Oleh : Nurlela
wacana-edukasi.com– Belum lama ini kota Bogor dikejutkan dengan peristiwa pengeroyokan yang berujung pada tewas seorang remaja yang masih berstatus pelajar, kini kota Bogor kembali dihebohkan dengan meninggalnya empat orang sopir angkutan kota (angkot) setelah melakukan pesta miras yang diduga merupakan miras oplosan. Peristiwa tersebut terjadi di salah satu titik di kota Bogor yakni di kawasan Pancasan yang memang sering dijadikan tempat untuk berkumpulnya para sopir angkot.
Kapolresta Bogor kota Komisaris Besar susatyo Purnomo Condro dalam persnya mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih terus melakukan penyelidikan mulai dari melaksanakan olah TKP, mencari dimana para korban melakukan pesta miras, hingga dari mana mereka mendapatkan minuman tersebut (Megapolitan.com, 13 /10/ 2021)
Peristiwa tewasnya empat orang sopir angkot setelah melakukan pesta miras bukankah kejadian pertama di negeri ini juga di kota Bogor, pasalnya kejadian serupa pernah terjadi dan tidak sedikit menelan korban jiwa.
Pemerintah sendiri melalui Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tahun 2020 pernah menggodog draft RUU tentang larangan minuman beralkohol (minol) yang diusulkan oleh tiga partai yakni Gerindra, PPP, dan PKS. RUU tersebut terdiri dari 7 bab dan 24 pasal yang berisi definisi minuman beralkohol, tatalaksana pelarangan, hingga sanksi pidana bagi pihak yang melanggar (Kompas.com, 13/11/2020)
Namun RUU yang mengatur larangan minuman beralkohol ini menimbulkan pro kontra baik di DPR ataupun di media sosial. Pihak yang kontra akan kehadiran RUU Minol menilai bahwa keahadiran RUU ini akan memperburuk situasi ekonomi rakyat karena hanya akan menambah jumlah pengangguran.
Selama ini peredaran minuman beralkohol (minol) di negeri ini diatur melalui Perpres 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol serta Permendagri Nomor 20/M-DAG/PER/2014 tentang Pengendalian dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Dengan adanya payung hukum tersebut wajar apabila peredaran minol di negeri ini bak jamur di musim hujan, tumbuh subur dan semakin bertambah banyak. Industri serta pedagang eceran miraspun akan terus ada. Industri miras diklaim mampu memberikan manfaat ekonomi yakni menambah pemasukan keuangan negara. Pada tahun 2020 penerimaan Cukai dari Etil Alkohol sebesar Rp 240 miliar dan minuman yang mengandung Etil Alkohol (MMEA) sebesar Rp 5,76 triliun (CnnIndonesia.com, 02/03/2021)
Sehingga wajar apabila segala upaya yang dilakukan pemerintah di negeri ini dalam memberantasan minol mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan sistem kapitalis sekuler menjadikan keuntungan atau manfaat sebagai asas dilakukannya suatu perbuatan. Segala sesuatu yang bisa mendatangkan manfaat akan diambil sekalipun bertentangan dengan aturan Islam dan mendatangkan kemudharatan, namun sebaliknya apabila suatu tersebut tidak mendatangkan manfaat maka akan ditinggalkan. Walhasil selama masih mendatangkan manfaat maka keberadaan minuman beralkohol (minol) akan tetap ada meskipun dengan embel-embel dibatasi dan diawasi.
Hal ini amatlah berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Islam dengan tegas mengharamkan minol (khamr).
Allah berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung” (QS. Al Maidah : 90).
Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa khamr adalah induk dari segala kejahatan (Ummul khabaits).
Rasulullah bersabda :
“Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamar bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya” (HR Ath Thabrani).
Karenanya Islam melarang secara total semua hal yang berkaitan dengan minol mulai dari produsen, distributor, penjual, hingga yang mengkonsumsinya (konsumen). Islam pun akan memberikan sanksi tegas yang mampu memberikan efek jera kepada semua pihak yang terlibat dalam peredaran minol termasuk yang mengkonsumsinya.
Islam akan memberikan sanksi kepada orang yang meminum minol berupa cambukan sebanyak 40 kali hingga 80 kali. Sementara untuk pihak seperti produsen, penjual, atau yang mendistribusikan, maka sanksi yang akan diberikan oleh Islam adalah berupa sanksi ta’zir yakni sanksi yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada khalifah atau qadhi sesuai dengan ketentuan syariat Islam, sehingga sanksi yang dijatuhkan bisa lebih berat dibandingkan dengan sanksi yang diberikan kepada peminum minol (khamr) bisa berupa sanksi penjara hingga hukuman mati karena mereka telah menimbulkan kemudharatan yang lebih besar bagi masyarakat.
Inilah sanksi tegas yang diberikan oleh Islam, sanksi yang mampu memberikan efek jera kepada para pelaku yang terlibat dengan peredaran minol. Penerapan Islam secara Kaffah dalam bingkai Khilafah tidak hanya mampu menghentikan peredaran minol namun juga mampu memberantas peredaran minol hingga ke akarnya.
Sudah saatnya negeri ini meninggalkan sistem kapitalisme sekuler dan beralih kepada sistem pemerintahan Islam. Sistem kapitalis menjadikan harapan negeri ini terbebas dari peredaran minol hanya akan seperti mimpi di siang bolong, sesuatu yang tidak mungkin terwujud. Sistem kapitalis dengan asas manfaatnya justru semakin menumbuh suburkan keberadaan minol di negeri ini.
Wallahualam bishowab.
Views: 69
Comment here