Oleh : Siti Alfina, S. Pd (Pemerhati Pendidikan)
wacana-edukasi.com– Hampir 3 semester berlalu sekolah-sekolah ditutup dan peserta didik belajar dari rumah atau sering juga disebut pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal ini dikarenakan kondisi akibat pandemi yang belum memungkinkan untuk dilaksanakan pembelajaran tatap muka di sekolah. Kekhawatiran akan meningkatnya penularan Covid-19, adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) serta masih sedikitnya persentase vaksinasi yang dilakukan oleh masyarakat sehingga keputusan PJJ masih menjadi pilihan.
Dengan adanya PJJ ini menimbulkan dampak negatif yang tak terelakkan khususnya bagi guru, peserta didik dan orangtua. Menurunnya kualitas pendidikan generasi, hilangnya semangat belajar, melemahnya kedisiplinan dan tanggungjawab ketika mengerjakan tugas menjadi momok bagi siswa. Sedangkan kurangnya kapabilitas guru dalam menggunakan media online serta sulitnya mengukur pencapaian hasil belajar siswa juga menjadi hambatan bagi pengajar.
Sementara bagi orangtua juga muncul permasalahan baru karena ketidakmampuan mereka untuk mengajar dan sedikitnya kesempatan untuk mendampingi anaknya belajar di rumah sehingga kegiatan belajar-mengajar pun menjadi aktivitas yang tidak menyenangkan, membosankan, bahkan seringkali berujung pada perasaan tertekan.
Namun setelah memasuki Tahun Ajaran baru 2021/2022 peserta didik sudah bisa bersekolah kembali dengan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas khusus di wilayah yang sudah menerapkan PPKM level 1,2 dan 3 secara bertahap dan tentu dengan protokol kesehatan yang ketat. Hal ini disetujui sesuai regulasi Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 4 Menteri yaitu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Menteri Kesehatan tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) tertanggal 30 Maret 2021.
Kekhawatiran akan ketertinggalan pendidikan_(learning loss) peserta didik dan dampak permanen yang ditimbulkan dari PJJ inilah yang menjadi pegangan Nadiem Makarim dalam mendorong dan mempercepat terwujudnya kebijakan PTM terbatas. (Kompas.com, 29/9/2021).
Sementara menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, setidaknya ada tiga alasan utama yang menjadi dasar bagi pemerintah dalam pelaksanaan PTM terbatas ini, yaitu guna menghindari ancaman putus sekolah, menghindari penurunan capaian belajar anak dan untuk menghindari resiko psikososial (psikis dan sosial) anak selama PJJ(News.detik.com, 4/9/2021).
Klaster Sekolah Harus Segera Dicegah
Merilis informasi terbaru sejak pelaksanaan PTM terbatas tercatat sebanyak 1.303 sekolah menjadi klaster Covid-19. Data dihimpun oleh Kemendikbud melalui survei di situs _sekolah.data.kemendikbud.go.id_ dengan sebaran persentase klaster per Kamis (23/09/2021) dari jenjang pendidikan PAUD 1,91% ; SD 2,77% ; SMP 3,42%; SMA 4,55% ; SMK 3,07% dan SLB 3,27%. Sedangkan lima wilayah dengan klaster Covid terbesar yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT dan Sumatera Utara. (detik.com, 24/9/2021).
Berpedoman pada data yang dihimpun bahwa klaster Covid-19 di sekolah masih relatif rendah maka Mendikbudristek memberi tanggapan PTM terbatas akan tetap dilanjutkan. Hanya sekolah yang menjadi klaster Covid saja yang akan dihentikan sampai kembali aman untuk dilakukan PTM terbatas.
Hal yang sama juga dilontarkan oleh Dirjen PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah Kemendikbudristek Jumeri mengatakan klaster Covid di sekolah yang terjadi hanya di atas 2 persen sehingga resiko bahayanya tidak sebesar yang ditakutkan. Beliau juga mengingatkan agar pihak sekolah untuk melakukan prokes yang lebih ketat dan akan mencabut izin pelaksanaan PTM jika terbukti melanggar prokes, ujarnya dalam webinar daring Kamis (9/9). (Suara.com, 9/9/2021).
