Oleh Astuti, S.Pi. (Pemerhati Sosial masyarakat)
Beberapa pihak menilai tindakan ini membuat rapuhnya demokrasi. Dalam Negara yang menerapkan demokrasi, budaya kritik harusnya dianggap biasa. Kritik mestinya disikapi sebagai nasihat kebaikan untuk pemimpinnya. Bentuk perhatian rakyat kepada penguasanya.
Wacana-edukasi.com — Kritik itu menyehatkan dan seburuk-buruknya hidup ialah hidup dengan mengharapkan sanjungan, memberi pencerahan agar ketika banyak disanjung, akan gampang lalai dan terlena. Tatkala banyak menerima kritik, akan senantiasa berhati-hati dalam perkataan dan perbuatan. Seakan tidak sejalan dengan kata bijak ini. Ibarat membayangkan masukan dari masyarakat diterima demi perbaikan keadaan.
Di era digital saat ini, sosial media menjadi sarana untuk menyampaikan pendapat bahkan rasa kecewa pada penguasa/pemerintah. Berujung banyak muncul meme yang terkesan menghina pemerintah bahkan presiden dan wapres. Wibawa seakan runtuh. Viralnya meme yang dibuat BEM UI, yang berisi kritikan di media sosial terhadap Presiden karena inkonsistensi antara pernyataan beliau sebagai presiden dengan kebijakan, berujung pemanggilan dan dianggap pelanggaran.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyampaikan kritik beberapa pasal-pasal pada Rancangan KUHP. Ada empat pasal yang dituding peninggalan Belanda yang bertujuan mengekang iklim demokrasi di Indonesia. Pada awalnya digunakan dalam memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda.
Pertama, Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur pada pasal 218-220 RKUHP. Kedua, Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah yang diatur pada pasal 240-241 RKUHP. Ketiga, Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi Tanpa izin yang diatur pada pasal 273 RKUHP. Keempat, Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan yang diatur pada pasal 281 RKUHP. Pasal-pasal tersebut dianggap akan membunuh dan mengekang iklim demokrasi di Indonesia (Liputan6. Com)
Kritik, Kebebasan Berekspresi
Beberapa pihak menilai tindakan ini membuat rapuhnya demokrasi. Dalam Negara yang menerapkan demokrasi, budaya kritik harusnya dianggap biasa. Kritik mestinya disikapi sebagai nasihat kebaikan untuk pemimpinnya. Bentuk perhatian rakyat kepada penguasanya.
Jika RKUHP ini disahkan, jelaslah kebebasan berekspresi dalam demokrasi hanyalah jargon semata. Jargon demokrasi ini menyatakan kebebasan dalam berekspresi atau berpendapat. Nyatanya dapat dikebiri oleh negara melalui undang-undang. Bagaikan simalakama, mau menerapkan konsep kebebasan berekspresi dan berpendapat, masyarakat dikhawatirkan lepas kontrol dalam mengkritik penguasa. Jeruji besi menanti. Satu sisi beri kebebasan, sisi lain malah membungkam.
Kebebasan berekspresi hanya jadi formalitas. Apakah rakyat harus bungkam dengan ketidakadilan dan penyelewengan. Bagaimana lagi rakyat menyampaikan aspirasinya? Kritik harusnya tidak dibatasi. Bila tidak pada tempatnya, sebaiknya dilakukan pendekatan persuasif, agar rakyat melakukan kritik yang membangun.
Keteladanan Menghadapi Kritik
Keteladanan para khalifah dalam menghadapi kritik dicontohkan Umar bin Khaththab, tatkala menerima kritik dari seorang wanita Quraisy yang memprotes kebijakannya tentang mahar.
Sang wanita itu berkata, “Hai Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” “Ya.” jawab Umar. Wanita itu berkata lagi, “Apakah Umar tak pernah dengar firman Allah Swt, “..kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak (sebagai mahar),” (QS. An-Nisa’: 20). Protes tersebut disambut hangat oleh khalifah Umar, dan segera membaca istigfar dan berujar, “Wanita itu benar dan Umar salah. Ya Allah, ampunilah aku. Setiap orang lebih pintar dari ‘Umar.”
Kisah ini menunjukkan kritik menjadi kebiasaan kaum muslim dalam amar makruf nahi mungkar. Para khalifah pada masa itu justru menjawab kritik dengan sikap bijak dan lapang dada. Kritik rakyat kepada penguasa bukan dijawab dengan narasi mengancam serta sikap represif. Tidak pula memanfaatkan hukum dan penegak hukumnya untuk membungkam sikap kritis rakyat.
Dalam sistem Islam jika terjadi perselisihan antara rakyat dan penguasa terdapat Mahkamah Madzalim yang memutuskan perselisihan antara keduanya. Rakyat yang merasa terzalimi dalam pengurusannya dapat mengadukannya pada lembaga tersebut. Dalam Islam juga ada larangan atau tidak membenarkan kritik atau menghujat seseorang dari penampilan fisiknya.
Harmoni para pemimpin Islam dengan rakyatnya didorong saling mencintai karena Allah Swt.
Gambaran harmoni ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.; “… Sebaik-baiknya pemimpin ialah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintaimu, kamu menghormati mereka dan mereka pun menghormati kamu. Begitupula sebaliknya. Sejelek-jeleknya pemimpin ialah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepada kamu, kamu melaknat mereka dan mereka pun melaknatmu.” (HR Muslim).
Dari hadis tersebut kriteria pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin pun mencintai rakyatnya. Jika seorang pemimpin dicintai rakyatnya tentu rakyatnya tidak akan menghinanya, yang ada justru akan selalu memuliakannya. Bahkan tak akan bersusah payah membuat undang-undang larangan menghina penguasa.
Aktivitas mengoreksi atau muhasabah lil hukkam pun berjalan dengan benar. Saat penguasa melakukan kekeliruan, ketika diingatkan sebagai bentuk cinta kepada pemimpin agar dia tidak berlaku zalim. Sepanjang sesuai koridor syariah. Semakin jelas manakah yang lebih baik daripada hukum Allah Swt. Sang Penguasa alam semesta?
Saatnya kembali pada hukum syariah Islam untuk kehidupan terbaik.
Wallahu A’lam bishowab.
Views: 6
Comment here