Oleh Ummu AdiI (bu Pemerhati Pendidikan)
“Dan orang ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah“ (QS: Al Baqarah: 120)
“Negara adalah alat kelas yang berkuasa ( kaum borjuis / kapitalis) untuk menindas atau mengeksploitasi kelas yang lain (proletariat / buruh)”. – Karl Marx
Negara bagi manusia ibarat rumah tempat ia berlindung dari segala macam yang merugikan dan membahayakannya, ia juga laksana ibu yang senantiasa membuat nyaman anak-anaknya. Sehingga sejauh-jauhnya ia merantau ia akan kembali ke pangkuan ibunya.
Pemimpin laksana orang tua yang memenuhi kebutuhan seluruh anak-anaknya yang diatur berdasarkan kadar keadilannya, kesejahteraannya diperhatikan, serta keamanannya dijaga sampai tak ada hal yang membahayakannya. Seperti itulah negara yang membutuhkan sosok pemimpin yang mampu melakukan semua itu.
Tetapi bagaimana jika negara tidak lagi membuat manusia yang tinggal di dalamnya merasa aman, mereka diteror, dizalimi dan diusir dari tanah kelahirannya. Maka, pantaskah ia dijadikan sebagai negara tempat ia berlindung dan kembali pulang?
Semua karena naluri kepemimpinan manusia yang cacat, bahkan hilang tertutup ambisi yang jauh dari Tuhannya. Akalnya berusaha mencari pembenaran dari kebusukan jiwanya. Hasilnya kondisi wilayah tempat ia berkuasa kacau dan tidak stabil.
Begitulah jika kekuasaan diberikan kepada akal manusia yang jiwanya tersandera dunia, tak ada keadilan yang didahulukan tapi yang ada kepentingan nafsu rendah yang diutamakan.
Islam sudah mengajarkan pada manusia, bahwa dia adalah makhluk lemah dan terbatas. Kelebihan yang dimilikinya tidak berarti sedikit pun kecuali semuanya adalah pemberian Tuhannya.
Jadi, pantaslah manusia senantiasa bergantung pada zat yang Maha Besar lagi berkuasa, karena Dia tak memiliki kelemahan dan keterbatasan, Dia maha tahu yang terbaik untuk ciptaannya, maka Dia turunkan syariah-Nya kepada kekasih-Nya sebagai petunjuk keselamatan bagi seluruh hamba-Nya.
Manusia memiliki tabiat yang sama, ingin dilindungi, dipenuhi hak-haknya serta keamanannya dijamin. Namun, di tangan pemimpin yang buta kekurangan dan keterbatasannya, maka kepemimpinan yang adil mustahil diwujudkan, karena ia tak mampu menjangkau seluruh masalah manusia dan makhluk di bumi ini tanpa adanya bimbingan Tuhannya.
Akhirnya, penyalahgunaan kepemimpinan pun marak dilakukan di berbagai negara. Khususnya umat Islam sebagai objek kebrutalan nafsunya, keberadaannya seperti duri yang tidak dikehendaki oleh manusia pengumbar nafsu.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Abu Sofyan dalam kitab siroh “Daulah Islam”, bahwa ia tidak ada permusuhan sedikitpun dengan Rasulullah Saw. Namun ajaran yang dibawanyalah yang membuat dia harus bermusuhan denganya.
Dari sini jelas, bahwa umat Islam yang senantiasa dimusuhi, disiksa, dizalimi dan diusir dari tanah kelahirannya, adalah karena mereka semata-mata beragama Islam. Agama yang sejatinya adalah mimpi dan cita-cita hidup manusia.
Namun nafsu menggelapkan akal sehatnya, sehingga setiap kehadirannya membuat mereka tidak mampu menahan untuk melakukan hal-hal yang di luar kewajarannya sebagai manusia yang memiliki rasa yang sama.
Sungguh miris memang penduduk bumi ini, menginginkan perdamaian dunia namun syariat akal masih dipuja, takut pada sesuatu yang mengancam jiwa, tapi tidak takut pada sang pencabut nyawa.
Sampai kapan manusia tetap pada ketersesatannya, kecuali dia yang bangkit menggunakan akal sehatnya, merenungi diri dan mentadabburi penciptaan alam semesta ini.
Umat Islam akan terus menjadi santapan Yee manusia serakah sampai ia meninggalkan agamanya atau musnah tak bersisa. Itulah fitrah para pemuja nafsu angkara.
“Dan orang ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah” (QS: Al Baqarah: 120)
Itulah fakta yang terjadi di dunia Islam, mereka terlunta-lunta di negerinya sendiri tanpa penolong dan pelindung. Hidupnya mengandalkan belas kasihan negeri lain, tapi itu pun hanyalah harapan, karena ia harus berhadapan dengan nasionalisme yang menyekat kuat antar negara.
Umat Islam butuh pemimpin yang menjadi perisai dan pembela di hadapan musuh-musuhnya. Pemimpin yang bukan sekadar memimpin keberadaannya tapi juga memimpin dengan rasa takut pada Pencipta-Nya dan menerapkan syariat yang diajarkan Rasul-Nya. Hingga umat Islam merasa nyaman dan enggan pergi meninggalkan rumahnya. Itulah kekuatannya, kebahagiaannya dan tujuan hidupnya.
Islam tidak mengenal genosida, tapi memuliakan manusia, baik muslim atau nonmuslim. Ia diperlakukan sama mendapatkan hak dan kesejahteraan dari negara. Sekalipun pada pembangkang keutuhan negara, ia diajak kembali menyadari kesalahan diri sebanyak tiga kali, jika tetap pada pendiriannya negara hanya memberikan hukuman mendidik, bukan menzalimi, mengusir atau menghabisi. Itulah aturan indah dari ilahi, hanya jiwa yang bersih yang mampu berserah diri, hingga tercipta keseimbangan dan keharmonisan alam semesta ini. Kapankah itu terjadi?
Waallhu a’lamu bishshawab.
Views: 88
Comment here