Oleh Fitriani, S.Pd.
wacana-edukasi.com — Saat ini apa yang terjadi di Afghanistan menjadi sorotan seluruh dunia. Wilayah dengan sumber cadangan kekayaan alam itu kembali diambil alih kekuasaannya oleh Taliban. Hal ini tepatnya terjadi setelah Amerika Serikat di bawah pimpinan Joe Biden menarik semua tentara dan bantuannya di Afganistan pada beberapa waktu yang lalu.
Akibat hal ini, kekacauan pun terjadi di bandara Kabul, ibu kota Afghanistan, pada Senin (16/8/2021), karena orang-orang berebut naik pesawat untuk melarikan diri dari Taliban. Mereka tampak menyerbu landasan pacu, berharap dapat menaiki pesawat untuk ke luar negeri. Kompas.com( 16/08/2021 )
Sekilas tentang Taliban di Masa Lalu
Jika kita menelisik ke belakang, dulu Taliban memang sudah menguasai Afganistan. Bahkan apa mereka lakukan sangat membekas di benak masyarakat. Bagaimana tidak, saat berkuasa pada 1996-2001, Taliban menerapkan kebijakan yang sangat keras dengan dalih syariat Islam. Perempuan dilarang sekolah dan bekerja. Laki-laki harus memanjangkan janggut dan perempuan harus memakai burqa saat keluar rumah. Mereka juga menerapkan hukum rajam dan hukum cambuk. Tidak memperbolehkan televisi, musik, dan bioskop. Bahkan Taliban menghancurkan patung Budha, Bamiyan, yang amat terkenal di kawasan Afghanistan Tengah walaupun dunia internasional berupaya mencegahnya ( BBC.com,16/10/09 )
Namun semua kemudian berubah saat Amerika Serikat yang membawa misi rahasianya datang ke Afganistan. Tepatnya tanggal 7 Oktober 2001, pasukan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan dalam waktu sepekan saja rezim Taliban jatuh. Singkat cerita Amerika Serikat akhirnya berhasil melakukan invasi di Afganistan. Pemerintahan AS menamakan Afganistan sebagai Negara Islam Transisi Afganistan. (p2k.itbu.ac.id). Mereka bersedia membantu Afghanistan secara militer untuk melawan Taliban. Tak tanggung-tanggung, jumlah personel militer yang dikirim Washington pun bertambah seiring dikucurkannya miliaran dollar untuk memerangi perlawanan Taliban dan mendanai rekonstruksi di Afghanistan ( bbc.com, 17/08/2021 )
Semuanya kini berubah. Taliban kembali menduduki Kabul, Ibu kota Afganistan. Tepat setelah tentara AS menarik pasukannya. Inilah kemudian yang membuat masyarakat Afganistan kembali terkenang dengan apa yang dilakukan oleh Taliban pada 20 tahun yang lalu, tepatnya sebelum diambil alih oleh Amerika Serikat pada tahun 2001. Padahal sebenarnya Taliban yang sekarang sudah berjanji akan berubah. Mereka berusaha menunjukkan wajah baru Taliban yang lebih moderat.
Hal ini disampaikan oleh Zabihullah Mujahid, juru bicara lama Taliban. Mereka berjanji akan menerapkan syariat Islam yang murni. Perempuan juga tidak akan diwajibkan memakai burqa asal tetap berhijab. Begitu pula dengan muslimah diperbolehkan menempuh pendidikan sampai jenjang Universitas. Mereka juga memaafkan mereka yang berselisih dengan Taliban, mengambil jalan kompromi dan memastikan Afganistan tidak menjadi surga bagi para teroris. Janji-janji itu merupakan upaya Taliban yang segera memerintah di Afghanistan untuk dapat berhubungan dengan negara lain di dunia (Liputan6.com, 18/08/2021 )
Kamuflase Strategi AS di Afganistan
Sejenak, mungkin kita patut bersyukur AS akhirnya hengkang dari Afganistan. Apalagi Taliban seakan membawa harapan baru untuk umat muslim dunia. Hanya saja kita patut menganalisis lebih dalam, ada apa dibalik penarikan pasukan AS yang telah bermukim selama 20 tahun dengan anggaran pengeluaran milyaran? Apakah didudukinya kembali Taliban akan membawa angin segar untuk pejuang khilafah dimanapun berada?
