Oleh : Wenny Ummu Adzkiya (Pendidik dan Pemerhati Masalah Sosial)
wacana-edukasi.com — Masyarakat seolah sudah jenuh dengan berita tentang Covid-19, bahkan berita duka tentang kematian teman dan kerabat yang selalu terdengar saat pengumuman di masjid dan musholla seolah biasa. Karena tak tau harus bagaimana. Pandemi ini kian merajalela.
Tenaga medis atau kesehatan (Nakes) kewalahan dengan kasus Covid-19. Apalagi untuk memastikan terpapar Covid-19 atau tidak, harus melalui tes PCR dan antigen yang mahal, terutama keadaan ekonomi masyarakat saat pandemi kian terpuruk hingga lebih mementingkan keadaan perut ketimbang kesehatan yang tak terjangkau dengan harga yang kian melambung.
Seperti yang dilansir oleh Detik.com (15/8/21), Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan agar harga tes polymerase chain reaction (PCR) diturunkan. Jokowi meminta agar biaya tes PCR di kisaran Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu. Namun, Sri Mulyani menetapkan uji validitas rapid diagnostic test antigen yang dilaksanakan oleh laboratorium di lingkup Kementerian Kesehatan dikenakan tarif Rp694.000 (Merdeka.com, 13/8/21)
Bahkan dalam akun twitter Tompi menyebutkan,”HARGA PCR atau swab harus semurah-murahnya!!! Negara harus hadir memastikan ini. Kenapa negara lain bisa lebih murah dari kita saat ini? Bukankah beli bayam 100 selalu lebih murah dari beli bayam 10. Ayolah Bisa! Mohon kendalinya Pak @Jokowi”.
Lembaga konsultan layanan penerbangan yang berbasis di Inggris, Skytrax, pun membuat perbandingan harga tes PCR di 70 negara di dunia. Mumbai Airport merupakan bandara dengan harga tes PCR termurah, yakni hanya 8 dollar AS saja atau Rp 115.200 (News Setup, 17/8/21). Nah ternyata ada negara yang bisa memberikan harga tes PCR paling murah. Bagaimana jika dalam sistem pemerintahan Islam apakah persoalan seperti ini termasuk dalam pelayanan negara?
Penanganan Pandemi Dalam Sistem Kapitalis
Untuk keadaan saat ini memisahkan antara yang sakit dan yang sehat harus melakukan tes, diisolasi atau cukup karantina. Pemerintah dituntut aktif berperan agar penyebaran virus Covid-19 ini terkendali dan dapat dihentikan. Namun ternyata peran pemerintah masih lemah jika dibandingkan dengan negara seperti India, yang dapat melakukan pengecekan menyeluruh.
Selama menunggu vaksin, kalau testing dan tracing lemah akan terjadi banyak yang terpapar bahkan berujung pada tingginya angka kematian. Sungguh mengenaskan karena suasana membingungkan itu yang sekarang terjadi.
Parahnya negara masih mengaudit (mengevaluasi) agar lembaga-lembaga penyelenggara tes untuk Covid-19 agar tetap memberikan pemasukan bagi negara. Miris hidup dijaman kapitalis saat hidup sudah susah negara tak meriayah (melayani) karena segala sesuatunya selalu dihitung secara untung dan rugi. Lantas kemana rakyat susah? Tak berhakkah mereka sehat dengan fasilitas negara? Apakah benar jika guyonan di masyarakat bahwa yang miskin dilarang sakit?
Islam Menjamin Kesehatan Rakyatnya
Dalam artikel bertajuk Islamic Medicine History and Current Practice, Husain F Nagamia MD mengungkapkan bahwa sederet rumah sakit baru dibangun dan dikembangkan mulai awal kejayaan Islam. Pada masa itu, tempat mengobati dan merawat orang yang sakit dikenal dengan sebutan ‘Bimaristan’ atau ‘Maristan’.
Seperti rumah sakit Al-Audidi di Kota Baghdad yang didirikan pada tahun 982 M. Nama tersebut diambil dari nama Khalifah Adud Ad-Daulah, seorang khalifah dari Dinasti Buwaihi. Al-Audidi merupakan rumah sakit dengan bangunan termegah dan terlengkap peralatannya pada masanya. Bukan hanya itu, untuk pasien yang dirawat bahkan dibuatkan aliran air agar terasa sejuk dan suara airnya sendiri memberikan kenyamanan agar pasien cepat sembuh (Republika, 23/1/19)
Dalam pemerintahan Islam kesehatan rakyat menjadi prioritas. Dimana negara menjamin rakyat terlayani hingga sehat dengan fasilitas terbaik yang dipunyai oleh negara secara gratis. Tanpa membedakan kelas dalam pelayanan medis. Semua warga yang berada dalam naungan sistem Islam akan mendapatkan pelayan terbaik yang dimiliki negara. Sungguh rakyat dilayani bagai anak sendiri.
Bagaimana kesehatan rakyat akan terjamin jika tak ada pemisahan antara yang sehat dan yang sakit? Lantas bagaimana langkah yang harus diambil? Sedari awal terjadinya wabah harusnya kita dapat mengikuti anjuran Rasulullah SAW :
‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh,” (HR Bukhari dan Muslim).
Cara yang dilakukan Rasulullah SAW tersebut harusnya menjadi teladan sebagai langkah awal untuk menghalau persebaran virus COVID-19.
Andai berada dalam sistem pemerintahan Islam, maka kesehatan rakyat akan menjadi jaminan negara sehingga pembiayaan untuk mengatasi pandemi sudah pasti menjadi tanggungan negara. Tes PCR untuk mengetahui seseorang terpapar atau tidak akan dibiayai negara (gratis) tanpa adanya asuransi kesehatan yang membebani rakyat, begitupun pengobatan bagi yang sakit. Semua terlayani karena negara mengurusi rakyatnya seperti seorang ayah yang melayani anaknya. Karena negara mempunyai baitul mal untuk pembiayaannya, dimana pengelolaan sumber daya alam yang baik merupakan devisa bagi negara. Kemandirian sistem pemerintahan Islam ini patut dibanggakan karena kegemilangannya sudah 14 abad terbukti. Bahkan bukan tidak mungkin jika kita akan dapat mengulang kembali kegemilangan itu.
Siapa yang tidak mau jika urusannya dilayani pemerintah sebaik ayah yang melayani anaknya. Itulah sistem pemerintahan Islam memprioritaskan rakyat dalam pelayanannya. Tanpa pandang bulu, tak menghitung kelas. Semua diperlakukan dengan berkeadilan.
Wallahu a’lam bishawab.
Views: 1
Comment here