Oleh Anisa Rahmi Tania
Sistem ekonomi yang dianut oleh negara kita tidak mampu menopang penyelesaian pandemi
Wacana-edukasi.com — Banyak pihak mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam penanganan badai corona di tanah air. Bagaimana tidak, alih-alih pandemi covid-19 ini tuntas, di tahun 2021 malah terjadi lonjakan kasus positif. Bahkan, Indonesia disebut-sebut sebagai episentrum atau pusat dari sebaran virus yang mulanya berasal dari negeri tirai bambu akhir 2019 silam. Hal ini karena Indonesia meraih ‘prestasi’ rangking pertama untuk jumlah kasus positif sebanyak 29.745 kasus pada 5 Juli 2021. Ini menjadi angka tertinggi selama pandemi mendera tanah air (kompas.com, 6/7/2021)
Sayangnya dengan segala kondisi yang semakin memperihatinkan ini, pemerintah malah menambah utang negara sejak awal tahun ini. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan tindakan tersebut dilakukan untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi.
Dilansir dari cnnindonesia.com (25/7/2021), menurut Sri Mulyani utang merupakan salah satu instrumen untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Apalagi di masa pandemi saat ini, dimana APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan. Sumber pembiayaan tersebut salah satunya dari utang.
Padahal, bukan rahasia lagi. Negeri ini faktanya telah lama bergantung pada Utang Luar Negeri (ULN). Faktanya posisi utang pemerintah per akhir Juni 2021 berada di angka Rp6.554,56 triliun. dikutip dari Buku APBN Kita Juli 2021.(m.merdeka.com, 24 Juli 2021)
Nilai yang sangat fantastis. Namun, benarkah utang yang kembali ditambah di masa pandemi ini untuk menyelamatkan masyarakat? Karena anggaran yang diperuntukkan penanganan covid-19 pada tahun ini ternyata lebih kecil dibanding anggaran untuk infrastruktur.
Dilansir dari m.merdeka.com (22/1/2021), penanganan covid-19 2021 memakan anggaran Rp61,8 T. Sementara untuk infrastruktur sebesar Rp417,8 T. Anggaran yang diperuntukkan penanganan pandemi dirasa masih kurang. Tentu saja, karena nyatanya masih banyak masyarakat yang kesulitan mencari nafkah setelah terkena PHK. Bahkan untuk sekadar memberi makan keluarga.
Nasib miris juga dialami para nakes. Dikabarkan masih banyak nakes yang belum mendapat insentif dari bulan Januari.
Dilansir dari laman cnnindoesia.com (30/6/2021), ketua umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah mengatakan ratusan nakes di berbagai wilayah belum menerima insentif. Padahal mereka adalah garda terdepan yang menghadapi pandemi ini. Sudah selayaknya mereka mendapatkan perhatian dan perlindungan penuh dari pemerintah. Lantas mana bukti bahwa utang untuk menyelamatkan masyarakat?
Disinilah kita harus menyadari bahwa sistem ekonomi yang dianut oleh negara kita tidak mampu menopang penyelesaian pandemi. Pemerintah seakan bersembunyi di balik kondisi pandemi untuk kembali berutang. Nyatanya, sejak dulu utang selalu menjadi jalan keluar dari ketiadaan biaya. Padahal ULN yang telah menjadi tradisi ini jelas membahayakan kedaulatan negara.
Kedaulatan negara bisa tergadai jika utang-utang tersebut sudah tak mampu dibayar akibat bunga yang tinggi. Asing bisa dengan leluasa mengendalikan pemerintah dalam berbagai kebijakan karena jerat utang ini.
Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah menyadari efek bahaya dari ULN dan berusaha untuk keluar dari jeratannya bukan menambah transaksi utang baru dengan asing.
Akan tetapi, jelas hal itu tidak akan mudah. Karena negeri ini telah lama terjerat dengan utang dan terjerat dengan mental pengutang. Mental yang membuat pola pikir sempit dan terhasut dengan bisikan asing untuk selalu bersembunyi di bawah ketiak mereka.
