Oleh: Anita Ummu Taqillah (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com– Tuduhan demi tuduhan buruk menghampiri dan menyudutkan kaum muslim. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga hampir diseluruh penjuru dunia. Mulai dari tuduhan teroris, extrimis, radikal, hingga intoleran disematkan untuk muslim yang memegang teguh ajaran agamnya. Agama dari Sang Pencipta dan Pengatur segalanya. Agama pamungkas yang dibawa Muhammad Saw. Hingga tak sedikit dari umat muslim yang akhirnya mendapagkan penyiksaan, dan diskriminasi di negaranya.
Namun, pembelaan atas tuduhan tersebut sangat sulit didapatkan. Mereka harus berjuang sendiri. Sebab negara tempat mereka bernaung seolah enggan meluruskan, malah justru cenderung menjustifikasi keadaan mereka.
Lihatlah bagaimana umat muslim di Uighur, China yang seolah terpasung di negaranya sendiri. Bagaimana pula muslim Rohingya di Myanmar yang mengalami kudeta. Melarikan diripun terombang-ambing dilautan dan jarang mendapat pertolongan. Belum lagi muslim di Gaza, Palestina, yang masih terus hidup mencekam dalam ancaman bom dan senjata Israel. Bagaimana pula muslim di Suriah, Kashmir India, Mali, dan negara-negara lain yang mengalami diskriminasi.
Tak hanya itu, penistaan terhadap Islam dan ajarannya pun sering terjadi. Dimana kasus-kasus tersebut juga menguar begitu saja. Tak ada jerat hukum yang setimpal hingga membuat jera. Hingga akhirnya kasus sejenis terus berulang dan semakin banyak. Sebagaimana kasus penistaan yang berupa karikatur Rasulullah Muhammad Saw, pembakaran Al Qur’an, juga penghinaan terhadap ajaran Islam seperti niqob identik dengan teroris dan lain-lain.
Namun disisi lain, para Ustad yang mengajarkan agama yang lurus sering dituduh menyebarkan ujaran kebencian, tidak toleran dan menistakan agama lain. Padahal apa yang disampaikan adalah murni dari Al Qur’an dan Hadits.
Selama ini kita mengandalkan PBB sebagai penengah dan pemberi solusi. Namun faktanya, solusi yang ditawarkan hanya tambal sulam. Sebab, memang mereka disetir oleh penguasa-penguasa yang notabenenya adalah pengusung kapitalisme yang memiliki asas sekular dan liberal. Hal ini menjadikan mereka enggan mengambil sikap untuk membela muslim, tetapi justru seolah mengabaikannya.
Negara-negara muslim pun tak bisa banyak membantu. Sebab, sekat nasionalisme menjadikan mereka terpaku pada negaranya sendiri. Ikatan persaudaraan karena iman, dikalahkan rasa takut dituduh ikut campur urusan negara lain. Bahkan tak jarang, hal itu menjadikan mereka tega terhadap sesamanya.
Dari kasus dan kejadian diatas, Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. dalam opening speech International Muslim Lawyer Conference, Ahad (3/10/2021) di kanal YouTube Al Waqiyah TV, menuturkan bahwa agenda International Muslim Lawyer Conference (IMLC) ini bertujuan mencari solusi perlindungan hukum terhadap kaum Muslim dan ajaran-ajaran Islam.
Chandra juga menambahkan, agenda ini mengangkat tajuk perlindungan hukum terhadap ajaran Islam dari potensi kriminalisasi dan potensi monsterisasi terhadap ajaran Islam seperti niqab, hijab, jihad dan sistem pemerintahan Islam seperti khilafah. Selain itu juga mengajak seluruh muslim yang posisinya sebagai praktisi hukum untuk bersatu mendampingi dan memberikan perlindungan hukum terhadap umat muslim (mediaumat.news, 3/10/2021).
Ya, umat muslim memang membutuhkan perlindungan, agar kejadian penindasan dan penistaan tidak terulang. Meski sulit, namun sebagai seorang muslim kita wajib berusaha maksimal. Sebab, perubahan ootimal sejatinya tidak hanya pada individu, tetapi juga masyarakat dan negara yang utama.
Sungguh, umat muslim butuh sebuah negara yang akan menolong dari rasa aniaya. Negara dengan seorang pemimpin yang mampu menjadi “junnah” atau pelindung bagi kaumnya. Sebagaimana dulu kisah Al-Mu’tashim Billah dari kekhilafahan Abbasiyah tercatat sebagai kisah heroik, yang diabadikan dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir.
Kisah Al-Mu’tashim Billah terjadi pada tahun 223 Hijriyah atau 837 Masehi, yang bermula dari seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim. Muslimah tersebut diganggu dan dilecehkan oleh Orang Romawi ketika berbelanja di pasar. Kainnya dikaitkan ke paku, sehingga ketika bediri maka akan tersingkap dan terlihat sebagian auratnya. Dari kejadian itu akhirnya si budak muslimah bereteriak dan menyeru Al-Mu’tashim Billah untuk menolongnya.
Setelah seruan tersebut sampai pada Al-Mu’tashim Billah, maka dengan segera beliau mengirim puluhan ribu pasukan muslim untuk menyerang kota Ammuriah (Turki). Hingga kota Ammuriah terkepung selama kurang lebih lima bulan, dan berujung takluk ditangan khalifah Al-Mu’tashim Billah. Sebanyak 30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 lainnya ditawan. Pembelaan kepada muslimah ini sekaligus merupakan pembebasan Ammuriah dari jajahan Romawi.
Inilah bukti totalitas pembelaan seorang pemimpin dalam Islam. Tidak ada sekat nasionalisme yang membatasi. Sebab, ikatan keimanan jauh lebih utama dalam jiwa kaum muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Muslim No 4685)
Selain itu, seorang pemimpin yang beriman akan bertanggungjawab penuh kepada rakyatnya untuk menjaga, melindungi dan mengurusi segala kebutuhannya. Dia adalah seorang “junnah” yang dirindukan umatnya. Rasulullah Saw juga bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Wallahua’lam bishowab.
Views: 6
Comment here