Oleh : Wenny Ummu Adzkiya (Praktisi Pendidik)
wacana-edukasi.com — Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 masih jauh, namun kontes lima tahunan yang jadi ajang jual janji itu sudah terdengar hingar bingarnya. Mata masyarakat seolah terbelalak melihat baliho besar dengan ragam warna kebanggaan masing-masing partai terpampang menawarkan para politisi yang akan mengisi kontestasi calon presiden ke depan.
Perang baliho semakin marak, mulai dari Ketua DPR Puan Maharani, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar hingga Ketum Demokrat AHY. Apakah pemasangan baliho masih efektif meningkatkan popularitas?
Menurut penjelasan Pakar Komunikasi UI Firman Kurniawan Sujono baliho mempunyai kelebihan dengan ukurannya yang besar, secara struktural ‘memaksa’ orang untuk melihatnya. Apalagi kalau diletakkan di kawasan yang strategis pasti tak terhindarkan orang lewat tak bisa mengelak (detikNews, 5/8/21)
Dapatkah Baliho Mendongkrak Popularitas dan Elektabilitas?
Ancang-ancang para kandidat ini seolah mencuri start, karena tak lagi peduli saat pandemi mereka menginginkan rakyat mengenalnya dengan segala atribut partainya. Meskipun pesan dalam baliho tak banyak, mereka mengharapkan dapat menuai simpati rakyat.
Saat begitu maraknya baliho terpasang terutama di tempat yang strategis, masyarakat justru jenuh hingga pesan yang disampaikan tak tertangkap. Harusnya para kandidat itu lebih jeli melihat bahwa masyarakat sekarang banyak menggunakan sosial media(sosmed), hingga pesan yang hadir di sosmed lebih tertangkap oleh para penggunanya.
Menguapnya Nurani Sebagai Pelayan Rakyat Sejati
Terlepas efektif tidaknya media yang digunakan untuk berkampanye, masyarakat sudah muak dengan janji yang diumbar tanpa bukti. Karena politisi tak dapat mengabdi pada rakyat yang mereka pikat hingga suara yang mendukung mereka mengantarkan pada tampuk kekuasaan. Para politisi itu telah terikat akan jasa yang ditanam para pemberi modal yang membiayainya dalam berkompetisi agar dapat melenggang menuju kursi kekuasaan yang didamba.
Begitulah demokrasi, berbiaya mahal untuk tampuk kuasa yang diingini. Semestinya rakyat cerdas mengindera akan keburukan sistem demokrasi yang niscaya hasilkan politisi pengabdi kursi, bukan pelayan rakyat sejati.
Simpati para politisi sendiri sudah tergadai saat mereka memasang baliho besar yang tentunya berbiaya mahal. Tak mengingat saat pandemi, tingkat ekonomi rakyat yang kian terpuruk, banyak rakyat kian melarat hingga oksigen langka, bahkan obat-obatan yang hilang dari pasaran serta harga yang melangit.
Andai biayai pemasangan baliho itu diperuntukkan bagi penanganan pandemi, berapa nyawa dapat tertolong demi ketersediaan oksigen bagi pasien Covid-19 yang sesak nafas, andai diperuntukkan bagi rakyat yang berkantong cekak menjamin sembako selama PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) hingga bukan saja pandemi yang mereka takuti karena kelaparan keluarga yang nyata dihadapan mata lebih mengerikan adanya.
Teladan Sikap Pemimpin Islam dalam Menghadapi Kesusahan
Khalifah Umar bin Khattab bersumpah untuk tidak makan daging dan samin, saat rakyatnya menghadapi paceklik hingga kelaparan. Umar memegang teguh sumpahnya hingga musim paceklik berakhir.
Keputusan itu semakin bernilai, lantaran diambil seorang khalifah yang kekayaannya telah menyaingi Persia dan Romawi pada masa itu. Amirul Mukminin berpendapat tidak mungkin seorang pemimpin dapat memperjuangkan kehidupan rakyatnya kalau dia tidak merasakan apa yang dirasakan rakyat. Sungguh mulia sikap seorang pemimpin dalam sistem Islam, bukan mengambil sikap tak peduli akan penderitaan rakyat, ataupun bersenang dikala rakyat susah tercermin sikapnya pelayan rakyat yang sejati, tanpa pencitraan yang dibuat-buat.
Begitu juga dengan kunjungan langsung Khalifah melihat kondisi rakyatnya dan tidak hanya menunggu laporan dari bawahan. Yang tidak sepenuhnya benar dengan kondisi nyata. Karena seringnya bawahan memakai prinsip “asal bapak senang” memberikan laporan pada pimpinan.
Dosa besar bagi pemimpin yang membiarkan masyarakatnya kelaparan. Berat pertanggungjawaban di akhirat. Karena itu Khalifah Umar bin Khattab pernah memanggul beras untuk dimasak sang ibu saat sedang memasak batu untuk mengelabui perut anak-anaknya yang lapar.
Rakyat tentunya menginginkan pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khattab. Mengurusi rakyat dengan bersungguh-sungguh, karena beliau memahami amanah yang beliau emban.
Pemimpin dalam Islam taat akan syariat (aturan Allah) karena takut pada hari penghisaban. Jabatan adalah amanah. Hingga takut tak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatan.
Semoga rakyat cerdas menalar bahwa pemimpin yang menerapkan aturan Allah akan sanggup menjamin kehidupan rakyatnya. Dibandingkan pemimpin yang menerapkan aturan buatan manusia dialam demokrasi hanya pemberi harapan palsu.
Wallahua’lam Bi shawab
Views: 5
Comment here