Bahasa dan SastraCerpen

Kotak Kenangan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Aqila Ghania Syaakirah

Siapa ini? Hmm…wajahnya sangat familier. Aku seperti sudah pernah melihatnya. Foto laki-laki itu sangat banyak, hampir semuanya adalah tampilan ia saat memegang piala, tropi, medali dan sebagainya.

Wacana-edukasi.com — Raja siang mulai muncul ke permukaan bumi, menggantikan bulan yang bersinar indah di malam hari. Awan tipis mengukir langit-langit Jakarta. Dedaunan pohon rimbun melambai kepadaku. Udara yang segar menghidupi jiwa raga. Cahaya matahari mengisi kamarku. Di pagi ini, orang-orang Jakarta sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang sudah berangkat kerja, pergi ke pasar dengan masker yang menutupi sebagian wajah mereka. Termasuk ibuku, ibuku bekerja sebagai karyawan di sebuah toko baju.

Aku meregangkan badanku sembari menguap di atas kasur. Baling-baling kipas terus berputar sampai membuat mataku tersayup-sayup (ingin menutupnya kembali). Aku menganggap hari-hari sekolah adalah hari yang membosankan. Hari di mana aku hanya bisa termenung memikirkan tugas yang selalu diberikan guru setiap hari tanpa ampun.

Oh iya, lagi pula kegiatan sekolah akan dilaksanakan dari rumah dikarenakan pandemi coronavirus yang menyerebak luas sejak bulan Maret 2020. Kegiatan belajar mengajar ini membuat banyak sekali perubahan, salah satunya bagi kami para kaum rebahan, aku bisa lebih santai dan rileks. Ini sudah bulan ke-10 aku mengungsi di rumah.

Pada hari ini, rabu, 09 November 2020. Aku harus bertemu dengan mata pelajaran yang selamanya akan menjadi musuhku. Matematika. Aku tidak pernah bersahabat dengan Matematika sejak kelas dua SD.

“Ratii ayo bangun! Siap-siap sekolah, kalau kamu enggak bangun, Ibu siram pake air loh. Mau?” Suara tegas itu membuat mataku terbuka lebar secara instan. Aku dengan cepat duduk di atas kasur, itu adalah suara Ibuku. Aku mengedipkan mata sekali dua kali agar pandanganku semakin jelas. Ibu berdiri di samping kasur, mimik wajahnya mengerikan. Ibu menatapku dalam-dalam dengan matanya yang besar. Aku hanya bisa menelan ludah. Tatapan Ibu memberikan sensasi merinding di sekujur tubuhku.

“Cepet dongg, Ibu udah mau berangkat nih. Nanti kalau kamu ketiduran lagi, bisa-bisa nanti rumah kemasukan maling. Ini kan lagi musim pencurian Ratii, ayo bangun!” Ibu menceramahiku yang masih lemas. Aku mencoba sekuat tenaga untuk berdiri, meninggalkan kasur. Aku keluar kamar, meraih handuk dan pergi ke kamar mandi. Ibu berpesan padaku agar tidak terlalu lama berada di kamar mandi, aku mengangguk sekilas.

Baiklah, aku akan mencoba mengumpulkan nyali untuk mandi. Dengan susah payah aku menahan dinginnya air. Lalu, Cepat-cepat aku menyikat gigi dan memakai handuk. Kemudian aku keluar kamar mandi, saat membuka pintu. Aku disambut dengan oksigen pagi yang membuat badanku menggigil hebat. Aku masuk kamar, memakai seragam kotak-kotak biru dipadu dengan kerudung putih. Aku keluar untuk menemui Ibu yang menunggu.

“Ibu berangkat ya, kamu ga usah jemput Ibu hari ini. Karena hari ini Ibu mau reuni sama mamanya Kayla, temen sekolah kamu waktu SD. Nanti kamu tunggu aja di rumah,” aku mengiyakan.

