Ditulis Oleh: Wida Nusaibah
wacana-edukasi.com– Tangan kanan Edo gemetar dan matanya masih terbelalak saat membaca pesan singkat di grup WA sekolahnya. Berbagai komentar sudah ditulis oleh para member untuk menanggapi pesan menohok dari leader tim Mading yang menyebut namanya.
Tak mau gegabah, Edo berusaha membendung emosi yang seakan hampir jebol. Dia menutup mata, menarik napas, dan menghembuskannya perlahan. Lima jari tangan kirinya memegang dada agar tidak terasa sesak. Kemudian, dengan hati-hati dia mengirim pesan balasan untuk menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya.
Bukannya menerima, sang leader yang bernama Andra itu justru mengeluarkan kata-kata yang semakin kasar. Seakan dia sudah yakin bahwa Edo bersalah. Padahal, dia belum melakukan tabayyun walau sekali saja. Tak cukup di situ, Andra juga mengirimkan chat pribadi yang berisi tuduhan dan amarah. Bahkan, Andra mengatakan telah memasukkan namanya dalam daftar hitam nama siswa yang tidak boleh mengirimkan karyanya ke majalah dinding sekolah. Itu artinya, Edo juga kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan sekolah yang terkait dengan dunia literasi kesukaannya.
Emosi Edo pun memuncak saat sang leader kembali tegas menyebut dirinya sebagai plagiat. Namun, dia tidak melampiaskan emosinya di grup WA sekolah maupun melalui chat pada Andra, melainkan dia mengirim chat pribadi pada sahabatnya, Widodo.
[Wid, bukankah waktu itu aku sudah bertanya padamu apakah aku boleh menarik naskah yang sudah kukirim ke Mading kelas XI. Kamu bilang boleh asal aku memberikan pemberitahuan pada Andra. Tapi faktanya apa? Dia seakan ingin menelanjangiku di depan semua orang dengan menuduhku sebagai plagiat.]
Widodo yang belum membuka WAG Mading sekolah pun tak mengerti maksud dari pesan yang ditulis Edo. Belum sempat dia membuka WAG itu, notifikasi muncul atas nama leader tim Mading kelas XII, Alfian.
[Kamu sudah baca WAG Mading? Andra tiba-tiba mengumumkan di grup bahwa telah memasukkan nama Edo ke dalam daftar hitam nama siswa yang tak boleh lagi ikut kegiatan literasi di sekolah kita. Hal itu lantaran naskah Edo terdeteksi plagiat, karena dia mengirimkan ke dua tim Mading secara bersamaan. Padahal, saat Edo kirim naskah padaku, dia mengatakan sudah menarik naskah itu dari tim Mading kelas XI sebelum kirim padaku karena sudah lima hari tak mendapat respon dari Andra. Apa Edo bohong?]
Deg! Hati Widodo gusar. Sebagai ketua ekskul jurnalistik di sekolahnya, dia merasa bertanggung jawab pada Edo. Apalagi, Edo mengirimkan naskah ke tim Mading XII atas persetujuannya. Meskipun Widodo tahu hal tersebut tidak menyalahi etika, karena Edo telah memberitahukan pada tim XI untuk menarik naskahnya. Widodo pun meluncur ke WAG Mading sekolah. Dia tersenyum sinis membaca chat yang ditulis oleh Andra.
“Dasar arogan! Bagaimana Mading kelas XI bisa berkembang jika leadernya arogan macam dia?” umpat Widodo dalam hati.
Mukanya merah menyala tatkala membaca chat demi chat balasan Andra pada setiap chat yang mengomentari chatnya. Apalagi saat dia menyangkal semua penjelasan yang diberikan oleh Edo. Ingin sekali dia balas setiap chat itu. Namun, dia berpikir suasana grup tidak akan kondusif jika itu dia lakukan.
[Andra, kamu baca dulu penjelasan Edo dengan baik agar bisa memahami dengan benar bagaimana kronologi perpindahan naskah Edo dari tim kamu pada tim Alfian!”] tulis Widodo.
[Semua sudah jelas tidak usah dibahas lagi. Aku cuma tidak ingin tim Mading dimasuki oleh seorang penulis bermental plagiat. Tim Mading memiliki misi dakwah, tak pantas dihuni oleh orang yang tidak amanah. Apalagi hanya penulis junior yang sudah merasa hebat.] balas Andra.
Hati Widodo bergejolak. Ingin sekali dia menutup mulut Andra dengan busa sandal agar diam. Namun, dia masih menahan diri, karena tak ingin terjadi kegaduhan di grup itu. Dia menghela napas untuk menenangkan diri agar bisa merangkai kata-kata bijak.
[Baiklah, jika saya dianggap tak layak, saya undur diri dari tim Mading dan keluar dari grup ini. Mohon maaf jika saya salah. Terima kasih.]
Edo menulis chat, kemudian dia keluar grup. Widodo tahu apa yang dirasakan Edo. Dia pasti malu, marah, dan pasti kecewa berada di bawah kepemimpinan leader yang arogan semacam Andra. Ya, Andra memang arogan. Dia terkenal egois, susah menerima masukan dari orang lain, dan gampang sekali menyalahkan orang lain tanpa berpikir jauh lebih dulu. Dia itu grusa-grusu.
Widodo sangat malu pada Edo atas peristiwa itu. Edo adalah siswa kelas X yang baru gabung dalam tim Mading. Dia siswa berprestasi. Beberapa kali karyanya berhasil memenangkan berbagai kompetisi. Sayang sekali jika tim Mading harus kehilangan siswa seperti itu. Apalagi, Edo juga berperilaku baik. Bahkan, Edo lebih bijak dari Andra yang merasa sebagai seniornya.
“Tim Mading harus rela kehilangan mutiara macam Edo hanya untuk mempertahankan kerikil macam Andra? Ahh!” Widodo menggerutu. Dia berusaha keras untuk memikirkan sesuatu agar Edo bisa kembali ke tim Mading.
Apa yang akan dilakukan oleh Widodo? Bagaimana kelanjutan kisahnya? Saksikan di part 2!
Views: 31
Comment here