Walaupun data ini akhirnya menimbulkan polemik dan miskonsepsi, pihak Kemendikbud mengklarifikasi bahwa data tersebut dirilis sejak awal Pandemi Juli 2020 hingga saat ini, bukan data 1 bulan sejak PTM. Intinya adanya peluang klaster baru sekolah tak dapat dinafikan.
Sudah maksimalkah pengawasan yang dilakukan pemerintah terkait pelaksanaan PTM ini? Dalam artian apakah negara sudah benar-benar hadir memastikan terlaksananya prokes dan PTM secara optimal?
Negara Harus Benar-Benar Serius dan Fokus
Menurut Ustadzah Sri Endah Lestari dalam forum “Live Discussion“, Jumat (1/10), bahwa peran negara sangat penting dalam suksesnya PTM terbatas ini, antara lain yaitu pertama harus ada sosialisasi dan edukasi kepada seluruh pihak yang terlibat dalam satuan pendidikan; kedua, harus meningkatkan 3M dan 3T di lingkungan sekolah; ketiga, negara wajib memenuhi anggaran untuk sarana dan prasarana PTM terbatas ke semua sekolah agar PTM aman untuk pendidikan generasi, bukan hanya mengandalkan sekolah (banyak sekolah swasta yang tidak mampu).
Negara harus benar-benar hadir memastikan terlaksananya protokol kesehatan agar PTM bisa berjalan sesuai harapan. Tatkala regulasi dibuat, maka konsekuensinya negara tidak boleh lepas tangan dari tanggungjawab besarnya sebagai pengurus rakyat. Bukan pula memasrahkan sepenuhnya urusan PTM dan prokes kepada kepala daerah, dinas setempat atau bahkan satuan pendidikan saja. Karena itu kebutuhan layanan pendidikan dengan PTM terbatas dan protokol Covid adalah kewajiban mutlak negara yang saat ini sangat mendesak untuk diwujudkan.
Karut marut dunia pendidikan saat ini tidak lain disebabkan karena sistem pendidikan yang diterapkan berlandaskan sistem sekuler demokrasi yang meniscayakan kelalaian pemerintah dalam memberikan pelayanan maksimal bagi rakyatnya. Jadi wajar saja apabila problematika pendidikan saat pandemi belum berjalan semestinya. Lagi-lagi rakyat harus menjadi korban.
Solusi Islam
Sesungguhnya dalam Islam, pendidikan memiliki sistem terbaik berdasarkan sistem shahih yang berasal dari Allah Swt. Pendidikan termasuk kebutuhan dasar bagi individu dan rakyat yang sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Islam telah mewajibkan terealisasinya jaminan atas pemenuhan dan ketersediaan kebutuhan tersebut sesuai serangkaian hukum syariah yang menetapkannya. Negara wajib menyediakan semua fasilitas sebaik mungkin dan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi secara cuma-cuma kepada seluruh warga baik di masa ada wabah ataupun tidak. Sehingga PTM atau PJJ di masa pandemi tetap akan mendukung proses pendidikan. Tentu saja ini semua bisa terlaksana karena ditopang dengan sumber pembiayaan pendidikan yang berasal dari sistem ekonomi Islam yang diambil dari pendapatan negara Islam yaitu Baitul maal.
Sesuai sabda Rasulullah ﷺ :
الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari)
Maka dari itu, pemerintah harus memastikan seluruh warganegara mendapatkan perlindungan yang optimal ketika berlangsungnya pendidikan dalam situasi pandemi. Termasuk menghilangkan bahaya dan ketakutan dari sesuatu yang bisa menyebabkan kerugian. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain ditambahkan
َمَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه
“Siapa saja yang membahayakan orang lain, maka Allah akan menimpakan bahaya kepada dirinya. Dan siapa saja yang menyusahkan orang lain, maka Allah menimpakan kesusahan kepada dirinya.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Oleh sebab itu hanya dengan menerapkan Islam secara sempurna mampu memecahkan segala problematika manusia termasuk pendidikan. Islam memiliki solusi yang dapat menyelamatkan generasi sehingga tujuan pendidikan untuk mencetak generasi yang berkepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan bisa terealisasi dengan maksimal dan optimal. Semua bisa terwujud jika diterapkan dalam bingkai negara Khilafah.
WalLahu a’lam bisshawab
Views: 7
Comment here