Kami tidak memiliki kendaraan, hanya satu kendaraan sepeda motor peninggalan dari Opa, itu juga sudah jadul dan karatan. Seiring cepatnya perubahan zaman, kendaraan zaman sekarang dijual dengan harga selangit.

Sedangkan aku juga hidup di keluarga yang pas-pasan. Biasanya aku yang selalu menjemput Ibu setelah sekolah usai. Antara aku yang sangat rindu ditinggal Ibu kerja, atau ini sebagai bentuk dari birrul walidain, berbakti kepada orang tua yang bisa aku lakukan sekarang.

Aku salim pada Ibu yang hendak gegas berangkat, sebelum pergi Ibu menitipkan kunci rumah padaku, aku memasukannya ke dalam saku. Aku mengantar Ibu sampai depan, kami berpisah di pertigaan jalan. Aku kembali masuk ke dalam rumah, mengeluarkan kunci rumah dan menaruhnya di atas meja.

Aku masuk ke dalam kamar, menyiapkan peralatan belajar. Semuanya sudah siap. Baiklah, aku menengadah sebelum menuntut ilmu, kedua tanganku terbuka lebar. Aku menutup mata, berusaha bersungguh-sungguh. Kupanjatkan doa pada Allah supaya dimudahkan belajar. Usai mengucapkan doa, aku mengakhirinya dengan, “Aamiin ya rabbal alamin,” sembari menggosokan wajah pada kedua tangan.
Masih ada sisa waktu 50 menit sebelum pelajaran pertama dimulai. Setauku, pertemuan kali ini adalah ujian lisan Matematika secara online. Mulailah aku membolak-balikan lembaran materi bab satu. Bab satu terdiri dari 40 halaman. Aku melihat banyaknya yang harus aku baca, aku mengendus.

“Ih banyak banget, bakalan susah iniii,” aku sudah menyerah duluan bahkan sebelum membaca halaman pertama. Aku membuat teh hijau untuk menemani ritual belajar ini. Teh hijau adalah yang terbaik, begitu kata Ibu yang juga adalah penggemar teh hijau sepertiku. Aku kembali konsentrasi saat belajar, uap dari cangkir mengepul. Baru 2 lembar yang aku baca, semangatku melorot. Rasanya otakku jenuh sekali. Tapi aku tekadkan lagi dalam hatiku, Aku paksakan diriku agar lebih kuat.

Beberapa kali aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Sudah berkali-kali kubaca ulang setiap materi bab satu, tapi tetap saja aku tidak mengerti. Bahkan aku terpaksa mencari info di internet tapi tidak ada yang memuaskan. Aku membanting buku paket karena frustasi atas kelambananku dalam mengerti pelajaran.

Aku mencoba menanyakan temanku satu-satu, siapa tahu mereka tidak keberatan untuk mengajariku. Siapa sangka? Setelah pencarian Panjang mencari bala bantuan. Ternyata Ada satu temanku yang mau, Regita, katanya dia senang sekali untuk mengajariku. Aku turut berterima kasih padanya melalui sebuah pesan.

[Beneran? Wah! makasih kamu sangat membantu.]

Aku dan Regita saling menelepon. Awalnya semuanya terlihat baik-baik saja, Regita sangat antusias dan semangat mengajariku, dia orang yang sangat energik dan baik. Aku juga masih berpikir, berusaha untuk paham. Tetapi, pada detik terakhir Regita menyerah untuk mengajariku, “Sudahlah, aku menyerah. Aku enggak tahu lagi caranya biar kamu ngerti. Maaf ya,” meski begitu aku tetap bersyukur dia tetap ingin mengorbankan waktunya untuk mengajari orang sepertiku dengan otak kurcaci.

Sekali lagi aku mencoba untuk menatap lembaran-lembaran penuh tulisan, aku tidak boleh mengandalkan orang lain. Kucoret sana-sini dengan pensil 2B untuk membantu pemahamanku. Aku mencatat rumus-rumus penting di sticky notes dan menempelkannya di dinding kamar. Aku mengerjakan semua latihan soal pada bab tersebut, walau aku tidak tahu jawabannya benar atau salah.

