Opini

Kesenjangan Nyata antara Pejabat dan Rakyat

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Elia Iwansyah Putri ( Aktivis Dakwah, Mahasiswi)

wacana-edukasi.com — Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Itulah jargon yang cocok untuk kondisi di negeri saat ini pasalnya selama pandemi melanda, jumlah orang miskin dan orang kaya sama sama bertambah banyak. Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi di negeri yang menjunjung kesejahteraan sosial ini?

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin mencapai 27,54 juta. Masyarakat tersebut hidup di bawah garis kemiskinan hingga kuartal 1-2021. Jumlah orang miskin bertambah sebanyak 1,12 juta dibanding data Maret 2020 dulu, atau saat pandemi baru mulai melanda Indonesia. Tolak ukur penduduk miskin mengacu pada masyarakat yang hidup di bawah angka garis kemiskinan per Maret 2021, dengan batas pendapatan Rp. 472.525 per kapita per bulan (merdeka.com, 16/07/2021)

Ketika rakyat menjerit karena pandemi tak kunjung usai, semua bidnag terpuruk, hingga bertambahnya jumlah orang miskin di negeri ini. Pada waktu yang bersamaan atau masih saat pandemi jumlah orang kaya di Indonesia bertambah banyak.

Data terbaru yang dilansir Credit Suisse dan Financial Times mencatat bahwa jumlah orang Indonesia yang memiliki kekayaan lebih dari USD 1 juta atau setara Rp. 14,49 miliar sebanyak 172.000 orang pada tahun 2020. Ada penambahan 62,3 5 dbanding tahun 2019, tak terkecuali pejabat negara yang mengalami kenaikan kekayaan, selama pandemi. (merdeka.com, 16/07/2020)

KPK mengungkap 70,3% harta pejabat negara naik selama pandemi, data ini diperoleh dari laporan hasil analisis terhadap kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada periode 2019-2020. Kenaikan paling banyak adalah pada instansi kementerian dan DPR yang mencapai Rp. 1 miliar, sedangkan di tingkat legislatif dan eksekutif daerah, penambahannya masih di bawah Rp.1 miliar. (CNN Indonesia, 07/09/2020).

Kondisi ini menunjukan perbedaan yang sangat signifikan bahwa pejabat negara bertambah kaya ditengah kondisi ekonomi rakyat yang terpuruk, ketika rakyat tercekik karena pandemi sedagkan pejabat negara sibuk memperkaya diri. Bagaimana bisa terjadi ? Apakah betul kenaikan jumlah kekayaan karena usaha bisnis yang mereka jalankan? Inilah yang membuat publik bertanya-tanya.

Baru-baru ini terungkap pengakuan lugas wakil rakyat yang menerima gaji dan tunjangan yang nilainya mencapai miliaran rupiah per tahun, ada beragam alasan yang disodorkan dihadapan rakyat. Namun yang tidak bisa ditolerir, mengapa kesejahteraan rakyat juga tak kunjung membaik? Apakah tunjangan tidak cukup meningkatkan empati, bukan sekedar menerima aspirasi tanpa bukti yang berarti.

Demokrasi Kapitalis Penyebab Kesenjangan

Fakta tersebut menggambarkan potret kehidupan dalam sistem pemerintahan demokrasi yang digadang menjamin keadilan dengan para wakil rakyat yang harapnnay mewakili rakyat. Namun malah justru keadaan jauh dari sejahteraan yang ditawarkan.

Demokrasi yang sering kita sorakan di negeri ini justru ternyata sumber masalahnya. Demokrasi kacau bukan karena tidak mampu mengatur namun akibat para pemangku jabatan yang sewenang-wenang dalam menggunakan jabatannya terutama dalam mewakili rakyat, apa itu yang dinamakan demokrasi? Ketika rakyat dan pejabat mempunyai kesenjangan sosial yang sangat tinggi.

Para pejabat yang kapitalistik (ingin meraup untung sebanyak banyaknya) tak pernah memikirkan nasib rakyatnya bahkan disaat pandemi. Mereka sibuk menambah kekayaan. Ada beberapa hal yang membuktikan bahwa sistem demokrasi kapitalis menyebabkan kesenjangan antara rakyat dengan pejabat negara menurut ustadzah Chusnatul Jannah (15/09/2021)

Pertama, demokrasi yang menjadikan pemilu sebagai sarana memilih wakil rakyat yang dengan ini membutuhkan banyak modal untuk bisa terpilih, maka konsekuensinya harus mengenbalikan modal, entah kemudian menjadi bisnis atau ada gaji-gaji yang dibuat sedemikian rupa untuk menambah pundi kekayaan untuk mengembalikan modal pemilu yang telah digelontorkan.

