Opini

Ide Sesat Childfree Merusak Generasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nita Savitri

Keluarga yang ideal adalah terdiri dari ayah, ibu dan anak. Kelahiran anak tidak hanya sebagai bukti cinta antara suami-istri, namun juga sebagai ibadah karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wacana-edukasi.com — Dunia sosmed belakangan ramai membicarakan ungkapan seorang Youtuber Indonesia, Gita Savitri (GS) yang tinggal di Jerman. Pernyataannya yang kontroversial tentang Childfree (enggan punya anak), menjadi trending topik , dan mengundang pro dan kontra warganet. Menurutnya, mempunyai anak perlu tanggung jawab yang besar dan memiliki anak adalah pilihan bukan kewajiban bagi sebuah rumah tangga (Suara.com, 19/8/21).

Dikutip dari USA-Today, yang merangkum hasil wawancara profesor sosiologi di University of Maine, Amy Blackstone, terhadap 21 wanita dan 10 pria. Mereka beralasan memilih childfree karena menganggap sebagai keputusan yang sadar dan bijak. Mempertimbangkan target hidup pribadi untuk mengejar prestasi, keengganan berubah pola hidup kala mempunyai anak, keinginan untuk memilih berdua dengan pasangan, sampai kondisi dunia yang over populasi (Tribunnews, 20/8/21).

Childfree Menjunjung Kebebasan

Gaya hidup childfree mulai menyeruak di akhir abad ke-20. Di mana keberadaan perempuan sudah mulai diakui oleh dunia. Perannya di publik mempunyai pengaruh cukup nyata. Maka tidak mengherankan, para aktifis perempuan (feminis) selalu mengajak kaumnya untuk sedikit demi sedikit mengurangi bahkan meninggalkan aktifitas domestik. Hal ini untuk mencapai equal right, keseimbangan/kesetaraan perlakuan yang benar antara pria dan wanita.

Mereka kaum feminis berkomitmen untuk mengatasi masalah yang terjadi di kehidupan sehari-hari seperti KDRT, pemerkosaan dan kekerasan seksual, objektifikasi seksual, dan salah satunya adalah anggapan masyarakat bahwa setiap perempuan pasti harus memiliki dan melahirkan anak.

Masyarakat selama ini, menganggap bahwa setiap perempuan memiliki keharusan untuk melahirkan anak. Sehingga lahir anggapan bahwa perempuan tidak sempurna jika ia tidak memiliki anak. Padahal menurut mereka, memiliki anak bukanlah kewajiban, namun pilihan. Mereka berpendapat setiap perempuan berhak untuk menentukan setiap pilihannya, karena itu tubuh mereka sendiri. Orang lain tak berhak untuk menentukan apa yang harus dilakukan seorang perempuan selama ia masih mandiri.

Kemandirian perempuan inilah yang menuntut kebebasan, untuk menentukan pilihan enggan memiliki anak. Kehadiran anak dianggap menambah persoalan hidup, yang akan menghambat perempuan berkarier. Anak hanya dianggap sebagai beban kehidupan, yang bisa dihadapi oleh perempuan yang siap dengan resiko melahirkan, membesarkan sampai mendidik anak hingga tumbuh dewasa.

Adanya pemahaman kebebasan menentukan pemilihan sikap childfree, tidak lepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang diterapkan sebagai pengatur kehidupan. Kapitalis menafikan/menghilangkan aturan agama dalam kehidupan. Manusia lebih berhak mengatur kehidupan sendiri, baik dalam ranah keluarga, masyarakat, dan bernegara. Agama hanya dipakai sebagai pengatur ibadah ritual.

Padahal perempuan secara penciptaan sudah dikodratkan untuk melahirkan dan menyusui. Organ-organ tubuhnya menunjang hal tersebut. Berbeda dengan lelaki yang memang tidak diberi kemampuan untuk hal tersebut. Sehingga ide childfree jelas menyalahi kodrat seorang perempuan yang ditakdirkan sebagai seorang ibu, pencetak generasi. Maka inilah yang kini akan digaungkan oleh para feminis, dan didukung oleh negara yang bersistem kapitalisme. Dalih ingin mewujudkan kesetaraan hanya topeng untuk menjauhkan perempuan dari kodratnya. Perempuan akan dipaksa menjadi penggerak roda perekonomian kapitalis agar sama seperti kaum lelaki.

Anak, Anugerah dan Amanah

Berbeda dengan kapitalisme yang mengukur perbuatan dari untung-rugi, maka dalam sistem Islam anak adalah anugerah dan amanah bagi orang tuanya. Tidak setiap pasangan suami-istri dikaruniai anak dalam pernikahannya. Banyak yang kesulitan memperoleh keturunan, karena masalah kesehatan dari pasutrinya. Maka, Islam pun memberi aturan yang sempurna dan lengkap mulai dari menikah, mengandung sampai melahirkan. Bahkan pola asuh sampai sang anak siap menjalani kehidupannya secara mandiri (menikah).

Menikah dalam Islam bertujuan untuk melangsungkan keturunan melalui ikatan yang sah. Keluarga yang ideal adalah terdiri dari ayah, ibu dan anak. Kelahiran anak tidak hanya sebagai bukti cinta antara suami-istri, namun juga sebagai ibadah karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka segala hal yang dilakukan demi kehidupan sang anak, akan dinilai sebagai bentuk ibadah, bukan kesia-siaan atau beban. Mulai mencari nafkah, pengasuhan, sampai pendidikan dan kesehatan anak akan diupayakan secara maksimal oleh pasangan suami-istri.

Dalam Al-Qur’an, Allah telah menjamin rezeki setiap anak manusia, sehingga tidak sepatutnya orang tua ketakutan tidak mampu menghidupinya.

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra: 31)

Sehingga jelas adanya pandangan Childfree adalah bukan dari Islam, tidak seharusnya seorang muslim memilihnya sebagai sikap hidupnya. Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna dan lengkap telah menegaskan tujuan pernikahan tidak sekedar merubah status, namun untuk melestarikan keturunan. Agar generasi muslim tidak punah, namun justru bertambah banyak. Keimanan tentang rezeki akan membuat setiap muslim menerima amanah anak yang dianugerahkan dengan penuh syukur dan cinta. Sehingga kehadiran anak akan selalu membuat kebahagiaan sebuah keluarga.

Wallahu’alaam bishawwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 154

Comment here