Opini

Jaminan Islam atas Pendidikan dan Kesejahteraan Guru

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Neng Maryana

Guru ingin jadi PNS karena berharap ada jaminan kesejahteraan hingga masa tua. Guru ingin mengajar di tempat yang memiliki akses mudah. Itu fitrah. Oleh karena itu, masalah pemerataan serapan tenaga pendidik berkelindan bersama kebijakan politik negara.

Wacana-edukasi.com Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho mengkritik pengangkatan proses guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang harus melalui seleksi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dia berpandangan proses pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa pengabdian seseorang sebagai guru. Menurutnya, guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tidak mengikuti proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya. “Seharusnya dilakukan pengangkatan secara langsung bukan melalui proses seleksi tapi di lihat masa pengabdiannya para guru itu,” ujar Irwan kepada wartawan, Minggu (19/9/2021).

Irwan menyayangkan pemerintah masih membiarkan guru-guru honorer yang cukup masa pengabdiannya mengikuti proses seleksi PPPK serta CPNS hanya untuk memperoleh kesejahteraannya. Kehadiran guru honorer bagaikan oase di tengah padang pasir. Sosok mereka tak bisa dipandang sebelah mata. Kesenjangan guru dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan lebih banyak ditopang dengan keberadaan guru honorer dengan segala keterbatasannya. Guru honorer mengisi ruang-ruang kosong di sekolah, terutama di daerah dan pelosok desa.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK), secara keseluruhan saat ini terdapat 3.357.935 guru yang mengajar di 434.483 sekolah. Sementara jumlah siswa mencapai 52.539.935 siswa. Dengan demikian rasio rata-rata perbandingan guru dan siswa adalah 1:16. Angka tersebut merupakan angka yang sangat ideal dalam pemenuhan layanan belajar. Namun, ketika ditinjau dari sisi status kepegawaiannya, baru 1,607,480 (47,8%) guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sementara 62,2% sisanya merupakan guru honorer yang terdiri dari 458.463 Guru Tetap Yayasan (GTY), 14.833 Guru Tidak Tetap (GTT) provinsi, 190.105 GTT kabupaten/kota, 3.829 guru bantu pusat, 728.461 guru honor sekolah, dan 354.764 guru dari kategori lainnya (data.kemdikbud.go.id, 25/11/2020).

Banyaknya jumlah guru ASN yang pensiun, bertambahnya lulusan guru tiap tahun, sementara pemerintah tak mampu mengangkat guru ASN sesuai kebutuhan, kekurangan guru ditutup dengan keberadaan guru honorer. Sayangnya, gaji yang amat minim selalu menjadi problem tak terurai bagi guru honorer.
Presiden Joko Widodo dalam Pidato Pengantar RAPBN 2022 menyebutkan bahwa pembangunan SDM tetap menjadi agenda prioritas pemerintah guna memanfaatkan bonus demografi dan menghadapi disrupsi teknologi (Kompas.com, 16/8/2021).

Meski anggaran pendidikan mencapai 20% dari dana APBN, tetap saja belum sebanding dengan apa yang diperoleh dari anggaran sebanyak itu. Dari 20% anggaran tersebut, Kemendikbudristek hanya mengelola sebanyak 14,8% atau sekitar Rp81,5 triliun.

Direktur Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat, Fransisca Fitri, mengatakan sepanjang tahun 2016-2020 terdapat banyak masalah dan tantangan dalam pengalokasian anggaran untuk memenuhi hak pendidikan.

Menurutnya, serapan anggaran pendidikan tidak selalu mencapai 20% dari total realisasi belanja APBN meski pengalokasiannya sejalan dengan mandat konstitusi. Belum lagi dana alokasi khusus fisik di bidang pendidikan yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun belum juga menjawab problem kesenjangan akses dan kualitas infrastruktur pendidikan. Masih banyak sekolah rusak, telantar, dan tak terurus dengan baik.

Di antara profesi yang paling banyak tuntutan dan persyaratan yang detail adalah tenaga pendidik. Seleksi formasi guru sebagai pegawai pemerintah tidaklah mudah. Banyak guru yang menggantungkan harapan dengan menjadi ASN. Mereka berlomba ikut seleksi pendaftaran CPNS. Paling tidak, upah mereka terjamin dengan menjadi PNS. Sayangnya, hal itu harus kandas akibat kebijakan ini.

