Opini

Indonesia Negara Maritim, Impor Garam Sampai Kapan?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Wiji Lestari

wacana-edukasi.com– Indonesia sebagai negara dengan julukan ‘negara maritim’, dikelilingi lautan luas membentang di zamrud khatulistiwa harus impor garam sebanyak 3 juta ton. Kebijakan impor garam sebanyak itu akan segera terealisasikan dalam waktu dekat. Kebijakan ini merupakan keputusan Pemerintah di bulan Maret 2021 lalu terkait akan adanya impor garam dalam jumlah besar.

Kebijakan ini sejalan dengan pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk mengimpor garam. Keputusan ini telah diambil dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian beberapa waktu lalu. Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi menjelaskan alasan pemerintah memutuskan membuka keran impor garam 3 juta ton tahun ini. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Menurut Mendag, kualitas garam industri yang diproduksi dalam negeri belum menyamai kualitas garam impor (Merdeka.com, 21/3/2021).

Kebijakan pemerintah yang melakukan impor khususnya di sektor pertanian tentu membuat para petani mengalami kerugian dalam jumlah besar. Belum lepas dari ingatan kita bahwa beberapa hari yang lalu pemerintah juga melakukan impor terhadap capai disaat para petani siap memanen cabai. Alhasil banyak petani yang rugi akan kebijakan yang dibuat. Saat ini petani garam negri ini yang mengalami kerugian. Standar kualitas yang disamakan dengan kualitas impor garam membuat petani merasa kecewa terhadap pemerintah.

Presiden Jokowi pernah mengingatkan akan impor garam yang dilakukan tahun ini. Dalam pernyataannya Oktober tahun lalu, Presiden Jokowi sempat marah dan menyebut bahwa masalah garam rakyat belum terselesaikan hingga saat ini. Bahkan, tidak ada pihak yang ingin mencari jalan keluarnya. Tidak hanya itu, Jokowi juga menyoroti masih rendahnya produksi garam nasional di Indonesia. Sehingga terus-terusan melakukan impor garam.

Berdasarkan data yang diungkap oleh Presiden Jokowi kebutuhan garam nasional pada 2020 sebanyak 4.000.000 ton per tahun. Sementara produksi garam nasional baru mencapai 2.000.000 ton. Selain itu Data per 22 September 2020 masih ada 738.000 ton garam rakyat yang tidak terserap oleh industri.

Berdasarkan data diatas hendaknya negara mampu memberikan solusi yang tidak merugikan petani, melakukan berbagai evaluasi untuk bisa memajukan sektor pertanian. Mendorong agar para petani mampu menghasilkan garam yang sesuai dengan standar yang ada. Nyatanya impor garam sebanyak 3 juta ton melebihi jumlah kebutuhan di dalam negri. Kuantitas impor sebanyak itu justru bukan memberikan solusi namun justru mematikan mata pencaharian petani khususnya petani garam.

Standar kualitas yang diberikan pun memang jauh dari kualitas garam yang dihasilkan oleh petani. Justru disaat seperti ini Pemerintah bersama-sama dengan para petani meningkatkan kualitas garam uang dihasilkan sehingga tak ada kebijakan impor garam lagi. Semestinya Pemerintah bersungguh-sungguh dalam mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi masalah seperti ini agak tidak terulang kembali. Kualitas dan kuantitas yang dihasilkan dari petani garam secara politik dappat diatasi dengan cara swasembada.

Swasembada pangan dari para petani negeri ini sejatinya mampu menopang kebutuhan dalam negri, jika Pemerintah fokus untuk bersama-sama melakukan swasembada pangan. Ketika swasembada ini sudah dilakukan maka kebijakan impor sejumlah produk vital akan dapat terminimalisir.

Pernyataan dan aharapan para petani mungkin hanya khayalan belaka jika negri ini masih terus menerbitkan kebijakan impor dan impor. Kebijakan impor salah satunya buah hasil diterapkan sebuah aturan yang salah. Sistem Kapitalisme-Sekularisme yang bercocol kuat di negri inilah yang menjadi biang segala permasalahan. Sistem yang berasaskan membuat semua berlomba-lomba untuk memperoleh manfaat dalam jumlah besar maupun kecil. Kebijakan yang lahir dari sistem ini hanya berorientasi pada manfaat uang menjadikan keuntungan bagi segelintir orang.

Kebijakan yang dibuat bukan mensejahterakan rakyat namun justru membuat rakyat menjadi semakin sengsara. Bagaimana tidak? disaat petani garam maupun cabai yang notabene terkategorikan dapat dibuat untuk impor justru kebijakkan ini lahir pada saat petani sedang menghasilkan atau sudah siap panen. Derita nestapa pilu semakin dirasakan petani dengan kebijakan yang lahir dari sistem ini.

Sistem buatan manusia ini melahirkan kebijakan yang merugikan dan tak menghargai jerih payah para petani. Sampai kapan petani akan terus merugi disaat siap panen? Bagaimana mereka bisa menikmati hasil jerih payahnya? Banyak pertanyaan yang muncul dibenak para petani. Hal ini seharusnya segera ada solusi yang dapat menuntaskan permasalahan yang ada.

Sistem buatan manusia ini hendaknya mulai kita tinggalkan dan kembali menerapkan aturan berasal dari Sang Pencipta yakni aturan Islam. Aturan Islam dapat diterapkan kembali dalam bingkai Khilafah ala minhajin nubuwwah. Dalam Islam mampu menempatkan tata kelola garam dalam khilafah berbasis syariat yang didukung oleh sistem kehidupan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem politik-ekonomi Islam, sistem politik Islam dan sistem politik pemerintahan Islam.

Khalifah sebagai periayah umat serta perisai umat memberikan kewenang dalam pengambilan kebijakan yang ada, diaantaranya:
1. Negara dan pemerintah bertanggung jawab langsung mulai dari produksi, distribusi, konsumsi hingga realisasinya.
2. BUMN wajib mengedepankan fungsi pelayanan.
3. Memberikan edukasi dan sanksi jera kepada pelaku kejahatan pangan.
4. Anggaran negara berbasis Baitul mal.
Islam memandamg bahwa impor merupakan aktivitas pada hubungan luar negri yang harus mengikuti hukum Islam.

Begitulah bagaimana Islam mampu menuntaskan permasalahan yang ada. Ketika aturan Islam mampu diterapkan maka kesejahteraan akan senantiasa dapat dirasakan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here