Opini

Islam Memutus Mata Rantai Kejahatan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Ade Rosanah (Tim Kalam)

wacana-edukasi.com — Daya tampung Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Sumedang mengalami over kapasitas untuk menampung narapidana. Over kapasitas sudah mencapai hampir tiga kali lipat dari total kapasitas yang seharusnya (Tribunjabar.id, 18/8/2021). Menurut Imam Sapto sebagai ketua Lapas Kelas II B Sumedang mengatakan, “Daya tampung Lapas kelas II B Sumedang sudah tidak ideal. Saat ini lapas menampung 279 orang narapidana. Seharusnya total kapasitas Lapas hanya menampung 100 orang narapidana. Saat ini satu kamar ditempati 10 orang napi, artinya tinggal berdesak-desakkan di satu ruangan seperti ikan pindang. Idealnya, satu kamar ditempati 5 orang narapidana. Sesuai standar WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) satu orang narapidana menempati ruangan berukuran 2×3 meter” (Tribun Jabar.id, 18/8/2021).

Fakta yang ada menunjukan angka kasus kejahatan mengalami peningkatan di Kabupaten Sumedang. Baik itu kejahatan curanmor, asusila, pembunuhan, dan penyalahgunaan narkoba. Namun saat pandemi, tindak kriminalitas yang mendominasi adalah pencurian dan penyalahgunaan narkoba. Peningkatan kasus kriminalitas ternyata tidak hanya terjadi di kota Sumedang saja, tetapi kejadian serupa terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Sudah menjadi hal yang biasa setiap hari masyarakat disuguhkan berita kriminalitas di televisi lokal maupun nasional.

Hal ini sepatutnya menjadi bahan renungan untuk pemerintah dan instansi yang terkait, seperti kepolisian dan peradilan. Mengapa kasus kejahatan di negeri ini kian meningkat, sehingga Lapas-lapas di Indonesia mengalami over kapasitas. Ternyata jika ditelusuri, maraknya kriminalitas disebabkan tidak terbentuknya ketakwaan individu secara menyeluruh serta pemberlakuan sistem hukum dan peradilan yang tidak efektif di negeri ini. Ketakwaan individu hanya dimiliki sebagian orang saja. Mengapa? Sebab, peran negara yang berwenang membentuk ketakwaan masyarakatnya diabaikan. Sehingga baik atau buruknya kondisi masyarakat saat ini tergantung pada peran negara sebagai institusi yang menerapkan sistem untuk mengatur rakyatnya.

Nyatanya, hingga sekarang negeri ini mengadopsi sistem Kapitalisme Demokrasi Sekuler dari Barat. Sebuah sistem yang lahir dari akal manusia yang melibatkan hawa nafsunya. Sudah dipastikan manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam akalnya. Maka, produk hukum yang dihasilkannya pun memiliki kelemahan dan keterbatasan pula. Kehidupan sekuler yang mengesampingkan Allah Swt. sebagai pengatur kehidupan menjadikan manusia berbuat sesuai hawa nafsunya yang dapat berujung pada tindak kriminal. Sanksi hukuman bagi pelaku kejahatan pun tidak memberikan efek jera. Sistem Kapitalisme Demokrasi memberi celah bahwa hukum bisa dijualbelikan. Asalkan ada harga yang pantas untuk membelinya, seperti penyuapan hakim dan sipir penjara. Tak hanya itu, para tahanan yang memiliki harta dapat mendapatkan fasilitas mewah dalam sel penjaranya.

Sistem hukum dan peradilan yang diterapkan di negeri ini juga terbukti gagal menekan kasus tindak kejahatan yang terus merebak dan mengakibatkan penuhnya penjara. Fungsi lapas sebagai tempat narapidana untuk menyadari kesalahan dan membina para tahanan menjadi orang yang lebih baik ternyata tidak berjalan. Meskipun di dalam lapas diadakan kegiatan bimbingan rohani untuk narapidana, tetapi tidak serta merta membuat mereka berubah. Program bimbingan rohani hanya dijadikan sebuah formalitas dan rutinitas semata. Tidak secara serius dan masif membina ketakwaan para tahanan.