Maka jika kita menggali fakta, sebenarnya yang terjadi hari ini adalah hasil dari perjanjian damai mereka tahun 2020 lalu. Ya, pihak Amerika Serikat (AS) dan Taliban telah menandatangani perjanjian damai pada Sabtu (29/2/2020) di Doha, Qatar. Perjanjian ini menandai berakhirnya invasi militer AS di Afghanistan selama 20 tahun lebih. Finalisasi kesepakatan ini ditandai dengan jabat tangan antara Mullah Abdul Ghani Baradar selaku pemimpin Taliban, dan Zalmay Khalilzad yang merupakan utusan AS.
Adapun draf perjanjian damai ini terdiri dari tiga bagian yang menjadi pokok bahasan utama yaitu : Bagian pertama, AS berjanji menarik semua pasukan militer AS dari Afghanistan, sekutunya, dan aliansi sekutunya, termasuk personel sipil non-diplomatik, kontraktor keamanan pribadi, pelatih, penasihat, dan personel pendukung dalam 14 bulan menyusul pengumuman perjanjian ini. Jadi sebenarnya bukan baru terjadi penarikan pasukan di tahun 2021 ini, namun sudah berlangsung sesaat setelah perjanjian itu disahkan.
Bagian kedua, menerangkan jaminan bahwa tanah Afghanistan tidak boleh dipakai siapa pun untuk menyerang keamanan AS dan sekutunya. Artinya bahwa Taliban harus memastikan Afghanistan tetap mendukung kampanye war of Terorisme. Tidak boleh ada makar teroris di sana. Maka berkaitan dengan ini, Taliban akan mengambil langkah-langkah untuk mencegah kelompok atau individu mana pun, termasuk Al-Qaidah, dari menggunakan tanah Afghanistan untuk mengancam keamanan AS dan sekutunya.
Bagian ketiga adalah AS akan menjalin kerja sama ekonomi untuk rekonstruksi dengan pemerintah Islam Afghanistan pasca-penyelesaian baru sebagaimana ditentukan oleh dialog dan negosiasi intra-Afghanistan, dan tidak akan campur tangan dalam urusan internalnya (Merdeka.com, 2/3/2020 )
Penulis memiliki analisis bahwa AS akan terus membayang-bayangi Afganistan. Artinya bahwa AS tetap berupaya mengamankan kepentingannya di Afganistan. Seperti menjaga kepentingan di level global, sehingga ia tidak akan mengubah konstelasi global salah satunya lewat perjanjian. Kita juga mengetahui bersama bahwa AS merupakan negara imperialis yang akan tetap berusaha agar nilai-nilai AS tetap terjaga di setiap negeri muslim, yaitu demokrasi, hak asasi manusia (HAM), membuka diri atas pasar bebas liberalisasi, dan sebagainya.
AS sebenarnya hanya mengubah strategi politiknya menjadi soft power lewat berbagai perjanjian damai, setelah sebelumnya memakai hard power dengan mengangkat senjata namun gagal. The Economist berkomentar bahwa pemerintah AS telah gagal membangun Afganistan yang tangguh dan mandiri, serta kalah dari gerakan pemberontakan. Ditambah lagi AS tidak siap menyokong Afganistan sebagai sekutu. Artinya bahwa meski saat ini AS resmi menarik mundur pasukannya, tetapi tidak menutup peluang besar bagi AS untuk tetap mengendalikan negeri tersebut lewat perjanjian dan perundingan. Taliban telah masuk ke dalam jebakan negosiasi AS, sehingga pengaruh AS di Afganistan akan tetap bisa berjalan aman.