Pemerintah beralasan kebijakan ini diambil lantaran dari hasil evaluasi perekrutan CPNS formasi guru, banyak guru berstatus PNS meminta mutasi setelah pengangkatan. Hal inilah yang menurut pemerintah, dianggap sebagai salah satu biang keladi masalah pemerataan pendidikan hingga kini belum juga terselesaikan.

Banyaknya permintaan mutasi guru biasanya karena lokasi penempatan mereka mengabdi memiliki akses yang minim. Baik fasilitas pendidikan atau akses publik di wilayah tersebut. Akibat pembangunan tak merata, para guru cenderung tidak kerasan (betah) jika ditempatkan di daerah terpencil atau tertinggal.

Sangat banyak fakta ketimpangan di dunia pendidikan. Ada sekolah dengan fasilitas wah, tak jarang pula terdapat sekolah yang bangunannya hampir ambruk dan sangat jauh disebut sebagai sekolah. Ada guru bergaji tinggi, ada pula guru bergaji rendah atau tak dapat gaji.

Jika ingin menyelesaikan problem pendidikan, maka pandanglah masalah pendidikan itu secara komprehensif. Bukan sepotong-potong. Agar solusi yang diberikan tidak tambal sulam.

Guru ingin jadi PNS karena berharap ada jaminan kesejahteraan hingga masa tua. Guru ingin mengajar di tempat yang memiliki akses mudah. Itu fitrah. Oleh karena itu, masalah pemerataan serapan tenaga pendidik berkelindan bersama kebijakan politik negara.

Jika pendidikan masih berkiblat pada kapitalisme, mustahil terwujud kesejahteraan siswa dan guru. Pendidikan berasas sekularisme adalah penyumbang terbesar kerusakan generasi. Kapitalisasi pendidikan sejatinya adalah sumber masalah sistem pendidikan saat ini.

Berbeda dengan sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan yang wajib dipenuhi negara. Sistem Islam akan mempersiapkan dengan baik agar hasil pendidikan berjalan sesuai harapan.

Negara akan menyiapkan infrastruktur sekolah yang memadai secara merata; menyediakan tenaga pengajar profesional; menetapkan gaji yang layak bagi para guru; menyiapkan perangkat kurikulum berbasis akidah Islam; memberi pelayanan pendidikan dengan akses yang mudah bahkan gratis bagi seluruh warga negara.

Perhatian sistem Islam pada sistem pendidikan sangat tinggi. Hal ini bisa kita telusuri dari fakta sejarah peradaban Islam memimpin dunia selama 13 abad. Karena Negara memahami bahwa membangun manusia unggul harus dimulai dengan sistem pendidikan yang berkualitas.

Mengingat pentingnya pendidikan bagi masa depan generasi, Khilafah memberi penghargaan tinggi termasuk memberi gaji yang melampaui kebutuhan guru. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar (jika dikonversi ke harga emas bisa setara dengan Rp51 juta) tiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitulmal.
Di sistem Islam, posisi guru adalah aparatur negara (muwazif daulah). Tidak ada pembedaan antara guru PNS atau honorer. Semua guru dimuliakan dalam Islam.

Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar per bulan oleh al-Muqtadir.

Di masa Shalahuddin al-Ayyubi, Syekh Najmuddin al-Khabusyani misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah, setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar untuk mengawasi wakaf madrasah (jika 1 dinar= 4,25 gram emas; 40 dinar= 170 gram emas; bila 1 gram emas harganya Rp800ribu, gaji guru pada saat itu tiap bulannya sebesar Rp136 juta).

Dengan gaji yang begitu tinggi, para guru tidak perlu repot mencari pendapatan tambahan seperti yang dialami guru honorer hari ini. Mereka bisa fokus melakukan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM unggul yang dibutuhkan negara dalam membangun peradaban agung sementara kapitalisme hanya bisa menyisakan derita berkepanjangan bagi guru.
Wallahua, lam bi showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 35

Comment here