Untuk mengatasi tindakan kriminalitas yang kian marak dibutuhkan sistem hukum dan peradilan yang paripurna. Sistem yang mampu membuat jera pelaku kejahatan. Satu-satunya hukum yang mampu mengatasi permasalahan kriminalitas yaitu dengan hukum syariat Islam. Ketika hukum syariat Islam diterapkan, maka memiliki fungsi sebagai pencegah (jawazir). Artinya, mencegah seseorang untuk melakukan tindak kejahatan. Sanksi yang dijatuhkan seorang hakim (Qadhi) memiliki fungsi yang lain sebagai penebus dosa (jawabir) para pelaku kejahatan. Bagaimana pun setiap dosa yang dilakukan pasti akan mendapat balasan siksa. Karena itu sanksi hukum dalam Islam dapat menjadi penebus dosa.

Pelaku kejahatan diberikan sanksi sesuai dengan syariat. Sistem sanksi (Uqubat) dalam Islam dibagi menjadi empat jenis sanksi, antara lain :
1. Hudud, adalah sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah Swt. seperti hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian.
2. Jinayat, adalah sanksi ketika terjadi penganiayaan fisik. Seperti hukuman qhisas (hukuman setimpal) dan diyat (denda) untuk pelaku penganiayaan atau pembunuhan.
3. Ta’zir, adalah sanksi untuk pelaku kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had (hukuman yang sudah ditentukan oleh hukum syariat) dan kafarat (denda yang wajib ditunaikan karena sudah melakukan suatu perbuatan tertentu yang dilarang oleh Allah Swt). Khilafah yang menetapkan jenis hukuman.
4. Mukhalaf, adalah sanksi yang dijatuhkan bagi para penentang penguasa yang ketentuan hukumannya berada di tangan khalifah.

Ketika hukum syariat diterapkan, maka tidak akan terjadi over kapasitas narapidana seperti sekarang. Ada sanksi-sanksi tertentu bagi para pelaku kejahatan. Penjara dalam Islam merupakan salah satu bentuk dari ta’zir untuk menghukum pelaku kejahatan. Melalui pemenjaraan para pelaku kejahatan akan merasakan efek jera dan tidak akan mengulangi kejahatan yang serupa atau melakukan kejahatan lainnya. Hukum dan peradilan Islam mampu memutus mata rantai kejahatan.

Penjara dalam Islam memberikan rasa cemas dan ketakutan bagi penghuninya. Kondisi ruangan penjara hanya diterangi dengan lampu yang remang- remang, tidak ada alat komunikasi dan juga hiburan. Tetapi, bukan berarti penjara dalam Islam tidak memperlakukan penghuninya secara tidak manusiawi. Para tahanan dibolehkan tidur dan istirahat. Mereka juga mendapatkan kebutuhan pokok seperti makan, minum dan pakaian yang layak dalam jumlah terbatas. Istri tahanan pun bisa didatangkan karena kondisi tertentu.

Selain kebutuhan pokok narapidana terpenuhi, suasana penjara dibuat kondusif untuk para napi beribadah. Melakukan pembinaan pemahaman agama yang menyeluruh untuk para napi. Suatu hal yang wajar ketika sistem hukum dan peradilan Islam diterapkan sempurna menjadikan para narapidana bertobat kembali kepada jalan Islam. Berbanding terbalik dengan nasib para narapidana yang berada dalam sistem Demokrasi Sekuler, hidupnya sengsara. Menghuni ruangan dan makanan yang tak layak. Sistem peradilan sekuler tidak memperlakukan tahanan secara manusiawi serta tidak memiliki keefektifan untuk mendorong para narapidana bertobat.

Maka, untuk mengembalikan fungsi hukum dan peradilan sesuai syariat memerlukan penerapan Islam secara kaffah oleh negara. Karena negara memiliki wewenang dalam menerapkan suatu aturan dan hukum. Menerapkan aturan dan hukum syariat Islam secara sempurna dengan menegakan kembali institusi Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahua’alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 35

Comment here