Oleh : Siti Alfina, S. Pd. (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com– Pandemi wabah Covid-19 hampir dua tahun melanda dunia menjadi badai. Meskipun data kasus hariannya dinilai melandai tetapi tetap pandemi ini belum sepenuhnya usai. Hati mungkin bisa bersorak-sorai tetap saja tidak boleh abai. Kebanyakan orang bisa saja untuk bersantai, tetapi harus tetap waspada bahaya penularan terus saja mengintai.
Kebijakan pemerintah terkait wajibnya tes PCR untuk mengatur mobilisasi rakyat dengan menggunakan moda transportasi darat, laut dan udara terus menerus mengalami perubahan. Misalnya saja untuk perjalanan menggunakan transportasi laut, jika mengacu pada aturan terbaru yang tercantum dalam Surat Edaran (SE) Nomor 95 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Laut pada Masa Pandemi Covid-19 menyatakan bahwa penumpang kapal tidak perlu lagi menggunakan hasil negatif tes PCR sebagai syarat perjalanan, cukup membawa surat keterangan hasil negatif rapid test Antigen.
Demikian juga berlaku untuk perjalanan darat. Namun, untuk modal transportasi udara masih mensyaratkan penumpang dengan menunjukkan hasil tes PCR. Tentu saja dengan mewajibkan syarat seperti ini memberatkan bagi penumpang atau pengguna transportasi tersebut. Ditambah tarif yang lumayan menguras kantong setiap kali jika harus melakukan pemeriksaan.
Merespons dari banyaknya keluhan masyarakat terkait harga tes PCR, membuat masyarakat semakin resah dan mempertanyakan apakah tes PCR menjadi lahan bisnis ataukah murni sebagai bentuk layanan kesehatan bagi masyarakat guna mencegah penyebaran.
Mengantisipasi persaingan tidak sehat bagi pelaku bisnis di bidang kesehatan, untuk itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menetapkan tarif terbaru tes Covid-19 menggunakan Reserve Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Melalui Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi atau Harga Eceran Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR ditetapkan sebagai berikut, untuk pulau Jawa dan Bali turun dari Rp 495.000 menjadi Rp 275.000. Sedangkan untuk di luar pulau Jawa dan Bali turun dari Rp 525.000 menjadi Rp 300.000. Hal ini hanya berlaku untuk masyarakat yang ingin melakukan pemeriksaan atas permintaan sendiri atau mandiri (kompas.com, 1/11/2021).
Sontak saja ketentuan ini membuat pelaku usaha yang bergerak di bidang kesehatan baik rumah sakit, klinik, dan laboratorium mulai angkat suara. Mereka menilai penetapan HET tes PCR ini cukup memberatkan. Sangat dilema, jika tidak melakukan pelayanan beresiko akan ditutup, jika melakukannya akan buntung. Ujar Randy selaku Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia (Solopos.com, 13/11/2021).
Seorang pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah juga menilai adanya perubahan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait pencegahan penularan Covid-19 ini, menunjukkan ketidakmatangan perencanaan yang disusun karena lebih banyak disebabkan oleh kepentingan politis dan ekonomi, ujarnya pada kompas.com, (3/11/2021).
Hak Rakyat Jangan Dihambat
Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, sangat disayangkan jika masih ada yang berpikir untung rugi secara implisit. Kondisi rakyat yang semakin sesak terhimpit masih ada yang sempat mencari benefit. Kehidupan kian hari semakin dipersulit, ingin menjerit tetapi keberpihakan justru diberikan lebih kepada konglomerat berduit. Rakyat membutuhkan sosok pengayom sejati bukan penuh tingkah hipokrit.
Sistem kapitalisme mengatur pelayanan kesehatan dan pengobatan demi asas manfaat dan keuntungan. Rakyat dipersulit dengan sekumpulan mekanisme aturan ketika mengakses kesehatan.
Mengaku sebagai public health yang terkoordinasi secara sistematis, justru sebaliknya setiap kebijakan hanya menjadi bombastis. Rakyat seharusnya memperoleh dengan cuma-cuma alias gratis, justru dijadikan komoditi bisnis yang dipandang sebagai peluang strategis. Kesehatan dan nyawa rakyat dikorbankan secara tragis hanya bermodal solusi yang terkesan flegmatis. Inilah watak abdi kapitalis, jauh dari berpikir rasionalis lebih menitikberatkan pada kepentingan individualis.
