Wacana-edukasi.com — Kabar mengejutkan datang dari dunia pendidikan bahwa pendanaan BOS reguler menuai protes dari pihak aliansi organisasi pendidikan. Hal ini akan memicu terjadinya kesenjangan pendidikan karena pendanaan BOS reguler disalurkan untuk sekolah yang memenuhi syarat minimal mempunyai siswa sebanyak 60 anak. Padahal banyak sekolah yang mempunyai murid berjumlah sedikit tetapi butuh akses pelayanan pendidikan.
Dilansir Republika.co.id, Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan yang merupakan gabungan dari organisasi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan juga organisasi pendidikan, menilai aturan terkait dasar perhitungan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler, yang salah satunya harus memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir, diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial. Aliansi menyatakan menolak aturan tersebut dan meminta pemerintah mencabut ketentuan tersebut.
“Bertolak belakang dengan amanat pembukaan UUD 1945, bersifat diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial,” ujar Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Kasiyarno, saat membacakan pernyataan sikap aliansi secara daring , Jumat (3/9).”
Salah satu kewajiban negara adalah memfasilitasi akses pelayanan pendidikan untuk semua individu masyarakat, tidak memandang ras ataupun suku, tidak melihat sekolah berjumlah mayoritas ataupun minoritas, di desa ataupun kota. Namun faktanya banyak sekolah yang butuh perhatian penuh ,anak bangsa tidak mendapatkan pendidikan yang cukup dikarenakan biaya pendidikan mahal , bukankah pemerintah memperparah keadaan dengan mengeluarkan kebijakan yang membatasi terkait pendanaan BOS yang hanya disalurkan untuk sekolah yang sesuai kriteria tersebut? Sekolah adalah tempat yang penting bagi murid yang sedang menimba ilmu, jika sarana dan prasana tercukupi maka tertunaikan pula tugas sebagai peran negara melaksanakan amanat konstitusi dalam bidang pendidikan. Negara yang berasaskan sekuler akan selalu gagal dan takkan mampu melayani kebutuhan rakyatnya karena buruknya sistem yang diemban.
Berbeda dengan halnya Islam yang mengajarkan bagaimana negara atau khilafah berperan sebagai regulator mengurusi semua kebutuhan umatnya.
Contoh perkembangan ilmu pendidikan Islam pada masa Abbassiyah telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan baru sehingga bisa mengubah dan mempengaruhi pola hidup masyarakat, tidak hanya muslim bahkan nonmuslim pun meminatinya. Harun Ar-Rasyid adalah kepala negara yang layak dijadikan tauladan tentang kecintaan ilmu pengetauan, beliau selalu memotivasi dan memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan ilmu,sehingga rakyat termotivasi untuk menghasilkan karya-karya baru. Di era Utsmaniyah misalnya, Muhammad Al-Fatih selaku menjabat pemimpin negara beliau menggratiskan rakyatnya untuk bersekolah, tidak memandang muslim ataupun nonmuslim mereka tetap mendapatkan hak sebagai warga negaranya.
Itulah gambaran jika Islam diterapkan secara kaffah tidak ada lagi kebijakan yang menzalimi umat selagi kebijakan tidak berlawanan dengan syariah. Saatnya kita sadar untuk bangkit bahwa institusi negara yang salah tidak akan membawa ketentraman, pentingnya suatu perubahan yang hakiki menuju kemenangan sejati, yakni kembali menerapkan institusi ala Nabi.
Roida Erniawati
Views: 20
Comment here