Wacana-edukasi.com — Dunia hukum di negeri ini kembali terluka, bagaimana tidak sejak awal kepulangannya ke Indonesia, tindak tanduknya selalu “fenomenal” mulai dari kedatangannya, agenda Isra Mi’raj di Petamburan, hingga yang terbaru adalah kasus HR5 terkait hasil swab yang diduga menyebarkan berita bohong yang berujung keonaran.
Atas hal itu HR5 divonis 4 tahun penjara, karena pihak pengadilan menyatakan HR5 bersalah menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi hingga menimbulkan keonaran. HR5 dinilai oleh Hakim perbuatannya ini meresahkan masyarakat.
HR5 sejatinya sejak awal kemunculannya tidak pernah sepi tersandung kasus hukum, bahkan kasusnya yang terlihat seakan dilebih-lebihkan. Seperti yang diungkap oleh salah satu politisi Fadli Zon, beliau mengatakan adanya ketidakadilan terkait vonis yang dijatuhkan atas kasus kasus Habib Rizieq dengan kasus pidana lainnya, seperti kasus korupsi yang juga divonis sama dengan Habib Rizieq (news.detik.com, 25/6/2021).
Sejatinya ketidakadilan hukum saat ini memang sudah bukan hal baru, hukuman antara koruptor dengan kasus HR5 terlihat tidak fair. Saat ini cukup banyak orang-orang vokal yang selalu bersentuhan dengan hukum dan berujung di terali. Alasannya tentu saja tidak sepaham dan sejalan dengan penguasa saat ini.
Akhirnya hukum dijadikan sebagai alat politis untuk membungkam suara kritis bukan digunakan untuk mencari keadilan. Matinya keadilan sekali lagi dipertontonkan oleh sistem sekuler saat ini. Negara dalam hal kekuasaan yang eksis saat ini menguatkan sentimen publik bahwa hukum hanya akan tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Ironinya adalah klaim negara hukum tidak lagi berlaku. Yang diberlakukan justru layaknya hukum rimba. Yang akan menghalalkan segala macam cara untuk meredam opini atau pun fakta yang memang benar.
Ulama yang kritis pada penguasa divonis dengan hukuman tak masuk nalar bahkan orang yang yang tersandung kasus mega korupsi dan lainnya justru tidak seheboh ini. Lagi-lagi keadilan bukan untuk orang benar. Tapi untuk orang yang bersalah agar terlihat benar dan perlu dikasihani. Seperti kasus Pinangki diringankan dengan alasan memiliki balita. Orang yang mencari keadilan tidak akan pernah mendapatkan haknya dalam sistem sekuler demokrasi.
Sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” nampaknya hanya ucapan seremonial tanpa bukti. Keadilan kepada pihak bersalah tidak akan dijatuhkan selama masih bersentuhan dengan kekuasaan sedangkan yang berdiri di pihak lawan maka akan ditindak. Ini merupakan bentuk kezaliman yang akan terus berulang.
Sedangkan Rasulullah saw. menegaskan bahwa kezaliman akan menghantarkan seseorang kepada kebinasaan. Rasulullah mengingatkan bahwa kehancuran umat yang terdahulu itu adalah di saat orang besar yaitu orang yang dekat dengan kekuasaan itu mencuri, tidak dikenakan sangsi. Sebaliknya bila yang mencuri adalah rakyat biasa yang mencuri, akan ditegakkan sangsi.
Selanjutnya Rasul Saw menegaskan bahwa sekiranya Fatimah, Putri beliau Saw. yang mencuri, niscaya sungguh beliau Saw sendiri yang akan memotong tangannya. Di akherat, ketidakadilan dan kedholiman hanya akan menjadi kegelapan dan penyesalan bagi pelakunya.
Untuk itu sebagai Muslim haruslah senantiasa melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena Allah menimpakan azab dan siksa dikarenakan banyaknya orang-orang benar namun diam terhadap kemaksiatan ataupun kezaliman dihadapannya.
Nurhayati, S.S.T.
Views: 9
Comment here