Pada faktanya negara yang telah terjerat utang luar negeri, keberaniannya merosot dan kepalanya tak mampu lagi melihat ke atas. Ia senantiasa menunduk dan menuruti titah sang tuan. Inilah bahayanya bagi negara-negara yang telah terlanjur terjerat ULN.
Namun apa daya, memang sistem hari ini telah mendidik dengan getol setiap negara dunia ketiga supaya terus menambah utangnya.
Lain halnya dengan sistem Islam. Dalam Islam keyakinan bahwa Rezeki berada di tangan Sang Khaliq telah membuat keteguhan yang kuat terhadap larangan melakukan riba. Sehingga apa pun yang terjadi, sedefisit apapun negara, misalnya, negara tidak akan melakukan pinjaman kepada luar negeri dengan akad ribawi. Karena haramnya riba telah menjadi rem bagi negara Islam dalam bertransaksi dengan negara kafir. Apalagi jika kedudukan negara kafir tersebut adalah kafir harbi fi’lan. Maka tidak ada hubungan dengannya selain hubungan perang. Bagaimanapun kondisi negara. Keyakinan pada Allah Swt-lah yang semakin membuat negara kuat.
Islam Solusi Total
Dalam Islam, jika negara mengalami defisit maka diperbolehkan untuk menarik pajak kepada warga negaranya. Ini pun bukanlah setiap warga negara, namun kepada para laki-laki yang mampu. Penarikan pajak ini seiring dengan edukasi dari pemerintah/penguasa tentang keutamaan berinfak di jalan Allah dan balasan-Nya terhadap orang-orang yang ikhlas dalam berinfak. Sebagaimana saat Rasulullah Saw., memotivasi kaum muslim untuk menyedekahkan hartanya kala perang di depan mata sementara perlengkapan dirasa kurang memenuhi. Maka, setiap orang yang mampu langsung tergugah untuk menyedekahkan hartanya. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan sedekah terbaik di jalan Allah Swt.
Sementara pajak, besarannya ditentukan oleh negara, yang sifatnya wajib. Pajak ini dipungut hingga kondisi keuangan negara kembali stabil. Bukan pajak yang dipungut hari ini, menjadi pendapatan utama negara. Setiap hal dikenai pajak, baik laki-laki maupun perempuan, baik kaya maupun miskin. Sehingga sangat membebani kehidupan rakyat.
Pengoptimalan dalam pengelolaan sumber daya alam pun menjadi kunci dari keberhasilan negara Islam untuk menjaga kas negara stabil. Terhindar dari defisit.
Sehingga kala menghadapi wabah atau pandemi seperti saat ini, negara Islam mempunyai kemampuan yang tangguh untuk tetap menjaga kestabilan keuangan. Tidak akan menjadikan utang sebagai satu-satunya solusi untuk menanggulangi biaya kesehatan maupun ekonomi yang terpuruk.
Gambaran real-nya terlihat di masa kekhilafahan Umar bin Khattab r.a. Di masa pemerintahan beliau terjadi wabah di wilayah Syam. Saat itu korban yang meninggal karena wabah mencapai 25.000 orang. Namun dengan sistem yang diterapkan, yakni sistem Islam, wabah tersebut mampu dikalahkan tanpa membuat pemerintahannya kolaps.
Hal itu karena dari awal Khalifah Umar bin Khatab, melaksanakan apa yang Rasulullah Saw., sabdakan. Memisahkan orang sakit dan orang sehat, menutup wilayah yang terkena wabah, menyediakan fasilitas kesehatan untuk mereka yang sakit. Termasuk menjamin semua kebutuhan hidup mereka yang berada di wilayah wabah. Baik sandang maupun pangan.
Sementara perekonomian tetap berjalan normal di wilayah lain. Sehingga pemasukan negara stabil. Tidak ada opsi berutang saat menghadapi wabah. Begitulah Islam telah membuktikan sejak berabad silam bahwa hanya Islam yang mampu memberikan solusi atas permasalahan manusia. Kecil maupun besar. Persoalan secara pribadi, bermasyarakat, maupun bernegara.
Wallahu’alam bishowab
Views: 2
Comment here