sayangnya, hal ini tidak mungkin terjadi dalam sistem kapitalisme. Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkannya. Terbukti cara ini ampuh mengatasi berbagai wabah menular seperti tha’un dan kusta, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw. dan para khalifah setelahnya.

Chaya Yuliatri, S.S.

(Aktivis muslimah dan pegiat literasi)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here