Oleh Mahrita Julia Hapsari
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
Wacana-edukasi.com — “Tak ada teman abadi. Tak ada lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan yang abadi.”
Pepatah tersebut seakan menampakkan kebenarannya pada kondisi politik saat ini. Partai Amanat Nasional (PAN) yang semula berposisi sebagai oposisi kini bermanuver. PAN resmi bergabung dengan partai politik (parpol) koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Jubir PAN mengungkapkan bergabungnya PAN ke partai koalisi adalah demi perjuangan politik. Perjuangan untuk membawa kebaikan dan memberi manfaat kepada masyarakat, bangsa dan negara. Ketum PAN mengungkapkan tugas PAN sebagai penjembatan pemerintah. Sebab selama ini ada anggapan Presiden Jokowi jauh dari Islam (merdeka.com, 31/08/2021).
Internal partai bisa membuat seribu alasan atas pilihan sikapnya. Pengamat politik juga boleh membaca maksud manuver aksi politiknya. Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Ujang Komarudin memprediksi akan ada jatah satu kursi menteri untuk PAN dan yang digeser adalah menteri yang non partai. Hal senada disampaikan oleh pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio (tribunnews.com, 27/08/2021).
Sedikit berbeda, Pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi menilai keputusan PAN bergabung dengan partai koalisi sebagai upaya keluar dari bayang-bayang Amien Rais. Sikap dan pendapat Amin Rais yang berseberangan dengan Jokowi dinilai menyebabkan kemunduran PAN pada saat elektoral (cnnindonesia.com, 27/08/2021).
Kini, jelang 2024 PAN perlu satu kursi menteri untuk menunjukkan kinerja pada rakyat, untuk mengambil hati rakyat. Sebab kalau hanya duduk di parlemen, yang terlihat hanya kerja kolektif, tentu tak cukup meyakinkan rakyat. Sementara, untuk bisa duduk di kursi empuk, suara rakyat sebagai penentu.
Bukan hanya PAN yang akan mewujudkan kepentingannya. Kubu koalisi pun akan mudah menggolkan setiap keinginannya. Dukungan di parlemen semain kuat pada Jokowi. Bergabungnya PAN akan membuat tujuh partai politik di parlemen berada di pihak Jokowi. Artinya, Jokowi mengamankan dukungan 471 kursi di DPR RI. Jumlah itu sama dengan 81,7 persen suara di parlemen.
Dengan 471 kursi, hanya perlu 3 kursi saja untuk bisa memenuhi kuorum. Kuorum yang harus dipenuhi untuk sidang tentang amandemen UUD 1945. Ya, wacana amandemen UUD 1945 menguat, terutama berkaitan dengan perpanjangan masa jabatan presiden. Meskipun Jokowi sudah menolak untuk 3 periode, namun siapa yang tahu. Apalagi jika amandemen UUD 45 benar-benar terjadi.
Koalisi Partai Politik dalam sistem Demokrasi
Syahwat kekuasaan menjadi landasan aktivitas partai politik di sistem demokrasi. Fungsi aspirasi pun menjadi buntet atau mandul. Lebih-lebih jika berada di kubu pemerintah. Yang ada hanya “yes, Sir” dan “Siap, Pak”. Puja-puji menjadi santapan sehari-hari. Bela ini-itu dan sana-sini meskipun telah nampak kesalahannya.
Mendukung semua program, kebijakan dan peraturan yang dibuat pemerintah sekalipun rakyat menolaknya. Lihatlah UU Omnibus Law. Sekalipun seluruh elemen rakyat menolak, sebab isinya lebih banyak menguntungkan kapital dan menyengsarakan rakyat. Tetap saja diketok palu oleh para anggota DPR. Ironisnya, mereka menamakan dirinya wakil rakyat.
Politik di sistem demokrasi hanya sebatas meraih kekuasaan. Asas sekularisme membuat para politikus menghalalkan segala cara saat berpolitik. Saat individu dengan mind set politik ala demokrasi ini berkumpul membentuk partai, maka fungsi partai menjadi kendaraan menuju singgasana kekuasaan.
Idealisme partai politik seperti itulah yang menuntut untuk koalisi. Ketika perolehan suara di Pemilu masih sedikit, berkoalisi adalah opsi untuk menjadi besar dan menguasai parlemen. Fungsi legislasi berpeluang besar sebagai daya tawar legislatif ke eksekutif.
Diduga kuat, semua draf RUU akan berjalan mulus jika parlemen didominasi oleh koalisi. Sebagai balas budi, eksekutif akan meletakkan person parpol yang tergabung dalam koalisi di jajaran menterinya. Tak ada makan siang yang gratis.
Fungsi parpol pun menjadi semakin kabur, selain menyambangi konstituen jelang pemilu. Berbagi sembako, cenderamata, hingga fulus, tak lupa dengan mulut yang penuh dengan janji manis. Semua cara dilakukan demi mengambil hati rakyat. Ah bukan, demi melenggang ke kursi singgasana. Sungguh pragmatis.
Koalisi Partai Politik dalam Islam
Berbeda dengan Islam. Pembentukan partai politik berasaskan akidah islam. Yaitu dalam rangka memenuhi seruan Allah SWT dalam QS surah Ali Imran ayat 104. “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Di atas ideologi Islam, satu-satunya ideologi yang benar, partai pun bergerak melakukan tugasnya. Parpol akan meningkatkan taraf berpikir politik umat, sehingga umat memahami bagaimana semestinya urusannya diatur oleh Islam. Memahami bahwa kewajiban negara mengurusi umat dengan syariat islam. Parpol dalam islam juga berfungsi menyampaikan aspirasi umat ke penguasa.
Tak ada fungsi legislasi di parpol Islam. Sebab kedaulatan hanya ada di tangan Allah SWT. Kewajiban negara mengadopsi syariat islam dalam menjalankan tugasnya.
Landasan keimanan melahirkan sikap yang senantiasa terikat pada hukum Allah SWT. Ini yang dimiliki individu anggota parpol. Maka parpol, meskipun berkoalisi, takkan sibuk dengan bagi-bagi jabatan dan menghalalkan segala cara. Sebaliknya, parpol hadir untuk mengoreksi penguasa dan memastikan terlaksananya syariat Islam dalam pengaturan negara.
Wallahu a’lam bishowab
Views: 4
Comment here