Sistem kapitalisme yang mengagungkan kebebasan berkepemilikan, realitanya selalu menjadi senjata bumerang. Fasilitas dan kebutuhan hajat hidup orang banyak dengan mudah dikuasai oleh segelintir orang.
Pemimpin Islam Meri’ayah Rakyat
Islam telah mewajibkan terealisasinya jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok dan dasar bagi tiap individu dan masyarakat. Kebutuhan pokok yakni berupa pangan, papan dan sandang merupakan hak bagi manusia. Sementara pemenuhan kebutuhan dasar dengan tersedianya keamanan, kesehatan dan pendidikan untuk rakyat seluruhnya. Artinya, kebutuhan pokok dan dasar tersebut harus terpenuhi bagi tiap-tiap individu dan masyarakat sehingga tercapai kecukupan untuk menjalani kehidupan dunia.
Negara wajib mencukupi itu semua tanpa terkecuali dan tanpa diskriminasi. Tidak ada perbedaan antara Muslim dan dzimmi atau antara orang kaya dan miskin. Pendanaan yang diambil dari Baitul Mal memungkinkan terpenuhinya jaminan tersebut berjalan dengan sempurna.
Pentingnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dan dasar bagi individu dan masyarakat ini, maka Rasulullah ﷺ telah menjelaskan dalam sabdanya :
“Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi dalam keadaan aman dalam hal diri dan keluarganya, sehat fisiknya dan ia mempunyai makan hariannya, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia” (HR at-Tirmidzi).
Dari hadits di atas, Rasulullah ﷺ mengisyaratkan bahwa ketersediaan kebutuhan-kebutuhan itu bagi seseorang membuat dirinya seperti memperoleh dunia secara keseluruhan. Ini adalah kiasan akan pentingnya kebutuhan tersebut. Karena itu, Islam memberikan serangkaian hukum syariah untuk menjamin terwujudnya pemenuhan kebutuhan pokok dan dasar bagi rakyat dengan mewajibkan negara sebagai eksistensi pelaksanaannya.
Adapun terkait dalam jaminan kesehatan, pengobatan dan pelayanan kesehatan secara substansinya merupakan kemaslahatan dan fasilitas yang dibutuhkan rakyat. Karena hal itu termasuk ri’ayah yang wajib atas negara. Sabda Rasulullah ﷺ yang menyatakan (“Imam/Khalifah/Kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas pengurusan rakyatnya”). (HR al-Bukhari).
Selaku kepala negara, Rasulullah ﷺ pernah mengutus seorang dokter untuk mengobati Ubay bin Kaab ra. Saat yang lain, Rasulullah ﷺ juga pernah mendapat hadiah seorang dokter dari Muqauqis, kemudian beliau menjadikan dokter tersebut sebagai dokter umum untuk seluruh kaum Muslim. Hal sama juga pernah dilakukan Khalifah Umar bin al-Khaththab yang mengutus dokter untuk mengobati Aslam. Banyak dalil-dalil lainnya yang dilakukan pemimpin Islam ketika mengurusi rakyatnya dalam hal kesehatan.
Abu Maryam Al-Azdy ra. berkata kepada Muawiyah ra. bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslimin lalu menghindar dari kepentingan dan tidak memenuhi kebutuhan mereka, maka Allah akan menghindar dari kepentingan dan kebutuhannya pada hari Kiamat.” Kemudian Muawiyah mengangkat seseorang yang bertugas memenuhi kebutuhan masyarakat. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Jelas makna hadits ini memberikan nasihat kepada para pemimpin agar senantiasa meri’ayah atau mengurusi rakyatnya dengan sepenuh hati. Pemimpin yang selalu terikat dengan aturan Ilahi tanpa mengingkari. Tidakkah kita menginginkan perubahan menanti pemimpin sejati?
WalLah a’lam bi ash-shawab
Views: 4
Comment here