Inilah saatnya, waktunya telah tiba. Guruku berkata bahwa nilai pada ujian lisan ini akan menjadi nilai akhir semester kami pada mata pelajaran ini. Bila tidak lulus atau di bawah KKM maka wajib menjalani remedial ujian tulis. Kupersiapkan diriku, aku menarik napas. Dan menggumamkan bismillah, semoga nilaiku bagus. Walau aku sedikit paham materinya, tetapi aku yakin pasti ada secercah cahaya yang diberikan Allah dari segala arah. Aku saja yang tidak tahu kapan cahaya itu datang.
“Kalian semua murid-murid yang ibu cintai. Semoga kalian semua selalu semangat dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya dan diberikan kesehatan yang berkah oleh Allah. Ibu mohon dengan sangat, sisipkan nama ibu, Vindy Nur Masah pada sela-sela zikir dan doa kalian. Baik, seperti yang kalian tahu kali ini jadwalnya adalah ujian lisan,” seorang wanita separuh baya berkata dengan suaranya yang penuh wibawa. Kami biasa memanggilnya Bu Vindy.
“Ibu harap kalian semua sudah siap,” aku menelan ludah, keringat dingin bercucuran dari kedua telapak tanganku.

“Baik Bu Vindyy,” ujar semua murid.
“Teknisnya seperti ini, satu per satu kalian akan ibu telpon bergiliran, kalian harus menjawab dan menampakkan setengah badan kalian. Jika kalian tidak mengangkat tanpa konfirmasi apapun sebelumnya, maka ibu akan mengosongkan nilai kalian.
Ada tiga pertanyaan yang harus kalian jawab. Setiap pertanyaan memiliki waktu lima menit untuk kalian jawab. Jika kalian tidak bisa menjawab pertanyaan lewat dari lima menit, maka langsung ke pertanyaan berikutnya. Tiga pertanyaan tersebut berbeda-beda untuk setiap murid. Jadi jangan harap kalian bisa saling meminta jawaban, karena tidak ada yang memiliki soal yang sama di antara kalian,” raut wajah Bu Vindy berubah menjadi serius. Mengancam semua murid untuk tidak berbuat curang.

Ujian lisan dimulai.

Aku takut, kapan giliranku? Aku menatap ponsel, hatiku berdegup liar. Aku coba menenangkan diri, kuusir pikiranku dari hal-hal yang negatif. Pasti nilaiku di atas KKM. Batinku. Dering ponsel mendadak mengisi langit-langit kamar, mataku melebar, napasku menjadi tak beraturan, kuraih ponsel itu.

“Assalamu’alaikum, sekarang giliran Rati ya,” bu Vindy berkata singkat.
“Wa’alaikumsalam b-baik bu.…” aku berdiri lebih tegak.
“Sudah siap?” Bu Vindy bertanya. Aku mengangguk.
“Pertanyaan pertama, siapakah penemu rumus phytagoras?” Bu Vindy tersenyum di ujung kalimatnya. Aku mencoba mengingat, ini seharusnya gampang! Waktu terus berjalan, menyisakan suara panah jam yang membuatku semakin kehilangan fokus.
Ting!

Aku ingat! Jawabannya adalah pythagoras, seorang ahli matematika asal Yunani yang menemukannya! Aku bersorak dalam hati. Aku bersegera menjawab pertanyaan pertama dari Bu Vindy.

“Pythagoras,” aku lihat ada senyum kecil berkembang di sudut mulut Bu Vindy, “Lanjut ke pertanyaan ke-dua, dengarkan baik-baik. Terorema pyhtagoras atau yang sering dikenal dengan dalil pythagoras adalah sebuah fenomena yang menunjukkan hubungan?” Bu Vindy bertanya lagi. Aku menelan ludah, aku tidak ingat atau jangan-jangan aku lupa membaca ulang bagian itu.