Jadi dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Taliban menerapkan Islam dalam pemerintahannya bukan mengikuti metode Rasulullah Saw, melainkan mengambil jalan dengan bekerja sama dalam perjanjian dengan pihak kafir pembenci dan penghambat kebangkitan Islam. AS juga tidak benar-benar hengkang sebab bersama negara-negara sekutunya masih bisa menginterfensi apa yang akan diterapkan oleh Taliban di Afganistan. Bahkan semua yang terjadi adalah hasil dari skenario yang telah di susun dengan rapi.
Kecil kemungkinan bahkan kecil harapan umat Islam atas Taliban untuk mengubah pemerintah ke arah Islam. Taliban tidak dapat dijadikan role model untuk gerakan Islam dalam memperjuangkan Islam kafah. Sebab, Taliban masih mudah terjebak ke dalam berbagai negosiasi serta kesepakatan bersama dengan AS sang tuan imperialis, serta tidak mengambil metode yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Perjuangan Harus Mencontoh Metode Rasulullah Saw.
Rasulullah saw. telah mencontohkan kepada umat Islam langkah-langkah menegakkan negara Islam. Metode tersebut dibagi ke dalam tiga tahapan, (1) pengaderan, (2) interaksi bersama umat, termasuk di dalamnya mencari dukungan dan pertolongan, (3) penerimaan kekuasaan dari pemilik kekuasaan. Inilah sunah Nabi saw. yang menggambarkan tiga tahapan dalam mendirikan negara Islam di Madinah.
Maka Taliban harusnya mencontoh metode Rasulullah saw. tersebut. Bukan justru terikat dengan perjanjian kesepakatan bersama musuh-musuh Islam. Sebab dengan metode tersebut masyarakat akan memiliki pemikiran dan perasaan Islam agar akhirnya mereka memahami pentingnya penerapan Islam secara kafah. Tidak kabur bahkan tidak mengalami trauma layaknya rakyat Afghanistan hari ini saat Taliban kembali berkuasa. Sehingga tentu saja menuntut adanya pembentukan opini umum tentang pemerintahan Islam yang berasal dari kesadaran umum akan penting dan wajibnya menegakkan pemerintahan Islam melalui an-nushrah (dukungan/ pertolongan).
Negara Islam yang akan ditegakkan juga bukan secara regional atau lokal saja, melainkan global. Sebab aturan Islam datang bukan untuk diadopsi secara pribadi oleh suatu wilayah, melainkan diterapkan secara menyeluruh dan merata di lingkup kehidupan kaum muslim dunia.
Islam juga tidak bebas dalam bekerja sama dengan negara-negara kafir. Beda perlakuan pada kafir harbi fi’lan yang sangat nyata permusuhannya terhadap Islam. Seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Israel, Cina, dan negara imperialis lainnya yang melakukan penganiayaan terhadap kaum muslimin serta penjarahan SDA di berbagai wilayah. Sehingga memberlakukan hubungan perang dengan mereka. Haram menjalin hubungan diplomatik, kerja sama ekonomi, pendidikan, perdagangan dan militer dengan negara mereka. Termasuk kerja sama investasi dan hutang luar negeri. Khilafah menutup celah penguasaan umat muslim atas umat lain.
Adapun terhadap kafir harbi hukman boleh diberlakukan kerja sama bilateral sesuai isi teks-teks perjanjian. Hanya saja, dalam ekonomi, tidak boleh menjual senjata atau sarana militer jika dapat memperkuat militer mereka untuk mengalahkan umat Islam. Adapun investasi dan hutang luar negeri tidak bisa dibaca kecuali sebagai metode penjajahan negara kafir harbi terhadap kaum muslimin.
Wallahu A’lam Bissawab
Views: 0
Comment here