Maka pendapatan besar adalah tuntutan untuk mengembalikan modal, sehingga tak sempat memikirkan rakyat. Baik pundi-pundi untuk partai atau untuk dirinya. Maka yang dipirkan adalah uang bukan rakyat. Rakyat bukan jadi fokus utama para wakil rakyat. prinsip balik modal inilah yang sering kali menjadi pintu gerbang korupsi.

Kedua, sistem demokrasi kapitalis berasas kebebasan hak milik sehingga kebebasan ini yang dijadikan alasan bahwa kekayaan bisa didapatkan dari mana saja. Entah merangkap jabatan, atau sambilan jadi pengusaha atau memiliki aset yang mengandung hajat hidup orang banyak.

Hak kepemilikan untuk memperkaya diri ini dilindungi sistem demokrasi dengan dalih kebebasan. Hasilnya, demokrasi kapitalis menyuburkan praktek korupsi, suburya kekayaan pejabat, namun rakyat semakin miskin akiba pejabat.

Ketiga, karena kurangnya empati dan kepedulian pejabat kepada rakyat yang telah memilihnya. Menjabat bukan lagi diemban sebagai amanah untuk melayani rakyat yang kelak dihisab malah justru mereka minta dilayai, digaji dengan pajak rakyat, tetapi bukan kepada rakyat mereka berpihak. Rakyat yang sudah sekarat masih dibebani dengan biaya pajak, pendidikan, kesehatan, kebutuhan pokok yang semakin mahal.

Keempat, penerapan sistem demokrasi kapitalis pasti melahirkan kesenjangan ekonomi, menciptakan kesenjangan ekonomi yang sangat signifikan, dalam artian yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Sehingga sulit tercapai kesejahteraan rakyat di negeri demokrasi kapitalis, hanya sebatas jargon yang terus disorakan. Inilah bukti sistem demokrasi membuka pintu bagi pejabat dan segelintir elit memperkaya diri sedangkan rakyat tertutup akses sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Islam Punya Solusi

Bukan hanya mengatur ibadah saja tetapi Islam juga dapat mengatur problematika kehidupan, karena aturannya yang bersumber langsung dari Al Khaliq. Nyatanya memang selama peradaban Islam memimpin pada kejayaannya dimasa kekhilafahan seluruh rakyat hidup sejahtera.

Menurut ustazah Chusnatul Jannah ada beberapa langkah preventif yang Islam tawarkan agar tak terjadi pejabat yang hobi menimbuun kekayaan.

Pertama, dilakukannya pengontrolan dan pengawasan negara kepada para pejabat agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, dengan cara mengontrol harta kekayaan pejabat secara berkala.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, setiap kali beliau mengangkat pejabat di suatu wilayah, ia mewajibkan untuk menghtung kekayaan pejabat sebelum dan sesudah diangkat sebagai pejabat, apabila kekayaannya bertambah dengan jumlah tak wajar.

Umar akan memerintahkannya untuk memasukan kelebihan hartanya itu ke kas negara (khazanatul-daulah). Sikap Umar ini sebagai petunjuk bahwa dalam menjabat, seorang pejabat harus benar-benar adil dalam mengemban amanah.

Kedua, membina keimanan dan ketakwaan pejabat agar paham bahwa apa yang dia emban adalah amanah yang kelak akan dipertanggugjawabkan dihadapan Allah SWT.

Ketiga, masyarakat ikut mengawasi dan mengontrol keberlangsungan pemerintahan agar berjalan efektif, seperti yang dilakukan pada zaman khilafah dimana adanya majelis umat guna melakukan koreksi dan saran kepada khalifah dan jajarannya.anggota Majelis Umat adalah orang-orang yang dipercaya umat menyampaikan kritik dan saran.

Semua ini hanya bisa dijalankan pada sistem politik Islam yang akan mengurusi urusan rakyat, sistem politik seperti ini hanya bisa diterapkan pada sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah.

Terbukti bahwa Islam bukan hanya mengatur urusan Ibadah tetapi juga sampai ke ranah negara, yaitu dengan menerapkan Islam kaffah dengan tegaknya khilafah kembali, sehingga tidak ada lagi penumpukan harta oleh para pejabat yang belum jelas asal usul kenaikan harta yang luar biasa setelah menjabat sebagai pejabat negara.

Wallohu alam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 55

Comment here