wacana-edukasi.com– Peraturan Menteri yang terdiri dari 58 pasal diteken Mendiskbudristek Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 lalu. Nadiem menegaskan, aturan tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap civitas akademi dalam mewujudkan pembelajaran yang aman.
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi mengesahkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Aturan berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Maksud hati ingin mencegah dan mengatasi kekerasan seksual, yang terjadi justru mengundang kontroversi dan mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak.
Apa yang kemudian melatarbelakangi keluarnya aturan yang kontroversi tersebut? Akankah kekerasan seksual di kampus tuntas dengan terbitnya Permendikbud No.30 tersebut?
Penolakan berbagai pihak mengenai Permendikbud No.30 sebenarnya beralasan kuat. Hal yang mendasarinya adalah masalah “consent atau persetujuan korban” yang terdapat dalam pasal 5. Pasal tersebut hanya mengatur kekerasan seksual tanpa persetujuan korban yang ada di pasal-pasalnya menunjukkan bahwa pasal, nalar, dan framework-nya liberal. Artinya, jika terjadi tindak seksual dengan persetujuan korban, tidak termasuk pelanggaran. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa Mendikbud seperti sedang melakukan legalisasi zina dalam aturan tersebut.
Dikutib dari Fp ITD News, 5/11/2021. Menurut pengamat politik, Muslim Arbi, isi Permen tersebut justru melegitimasi perzinaan. Masalahnya, dalam termologi “kekerasan seksual” tersebut, jika tindakan seksualnya terjadi dengan persetujuan, maka tidak terkatagori kekerasan seksual (baca: seks bebas). Menurutnya ini jelas pemikiran liberal menuju jalan perzinaan.
Kritik senada juga disampaikan guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof.Cecep Darmawan yang menilai Permen tersebut kontroversial dan bermuatan liberal, yang jika sejumlah pasalnya tidak mengalami revisi atau pencabutan bisa membahayakan masa depan generasi muda (islamtoday,6/11/2021).
Lahirnya aturan yang melegalkan perilaku seks bebas sejatinya berangkat dari pemahaman sekuler yang sudah terlalu mengakar di tengah kehidupan. Rumusan Permen yang melegitimasi kata “consent” juga buah dari pemikiran sekuler. Dalam arti, sekulerisme memang sudah menyebar luas di kalangan akademisi dan intelektual, serta seluruh elemen masyarakat.
Kalaupun aturan itu direvisi dan dicabut, tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan berulang selama negeri ini masih menerapkan sekulerisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga negara yang seharusnya terdepan menjaga moralitas dan perilaku generasi, justru malah memberi peluang liberalisasi menyubur di lingkungan kampus. Sementara, mahasiswa justru dijejali dengan arus deradikalisasi yang sangat gencar belakangan ini.
Mahasiswa yang ingin berubah menjadi religius dan islami justru dicurigai sebagai benih radikalisme. Harusnya, kampus gencar melawan liberalisme dan sekulerisme yang terbukti menjadi sumber kerusakan moral generasi. Bukan sibuk dengan narasi radikalisme yang definisinya saja bias dan tidak jelas.
Kritik yang senestinya menjadi alarm bersama adalah sejatinya kasus kekerasan seksual di kampus muncul akibat pola pikir liberal (serba bebas). Coba kita pikir, pada saat yang sama, kampus sering kali terpojok dengan tudingan sarang radikalisme. Padahal, tidak pernah ada bukti nyata terkait praktik radikalisme itu sendiri.
Ketika rumusan masalah kekerasan seksual tidak tepat, solusi yang ada pun tidak akan benar. Pencegahan dan solutif dalam mengatasi kekerasan seksual adalah dengan mencapakkan ideologi kapitalisme sekuler lalu menerapkan sistem alternatif sebagai penggantinya yaitu sistem Islam. Islam bukan hanya agama ritual. Islam adalah konsep kehidupan yang memiliki seperangkat sistem yang mengatur kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Bahkan dalam lintas sejarah, sistem Islam terbukti mampu mencetak manusia berkepribadian mulia dan melahirkan ilmuan hebat berdedikasi tinggi.
Dengan penerapan sistem Islam kaffah, tujuan pendidikan dapat tercapai, kampus akan menjadi pusat riset dan keilmuan bagi para pencari ilmu. Jika pendidkan hari ini baik input dan output sudah terlihat kegagalannya, mengapa kita masih enggan berpindah sistem kepada Islam? Hanya dengan kembali menerapkan Al-Qur’an dan Sunnah, generasi ini terselamatkan dari kerusakan dan keterpurukan.
Nurhayati R Ningsih
Views: 29
Comment here