“Maaf bu…Saya enggak ingat,” bu Vindy menatapku datar. “Lanjut ke pertanyaan berikutnya, kamu hanya perlu menjawab benar atau salah. Dengan adanya rumus pyhtagoras, kita bisa membuktikan bahwa sisi miring sebuah siku-siku ialah akar dari jumlah kuadrat sisi-sisi yang lain. Benar atau salah?” Ini adalah pertanyaan yang terakhir, ayolah! Kamu hanya perlu menjawab benar atau salah. Tapi karena takut salah, aku memastikan sebentar. Aku tidak sadar Bu Vindy menunggu tak sabaran.

“Rati? Mau lewat pertanyaan terakhir?” Bu Vindy kembali bertanya, aku terkaget. Sorot matanya menunggu jawabanku. Aku mengumpulkan keberanianku, semoga benar. Mulutku sudah terbuka, pangkal lidahku sudah bergerak. Tapi suaraku mogok keluar. Mampat di tenggorokan.
“Sayang sekali… Jika kamu benar dua, nilaimu bisa di atas KKM,” suara Bu Vindy terkesan kecewa. Bu Vindy mengucapkan terima kasih dan menenggakhiri telponnya. Aku termenung, apa maksudnya? Apa artinya nilaiku di bawah KKM karena tadi? Aku saja belum sempat menjawabnya.

Bagus, kau mendapatkan nilai di bawah KKM lagi Rati, sudah keberapa kalinya ini? Batinku mengeluh. Aku menepuk jidat. Apa yang akan kukatakan pada Ibu? Bahwa nilaiku di bawah KKM lagi? Aku tidak ingin membuat Ibu kecewa, aku berjanji bekerja keras agar tidak mendapat nilai jelek lagi. Tetapi mengapa nilai jelek masih saja kudapatkan? Aku membuang diri di atas kasur.

“Berarti aku harus ikut ujian tulis,” aku menatap atap kamar dengan pikiran kosong.
Senja di cakrawala memiliki pesona yang hanya dibagikan olehnya pada diriku seorang. Lantunan bacaan doa dan zikir terdengar samar dari masjid terdekat. Menandakan waktu salat magrib sudah hampir tiba. Ruangan terasa sunyi. Tidak ada yang terdengar selain suara lantunan ayat suci menjadi penenang hati. Aku jadi ingat kejadian 15 tahun lalu. Saat itu aku masih berumur 6 bulan.

Ibu pernah bercerita, ketika dia masih mengandungku pada waktu itu. Ibu sedang membaca buku. Tiba-tiba bukunya terjatuh ke lantai, di situ, dia merasa ada sesuatu yang aneh. Hatinya merasa gelisah. Telepon rumah berdering, dia mengangkatnya.

Seketika dia merasa syok, beliau terjatuh kaget karena menerima kabar Ayah yang meninggal akibat kecelakaan. Ayah ditabrak oleh sebuah mobil yang dikemudikan oleh seseorang yang sedang mabuk. Ayah terluka sangat parah, kecelakaan itu menyebabkan kepalanya terluka sangat dalam, membuatnya kehilangan banyak darah, Ayah wafat sebelum ditolong oleh para tim medis. Ayah meninggal tepat pada jam 04.30. Dan suasananya pun sama dengan hari ini. Langit yang oranye, senja yang manis, lantunan ayat suci yang samar, dan entah mengapa hari itu sangat sunyi dan tenang.

Setelah Ayah meninggal, Ibu selalu melihat foto kenangan mereka bersama. Beliau selalu merasa almarhum Ayah sedang mengamatinya dari dekat. Hingga aku lahir, aku diurus oleh Ibu seorang diri. Aku tidak pernah merasakan sosok Ayah dalam hidupku.
Jam dinding terus bergerak, setiap hembusan napasku menyisihkan rasa rindu untuk almarhum Ayah. Aku menutup mata rapat-rapat, mencoba membayangkan sosok seorang Ayah.
Tok. Tok. Tok.

Tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Aku membuka mata dan keluar untuk membuka pintu, “Assalamu’alaikum, Rati ini Ibu nak,” oh, ternyata itu Ibu yang sudah pulang. Aku mengambil kunci dan membuka pintu. Ibu membawa kresek. Isinya adalah sebungkus kado. Aku merasa penasaran, untuk siapa kado itu? Aku hendak bertanya, tapi akhirnya aku mengurungkan niatku.
Aku salim pada Ibu, dan membantu membawakan barang belanjaanya. Ibu masuk ke kamar, aku berniat untuk memberi tahu Ibu soal nilai ujian lisan Matematikaku hari ini. Saat aku menuju kamarnya, aku tidak sengaja menyenggol sebuah kotak.

Kotak itu dibungkus dengan karton bunga. Sangat rapi dan cantik. Kotak itu berbentuk persegi panjang yang ukurannya cukup besar. Di depannya terdapat tulisan ‘kenangan’ pada bagian penutup kotak. Aku mengambilnya dari lantai. Aku penasaran dengan isi kotak ini. Kenangan siapa ini? Aku mengendap-endap menuju kamar sambil membawa kotak itu.
Aku berhasil membawa kotak itu ke kamar tanpa ketahuan. Aku duduk di atas kasur, saat aku membuka kotak itu, hidungku mencium bau bunga mawar yang harum. Karena kotak itu dipenuhi oleh kelopak bunga mawar. Isinya juga ada banyak foto. Aku turut melihat foto-foto itu bergantian.

Sepertinya foto-foto ini jaman 1990-an. Di setiap foto itu ada tulisan masing-masing di belakang fotonya. Mungkin tentang filosofi atau kejadian sekilas pada foto tersebut. Ujung mataku menangkap sesuatu. Aku melihat pada sebuah foto, ada seorang laki-laki. Rambutnya berwarna hitam pekat. Matanya besar, alisnya tebal, bulu matanya lentik, dagunya terbelah dua. Dia memakai kacamata. Laki-laki itu memakai jaket almometer sambil memegang tropi besar dan memakai medali emas di lehernya.

Siapa ini? Hmm…wajahnya sangat familier. Aku seperti sudah pernah melihatnya. Foto laki-laki itu sangat banyak, hampir semuanya adalah tampilan ia saat memegang piala, tropi, medali dan sebagainya. Tampaknya orang ini sangat pintar dan sering memenangkan banyak lomba.

Eh? Pada sebuah foto yang lain, laki-laki yang sama itu menikah dengan Ibuku!
“Ayah…Inikah Ayah saat masih muda?” Aku berbicara pada diriku sendiri. Tiba-tiba hatiku terasa sendu. Ayah ternyata adalah orang yang sangat pintar, sedang Ibuku terlahir mahir dalam bidang seni dan budaya. Ibu punya satu ruangan yang dipenuhi dengan lukisan-lukisannya yang indah dan harmonis. Lah, aku? Aku bisa apa?
Selama ini, aku tidak pernah membahagiakan kedua orang tuaku. Aku hanya bisa makan, tidur, bermain, selama 15 tahun aku tidak pernah menghasilkan prestasi yang membuat orang tuaku tersenyum bangga. Aku menatap foto Ayah dan Ibu lamat-lamat, tenggelam dalam pikiranku sendiri.

“Rati kamu lagi ngapain?” Aku terkaget. Tanpa aku sadari Ibu sudah berada di kamarku, aku langsung menyembunyikan kotak itu. Ibu tertawa kecil, “Enggak usah disembunyiin kali, Ibu udah tau kok,” ujar Ibu.

