Oleh Asyifa’un Nisa (Mahasiswa Pascasarjana dan Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com– Siapa sangka mendapat julukan sebagai negara maritim nyatanya tak membuat Indonesia lepas dari jeratan impor garam. Bahkan berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang no 2 di dunia setelah Kanada, yaitu sekitar 95.181 km. Tentunya ini merupakan salah satu potensi besar dari berbagai potensi alam yang dimiliki Indonesia. Namun sayangnya hingga saat ini Indonesia masih saja bergantung pada produksi garam asing dalam mencukupi kebutuhan domestik.
Data BPS melaporkan bahwa sepanjang tahun 2020 Indonesia telah melakukan impor garam sebesar 2,61 juta ton, dengan nilai impor mencapai 97 juta dollar AS yang mana angka ini meningkat dari tahun 2019 (kompas.com). Sedangkan untuk tahun ini pemerintah mengeluarkan keputusan yang disampaikan langsung oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang bahwasanya akan membuka keran impor garam sebesar 3,07 juta ton, angka ini akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah impor garam. Pemerintah menyebutkan alasan meningkatkan kuota impor garam tahun ini dikarenakan ketidakmampuan produksi dalam negeri memenuhi permintaan domestik baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Tentunya ini merupakan alasan klasik yang tiap tahun selalu digaungkan di negeri yang terkenal dengan julukan “maritim” ini.
Wacana pemerintah untuk mencapai swasembada garam nyatanya tidak pernah beriring dengan realisasi. Bahkan setiap tahunnya kuota impor semakin meningkat, Indonesia masih sangat bergantung dengan Australia yang menjadi negara utama pengekspor garam. Disisi lain motivasi para petani garam sudah terlanjur sirna akibat kebijakan impor di awal tahun 2021. Menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI), Muhammad Jakfar Sodikin, kepada CNBC Indonesia, Selasa (20/4/2021) mengatakan motivasi petani garam sudah menurun untuk melakukan produksi, sehingga ada beberapa tambak yang sudah tidak produksi. Ini semua disebabkan oleh kebijakan impor diawal tahun 2021, yang mana petani Indonesia baru bisa mulai memproduksi di saat puncak musim kemarau. “Jadi begitu pasar dibanjiri barang impor apakah ada jaminan membeli produksi garam rakyat? Sementara kebutuhan pasar sudah tercukupi dari impor garam,” kata Jakfar.
Hal ini tentu sangat disayangkan dengan potensi alam Indonesia yang begitu melimpah, tidak menjadikan negara ini berdikari melainkan malah semakin bergantung pada pasokan negara asing. Inilah wujud nyata pemerintahan yang berlandaskan kapitalisme, alih-alih memanfaatkan potensi alam dan mendorong kualitas serta kuantitas produksi domestik, pemerintah justru semakin menyuburkan kebijakan impor yang pastinya membunuh petani garam lokal secara perlahan. Bahkan kondisi petani garam kian terpuruk, motivasi mereka melakukan produksi semakin terkikis dengan banyaknya garam impor yang tentunya membuat harga garam dipasaran anjlok. Belum lagi permasalahan distribusi garam terkait mahalnya biaya transportasi hingga ketidakmampuan menjangkau pasar.
Polemik ini merupakan masalah sistemik yang hanya mampu disolusikan dengan perubahan sistem, yaitu mencampakkan sistem kapitalis neoliberal yang meniadakan peran pemerintah. Kebijakan yang ditetapkan pemerintah tidak hadir sebagai solusi bagi petani, melainkan pemerintah hanya menjadi regulator penghubung antara kebutuhan rakyat dengan para korporasi bukan sebagai periayah rakyatnya. Silih bergantinya kebijakan tak pernah menjadi angin segar bagi masyarakat terlebih para petani, kebijakan dibuat sebagai karpet merah bagi para korporasi dan pemilik modal untuk menguasai sektor-sektor vital di Indonesia. Hal ini tentu jauh berbeda dengan sistem pengaturan Islam yang terikat sepenuhnya dengan syariat Islam.
Sistem Islam dalam bingkai khilafah ditopang oleh sistem ekonomi dan politik Islam yang mampu mewujudkan peran pemerintah sebagai ra’in (pelayan) serta junnah (perisai) yaang akan melindungi rakyatnya. Negara hadir sebagai penanggungjawab utama terselenggaranya sistem produksi, distribusi hingga konsumsi yang memihak terhadap kepentingan masyarakat. Peningkatan produksi dalam negeri ditopang dengan sarana dan prasarana yang memadai serta mampu memanfaatkan berbagai potensi alam yang ada. Sistem ini juga meminimalisir adanya intervensi asing dalam pengaturan dalam negeri, karena negara tidak terikat dengan berbagai perjanjian internasional yang menjerat seperti hari ini. Seorang khalifah dan seluruh jajaran pemerintahan wajib memberikan fokus perhatian terhadap kemaslahatan rakyat. Sebagaimana pesan yang pernah dituliskan oleh Khalifah Umar bin Khathab kepada Abu Musa Al Asy’ari yang menjabat sebagai gubernur di Bashrah kala itu, yang isinya
“Amma ba’du, sesungguhnya para pengurus (urusan umat) yang paling bahagia di sisi Allah adalah orang yang membahagiakan rakyat yang diurusnya. Sebaliknya, para pengurus urusan umat yang paling sengsara adalah orang yang paling menyusahkan rakyat yang diurusnya. Berhati-hatilah kamu, agar tidak menyimpang, sehingga para penguasa dibawahmu menyimpang” (Abu Yusuf, al-Kharaj hal.15)
Maka sudah sepatutnya kita beralih kepada pengaturan syariat Islam yang sempurna dalam bingkai khilafah, tanpa lagi memandang sistem lain yang belum jelas bahkan cenderung membawa pada kesengsaraan.
Hadanallah waiyyakum, Wallahu a’lam bishawwab.
Views: 8
Comment here