Oleh : Ira Rahmatia
wacana-edukasi.com– Akhir-akhir ini kekerasan seksual kembali trending di negeri mayoritas muslim. Seolah mengabarkan bumi pertiwi sedang tidak baik-baik saja. Sebagian masyarakat berjuang mengais rezeki untuk makan sehari-hari sedang sebahagian lainnya disibukkan dengan hawa nafsu yang terus mereka perturutkan.
Dilansir dari CNN Indonesia, periode Januari – Juli 2021 jumlah kekerasan terhadap perempuan berjumlah 2.500 kasus. Angka ini melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus.(19/8/2021)
Dengan banyaknya kasus tersebut, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan meminta Baleg DPR RI melakukan enam penyempurnaan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Penyempurnaan itu perlu dilakukan Komnas Perempuan demi menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dialami korban kekerasan seksual (CNN Indonesia, 10/9/2021)
Pada saat yang sama, sejumlah organisasi masyarakat meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tidak mengganti nama RUU kekerasan seksual (PKS) menjadi tindak pidana kekerasan seksual (TPSK). Karena disebutkan RUU PKS memiliki tiga sasaran utama. Pertama, dapat mencegah segala bentuk kekerasan seksual, kemudian dapat menangani, melindungi, dan memulihkan korban. Kedua, dapat menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Adapun yang terakhir adalah dapat menindak dan memidanakan pelaku seperti yang tercatat dalam modul Komnas Perempuan. (IDN TIimes, 11/9/2021)
Dari fakta peningkatan kasus kekerasan seksual dan silih bergantinya nama RUU tersebut tidak ada jaminan Indonesia bebas dari Kekerasan Seksual jika akar permasalahannya tidak diatasi dengan tepat.
Akar Permasalahan Kekerasan Seksual
Akar permasalahan yang pertama ialah kebebasan berperilaku yang bersumber dari sistem sekuler Demokrasi. Demokrasi merupakan buah sistem sekuler yang tidak mengingkari eksistensi agama, namun ia menghapuskan peran agama dalam mengatur kehidupan bernegara. Demokrasi memiliki beberapa pilar kebebasan yakni, kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan kebebasan berperilaku.
Dalam salah satu buku Abdul Qadim Zallum disebutkan bahwa kebebasan bertingkah laku artinya adalah kebebasan untuk lepas dari segala macam ikatan dan kebebasan untuk melepaskan diri dari setiap nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan.
Kebebasan bertingkah laku juga berarti kebebasan untuk memporak-porandakan keluarga dan untuk membubarkan atau melestarikan ikatan keluarga. Kebebasan ini merupakan kebebasan yang telah menimbulkan segala kebinasaan dan membolehkan segala sesuatu yang diharamkan.
Fakta ini bisa kita lihat dari masyarakat barat yang banyak terjerumus dalam kebebasan berperilaku layaknya binatang dan kini banyak pula diadopsi oleh kaum muslim. Sehingga, kekerasan seksual terhadap perempuan juga dilandasi karena kebiasaan kebebasan ini yang akhirnya kebablasan.
Yang kedua ialah sistem Kapitalisme yang menjaring keuntungan melalui media.
Sifat masyarakat Indonesia yang konsumtif menjadi ladang keuntungan bagi para kapitalis mempropagandakan kebebasan melalui berbagai media. Baik melalui televisi, novel, dan sejumlah aplikasi-aplikasi media sosial lainnya yang tak pernah dipantau penggunaannya.
Penyiaran berbagai aksi yang yang mengundang syahwat menjadi hal biasa yang berlalu lalang di berbagai media. Itulah yang menarik perhatian sebagian kaum Adam menikmati konten-konten yang ada di media. Akhirnya kebebasan dibiarkan sebebas-bebasnya tergantung bagaimana individu-individu di dalam negeri membentengi diri dengan serbuan propaganda itu. Bagi yang lemah iman, pastilah akan mudah tergoyah imannya dan seketika mencari mangsa untuk memuaskan hasrat seksualnya. Tak peduli lagi pada siapa hendak di salurkan. Akibatnya kekerasan seksual seperti pemerkosaan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.
Inilah potret kapitalisme menjaring rupiah tanpa adanya batasan kepemilikan harta. Menjadikan diri mereka rakus akan harta tanpa mempedulikan generasi hancur akibat kepentingannya.
Ketiga, Kurangnya Penjagaan akidah dari Negara. Akidah yang rapuh juga menjadi dasar bagi para pelaku menjalankan aksinya. Tak ada pengingat dalam dirinya saat hendak berbuat. namun, tak bisa disalahkan sepenuhnya pada individunya karena keluarga, masyarakat dan negara memiliki peran untuk membangun akhlak dan moral manusi sejak dini.
Dalam Islam, empat kebebasan sebagaimana dalam demokrasi itu tidak ada, karena seorang muslim wajib mengikatkan diri dengan hukum syariat dalam seluruh perbuatannya dan tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya. Kemudian, penguatan Akidah ditopang oleh negara. Negara wajib menjaga akidah masyarakat dari pemikiran-pemikiran asing yang rusak. Di samping itu negara akan memberdayakan para pemudanya untuk mengelola sumber daya alam yang mebutuhkan banyak tenaga kerja, atau mewajibkan pemudanya mengikuti pelatihan militer saat berusia 15 tahun keatas. Sehingga terciptalah pemuda-pemuda yang sibuk dalam hal yang bermanfaat sejak dini sehingga mereka harus diarahkan dengan jelas untuk mensejahterahkan keluarganya juga negara.
Mereka takkan dibiarkan berleha-leha dengan hal-hal yang tidak berguna, pemerintah akan membangun pemuda-pemuda yang produktif. Begitupun dengan para pemudi yang di jaga izzah dan Iffahnya dengan tidak membiarkan dirinya bebas mengekspos diri dalam hal tidak bermanfaat yang dapat memberi peluang bagi hidung belang merusak kehormatannya. Negara akan menjamin kebutuhan wanita jika tidak ada kerabat dekat yang tak lagi mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Para janda juga para yatim akan menjadi tanggung jawab negara untuk dijaga dan menghidupinya sehingga mereka tak berfikir liar untuk mencari solusi di luar Islam seperti menjadi wanita penghibur hanya untuk menghidupkan diri dan anak-anaknya. Terakhir, para pelaku seks bebas, kekerasan seksual akan di berikan sanksi yang tegas, yang mampu memberikan efek jera kepada pelaku yang disaksikan oleh kaum muslim.
Akhirnya, masyarakat akan takut juga melakukan hal yang sama. Contohnya, apabila yang berzina itu adalah lelaki atau wanita belum menikah maka akan di berikan hukuman cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun dan bagi pelaku yang sudah menikah akan di rajam hingga mati. Begitulah potret, masyarakat Islam yang memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang terikat dengan Islam sehingga memunculkan generasi yang taat, yang bermanfaat bagi ummat. Pemuda penggerak perubahan yang mampu menabur kesejahteraan. Bukan menjadi perusak mental generasi sebagai mana yang terjadi dalam sistem sekuler kapitalis seperti ini.
Wallahualam a’lam bissowab
Views: 9
Comment here