Ibu ikut duduk di sampingku. Tatapannya menerawang ke depan, “Dulu, saat ayahmu masih muda. Dia sering sekali memenangkan banyak kompetisi mewakili negara. Dia adalah orang paling jenius di universitasnya. Tapi Ibu jatuh cinta dengannya bukan karena dia pintar di bidang akademik. Tapi … Ayahmu. Selain dia sangat pintar, dia jago dalam bidang agama. Itu yang membuat Ibu jatuh cinta dengan Ayahmu.”

“Sampai suatu ketika, Ibu menikah dengan Ayahmu. Tidak ada yang bisa menjelaskan betapa bahagianya Ibu ketika menikah dengan orang yang Ibu cintai. Dunia terasa hanya milik kami berdua. Dunia cinta kekasih.”
“Ayahmu adalah orang yang sangat berharga dalam hidup Ibu. Betapa sedihnya Ibu ketika tahu Ayahmu harus ‘pergi’ lebih dulu sebelum melihat anak pertamanya lahir,” Ibu tersenyum getir di ujung kalimatnya.

“Hati Ibu hancur. Ibu mengalami masa-masa sulit sejak Ayahmu meninggal dunia. Ibu jadi mudah marah, stres, sakit-sakitan, sering membanting barang, bahkan Ibu pernah berencana untuk menyusul Ayahmu dengan cara yang tidak wajar.” Aku menelan ludah, tak kusangka ternyata Ibu pernah mengalami hal-hal itu.

“Rasanya susah sekali bagi Ibu untuk mengikhlaskan kepergian Ayahmu. Ibu selalu berprasangka buruk pada Ayahmu. Hingga akhirnya Ibu sadar. Kematian itu tidak bisa saling tawar-menawar, kematian pasti akan menyapa semua makhluk yang bernyawa. Suatu saat, Ibu akan meninggal. Rati akan berpulang pada-Nya. Semua orang akan berpulang kembali Pada-Nya.”

“Ayah pernah berkata,” ibu mengambil napas, “Bila suatu hari aku harus berpisah dengan kekasihku. Ya Allah jangan sampai dia sedih, jangan sampai dia merasa aku telah meninggalkannya. Karena sesungguhnya, aku akan terus bersamanya. Meski dia tak akan bisa melihatku,” ibu berlinang air mata. Aku mengusap air matanya.

Ibu mengenggam tanganku erat-erat. “Rati…Kamu adalah buah hati Ibu. Kamu adalah titipan dari Allah yang harus Ibu jaga. Ibu tidak berharap apa-apa darimu nak, yang Ibu harapkan darimu, jadilah anak yang shalehah. Itu saja, Ibu tidak perlu anak yang jenius, Ibu hanya ingin anak yang shalehah,” aku terharu dengan perkataan Ibu. Beliau mengeluarkan sesuatu. Itu adalah kado. Kado yang kulihat di depan.

“Ini buatmu … Kado ini dari Ayahmu sebelum kecelakaan, Ayahmu pernah menitipkan ini, ia menyuruhku untuk memberikan ini padamu, ia percaya buku ini bisa membantu seseorang belajar, biar Ibu beritahu. Buku ini adalah buku yang selalu Ayahmu bawa kemana-mana. Buku ini juga yang selalu ia baca berulang kali. Kurasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan buku titipan Ayahmu. Ambilah, Ibu tahu kamu kesulitan belajar.”

Aku mengambil kado itu, aku membuka bungkusnya dengan gemetaran. Aku peluk buku itu seerat mungkin. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa selama ini Ayah melihatku dari jauh, dari buku ini aku pertama kali merasakan seperti apa rasanya sosok Ayah. Aku merasakan kepeduliannya terhadapku. Ayah tahu aku sedang kesulitan belajar dari atas sana. Ibu mengusap punggungku. Aku bergantian memeluknya.

Sekarang aku mengerti….

Membenci tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Membenci tidak akan membuat hidup menjadi lebih mudah. Serajin-rajinnya seseorang, dia tidak akan mendapatkan apa yang ia mau jika ia tak percaya. Tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu hanya akan membuat semuanya semakin tidak berada di tempatnya.

-TAMAT-

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 42

Comment here