Wacana-edukasi.com — Berat rasanya mendengar berita maraknya kasus kekerasan seksual pada anak, bahkan hal itu dilakukan oleh orangtuanya sendiri. Sampai hati melakukan perbuatan bejat kepada anak sendiri. Seperti yang terjadi di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, dimana Ayah kandung diduga melakukan pemerkosaan 3 anak di bawah umur dan hal ini menjadi perhatian khusus berbagai pihak. Terlebih, kasus yang sempat berproses pada 2019 lalu atas laporan ibu kandung korban, RS, dihentikan penyelidikannya. Polres Luwu Timur menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada tahap penyelidikan karena tidak memiliki bukti yang cukup untuk dilakukan penyidikan (tribunnews.com, 10/10/21).
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, merasa miris melihat kasus kekerasan terhadap anak tetap tinggi di masa pandemi, saat dimana mereka justru terus dekat dengan keluarga. Berdasarkan catatannya, ada 2.726 kasus kekerasan terhadap anak sejak Maret 2020 hingga Juli 2021 ini dan lebih dari setengahnya merupakan kasus kejahatan seksual. Dia menekankan, sebelum pandemi melanda, sejatinya angka kejahatan terhadap anak memang sudah meningkat pada 2018 hingga 2019 (republika.co.id, 07/09/21).
Pada tahun 2020 hingga 2021, jumlah kekerasan terhadap anak semakin tinggi. Angka 2.726 kasus yang ia sebutkan itu terhitung mulai Maret 2020 hingga Juni 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 52 persennya merupakan kasus kekerasan seksual. Arist mengungkapkan, kasus kekerasan seksual itu bukan hanya perkosaan, tetapi juga serangan persetubuhan yang dapat berupa sodomi, hubungan seks sedarah, dan lainnya. Kasus itu pun terjadi bukan hanya kasus orang per orang, tapi juga dilakukan secara bergerombol. Bahkan kekerasan seksual itu dilakukan oleh orang terdekat mereka, yakni bapak atau pamannya (republika.co.id, 07/09/21).
Melihat fakta di atas, tidakkah hati kita menjerit mendengar kenyataan pahit ini? Bagaimana dengan nasib generasi selanjutnya jika masalah ini tidak ada solusi tuntas? Siapa yang akan memberikan jaminan keamanan kepada anak-anak? Yang bahkan orangtuanya sendiri malah membunuh masa depan anaknya. Siapa yang bertanggung jawab atas masalah ini?
Tak bisa dimungkiri, masalah kekerasan seksual pada anak ini terjadi karena minimnya pemahaman agama akibat sistem hidup yang memisahkan agama dari kehidupan. Ayah yang seharusnya menjadi pelindung bagi keluarga seperti dibutakan mata dan hatinya akibat kurangnya pemahaman agama, sehingga tega melakukan aksi bejat tersebut. Keluarga yang seharusnya menjadi pondasi utama dalam mendidik anak-anaknya dengan menanamkan nilai-nilai akidah, malah menjadi tempat yang tak aman, akibat minimnya pemahaman agama.
Disisi lain, negara yang seharusnya bisa menegakkan hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus ini, tak mampu memberikan solusi tepat dan menyelesaikan masalah ini hingga tuntas, sehingga kasus kekerasan seksual ini terus berulang, bahkan cenderung meningkat. Masihkah kita berharap pada sistem buatan manusia
Sartika—Bogor
Views: 2
Comment here