Opini

Reaktualisasi Fikih, Upaya Menjauhkan Umat dari Syariat

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Nita Savitri

wacana-edukasi.com– Kemenag menggelar konferensi pendidikan Islam antar peneliti, dosen, hingga pakar lintas keilmuan. Forum dengan nama Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) diselenggarakan secara virtual dan dibuka oleh Wapres Ma’ruf Amien (Antaranews, 24/10/21)

Diskusi yang bertempat di UIN Raden Mas Said Surakarta bertemakan Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy” (Reaktualisasi Fikih dan Kaitannya dengan berbagai Kebijakan Publik). Tema tersebut atas usul Menag, yang menganggap kajian fikih sangat relevan dibahas dalam masa pandemi.

Forum yang diadakan dari tanggal 24 sampai 28 Oktober ini diikuti akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan sejumlah ilmuwan dari Arab Saudi, Iran, Amerika Serikat, Inggris, Turki, Korea Selatan, dan Malaysia (DetikEdu, 25/10/21).

Menag menyatakan dalam forum diskusi tersebut, bahwa akademisi mempunyai peran penting dalam merekontekstualiasi konsep fikih. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan keadaan zaman yang terus berubah. Ada beberapa alasan agar para ahli harus merekontekstualiasi ilmu fikih atau ortodoksi Islam. Antara lain bahwa praktik pengamalan Islam tidak bertentangan dengan pesan keislaman itu sendiri.

Menag juga menambahkan kondisi selama lima abad terakhir, adanya praktik ijtihad pada umumnya telah berakhir di seluruh dunia Muslim Sunni. Ketika muslim kontemporer mencari bimbingan agama, maka sumber referensinya adalah produk Abad Pertengahan.

Kesesatan Reaktualisasi Fikih

Reaktualisasi fikih untuk menghadapi dinamika atau perubahan zaman bukanlah pandangan/ide baru yang disodorlan kepada kaum muslim. Konsep ini menganggap keberadaan fiqih/syariat harus mengikuti perubahan zaman. Padahal fiqih yang berkembang sesuai perubahan zaman, merupakan ide Barat dalam rangka menjauhkan kaum muslim dari syariat. Dengan alasan moderasi/moderat, konsep ini mengubah sedikit demi sedikit isi syariat agar sesuai dengan keinginan Barat.

Barat dalam hal ini kaum Nasrani dan Yahudi, tidak pernah rela jika melihat umat Islam meyakini syariat-Nya secara benar. Mereka menganggap konsep fikih yang dipahami secara murni akan membuat kebangkitan kaum muslimin menjadi pemimpin dunia yang tangguh akan muncul kembali. Jika adanya perubahan zaman dijadikan alasan rekontekstualisasi fiqih, hal ini sangat tidak berdasar pada dalil nash syarak. Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Semua masalah manusia di segala zaman, terdapat solusi dalam Islam.

Sehingga reaktualisasi fikih, hanya dalih hawa nafsu semata. Timbulnya masalah yang berbeda dengan zaman dahulu, memang tidak bisa dihindari. Namun solusinya bukan dengan menyesuailan fikih dengan zaman, tetapi adanya ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid.

Ijtihad merupakan pengerahan segala daya kemampuan untuk menggali nash-nash syarak. Dalam rangka mengambil hukum yang sifatnya dzanni (samar) bukan yang qath’i (pasti). Sehingga dengan dilakukan ijtihad, masalah yang baru muncul akan bisa diambil hukumnya tanpa mengubah isi syariat/fikih itu sendiri.

Urgensi Ijtihad dan Kebutuhannya bagi Umat

Islam diturunkan kepada Rasulullah Saw sebagai agama yang sangat sempurna dan lengkap. Kedudukan Rasulullah sebagai penutup para Nabi menjadi buktinya. Rasulullah membawa risalah Islam, sebagai penyempurna risalah nabi-nabi sebelumnya. Risalah ini dituangkan dalam Al-Qur’an dengan bentuk yang global/umum. Sehingga diperlukan adanya penggalian nash untuk bisa menjadi solusi atas masalah yang terjadi saat ini.

Hukum ijtihad adalah fardhu kifayah. Artinya, jika suati negeri telah ada para mujtahid yang melakukan ijtihad, maka telah gugur kewajiban bagi muslim lainnya. Sebaliknya, jika belum ada mujtahid maka menjadi dosa bagi seluruh kaum muslim, apabila tidak berusaha mewujudkaannya.

Kelangkaan mujtahid mulai dialami setelah masa tabi’i tabi’in berakhir. Kaum muslim yang waktu itu mengalami masa kemunduran (mulai abad 7H), mayoritas menjadi muqalid. Suatu keadaan yang mencukupkan diri untuk mengikuti pendapat mujtahid yang telah ada. Padahal masalah manusia kian beragam, seiring perkembangan zaman. Akhirnya kaum muslimin mulai menengok Barat dan mengambil solusi yang ditawarkan. Keberhasilan Barat di segala bidang, mengundang decak kagum kaum intelektual muslim. Mereka tidak lagi memperhatikan bahwa hal itu keluar dari rel syariat Islam.

Pun, demikian dengan rekontekstualisasi fikih, merupakan penyesuaian fikih dengan kondisi zaman sekarang. Semisal dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), ketika pembagian waris antara pria dan wanita adalah 1:2, tertulis jelas dalam Al-Qur’an, yaitu QS. An-Nisa:11.

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (TQS.An-Nisa.11)

Namun diubah menjadi 1:1, dengan alasan wanita sudah banyak yang bekerja atau karena teori keadilan. Padahal syariat dalam Al-Qur’an adalah nash yang qath’i, tidak boleh diubah sedikit pun. Adanya perubahan zaman, tidak bisa dijadikan dalih untuk mengubah syariat agar bisa sesuai dengan zaman. Melainkan perlunya ijtihad yang berdasar hukum syarak, bukan nafsu manusia

Sehingga pernyataan reaktualisasi fikih muncul akibat buah penerapan sistem kapitalisme sekuler. Memisahkan agama dari kehidupan untuk meraih manfaat/keuntungan belaka. Maka sangat berbahaya jika hal tersebut menjadi sebuah pemahaman yang diambil oleh kaum muslimin. Umat akan semakin buta dan tidak mengenal adanya syariat Allah Swt. sebagai satu-satunya hukum yang benar untuk diamalkan. Padahal nash syarak merupakan hukum yang harus diterapkan sebagai bukti kuatnya keimanan.

Wallahu’alaam bishawwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 24

Comment here