Opini

Mural Sebagai Kritik Sosial Dibungkam, Ada Apa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Siti Rima Sarinah

(Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)

Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang melawan penguasa kejam. Ia melarang dan memerintah. Namun, akhirnya ia mati terbunuh.”

(HR ath-Thabrani)

Wacana-edukasi.com — Mural atau grafiti sebagai salah satu karya seni urban yang memanfaatkan tembok atau dinding sebagai medianya. Selain sebagai seni murni, mural biasanya mengandung pesan dari masyarakat urban melalui gaya bahasa visual yang mereka sajikan. Secara umum, bentuk ikon protes terhadap situasi sosial dan politik melalui seni telah di mulai sejak awal abad ke-20 dan telah berkembang hingga sekarang. Di Indonesia, kemunculan mural dapat ditemukan sejak periode revolusi, seperti tulisan-tulisan di gerbong kereta yang berisi seruan upaya propaganda mendukung kemerdekaan sebagai aksi melawan Belanda.

Belakangan viral dibicarakan soal mural bernuansa kritik sosial marak bertebaran di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Dan kini, mural yang merupakan karya seni jalanan mulai menjalar di Kota Bogor. Dilansir oleh Radar Bogor pada 24 Agustus 2021, salah satunya graffiti yang ditemukan berada di kawasan Cilendek Barat berisi tulisan putih dengan latar belakang hitam, “Seniman diburu, Bansos berlalu” terpampang di dinding sepanjang kurang lebih 12 meter. Dan pada akhir Juli lalu di Tangerang muncul mural yang bertulisan “Tuhan, Aku Lapar” yang juga sempat viral di berbagai media.

Pengamat Street Art Bogor, Rully mengakui mural bernuansa kritik sosial memang sedang marak dan tumbuh semakin subur di mana-mana. Pasalnya, para seniman jalanan tidak berhenti menyuarakan kritiknya hanya dengan dihapus. Semakin dihapus, semakin banyak bermunculan karya seni yang sama. Hal serupa diungkapkan oleh Raksa Nasution, seniman mural Kota Bogor, yang menuturkan bentuk kritikan tersebut adalah wahana ekspresi bagi pelaku seni mural jalanan. Menurutnya, penghapusan mural yang berbentuk kritikan tak akan menghapus keadaan dan kesenjangan yang sedang terjadi di daerah tersebut.

Kritik sosial melalui seni jalanan atau mural juga semakin menjamur di kala pemerintah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Hingga muncul mural yang bertulisan “Pelan-Pelan Kita Mati” sebagai reaksi dari kebijakan PPKM darurat yang ditetapkan oleh pemerintah. Seharusnya munculnya berbagai kritik sosial ini membuat pemerintah peka terhadap apa yang dihadapi dan dirasakan oleh rakyat, bukan malah menganggap mural sebagai yang merusak dan melanggar aturan hingga pelakunya harus diburu dan mendapatkan sanksi tegas dari pihak aparat.

Padahal dalam sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Namun mengapa mural yang kontennya berisi kritik terhadap pemerintah dibungkam? Hal ini menunjukkan bahwa, kebebasan berpendapat hanyalah teori demokrasi yang hanya bisa dilakukan oleh “orang-orang tertentu”. Sedangkan rakyat tidak diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya, apalagi jika terkait kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Inilah bukti bahwa demokrasi memiliki standar ganda dalam memberi kebebasan menyampaikan pendapat dan opini yang sesuai dengan kepentingannya dan membungkam opini yang bertentangan dengannya.

Fakta ini menunjukkan bahwa penguasa dalam sistem demokrasi yang mengagungkan kebebasan, justru anti kritik. Kekuasaan yang mereka miliki bukan untuk mengurusi kepentingan rakyat, tetapi sudah berubah menjadi “alat” untuk menyelamatkan kepentingan rezim dan segelintir orang. Suara rakyat hanya mereka butuhkan pada saat pesta demokrasi tengah berlangsung, setelah pesta itu usai rakyat tak memiliki hak untuk bersuara dan diam melihat bagaimana berbagai kezaliman penguasa yang dilakukan kepada rakyatnya.

Menyampaikan kritik kepada penguasa disikapi berbeda dalam pandangan Islam. Kritik sebagai bentuk muhasabah rakyat kepada pemimpinya (Khalifah), merupakan hak rakyat. Dan negara (khilafah) pun menjamin dan melindungi setiap kritik dan aduan rakyat kepada para pejabat negara. Padahal itu bisa berpotensi mencemari nama baik dan karir sang pejabat. Khilafah menjamin rakyatnya tidak akan dikriminalisasi apalagi diproses secara hukum sebagai upaya membungkam mereka.

Islam memposisikan menyampaikan kritik, sebagai salah satu aktivitas mulia yang disejajarkan dengan penghulu syuhada, Hamzah yang melakukan muhasabah kepada penguasa hingga ia dia bunuh. Aktivitas ini disamakan dengan jihad fi sabilillah. Rasulullah Saw bersabda, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang melawan penguasa kejam. Ia melarang dan memerintah. Namun, akhirnya ia mati terbunuh.” (HR ath-Thabrani)

Budaya muhasabah atau kritik inilah yang selalu dihidupkan dalam peradaban Islam dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Rasulullah Saw sebagai uswah terbaik dalam menjaga budaya kritik ini, beliau menerima kritik terhadap kebijakan yang tidak dituntut oleh wahyu. Dalam perang Uhud beliau menyetujui pendapat para sahabat yang menghendaki untuk menyongsong pasukan Quraisy di luar kota Madinah, meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya.

Sikap Rasulullah Saw diikuti para khalifah setelah beliau. Khalifah Abu bakar ra, ketika dibaiat menggantikan Rasulullah Saw., meminta rakyatnya untuk mengkritiknya. Demikian juga Khalifah Umar bin Khattab ra dalam khotbahnya setelah diangkat menggantikan Abu Bakar ash-shiddiq ra, berkata di depan rakyatnya, ”Apa yang akan kalian perbuat jika aku melakukan tindakan yang melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya? Hingga ketiga kalinya beliau mengulangi pertanyaannya, seorang pemuda berdiri sambil mengacungkan pedangnya berkata,”Jika engkau bertindak melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya, maka pedang ini akan kukalungkan ke lehermu.”

Mendengar hal tersebut, Umar bin Khattab bukannya marah, justru berkata Alhamdulillah yang telah menempatkan di negeri ini seseorang yang akan meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya.” Inilah sikap Khalifah dalam menjaga budaya kritik rakyatnya, Karena, Khalifah sebagai pelaksana hukum-hukum Allah adalah manusia yang tak luput dari salah dan khilaf. Oleh karenanya, kritik bukanlah ancaman, bahkan dibutuhkan sebagai standar terhadap kinerja khalifah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Budaya kritik sebagai bagian amar makruf nahi mungkar harus terus dipelihara sebagai bukti kecintaan rakyat kepada pemimpinnya, agar tak tergelincir pada keharaman yang dimurkai oleh Allah Swt. Dan hingga hari ini walaupun aktivitas ini sangat dibenci oleh penguasa kapitalisme, bukan menjadi penghalang bagi umat Islam untuk senantiasa mengopinikan Islam sebagai solusi komprehensif dalam mengatasi berbagai permasalahan umat saat ini. Seraya menunggu Nasrullah-Nya untuk memenangkan agama ini hingga khilafah ala minhajin nubuwwah tegak kembali dengan seizinnya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.

Wallahu a’lam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 39

Comment here