Oleh: Erdiya Indrarini (Pemerhati kemasyarakatan)
wacana-edukasi.com– Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengeluarkan Permen PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual). Bermaksut mengatasi kekerasan seksual pada mahasiswa, namun menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan, mengapa?
Nadiem Makarim, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) mengeluarkan Peraturan nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang selanjutnya disebut Permen PPKS. Permen ini ditandatangani Menteri Nadiem pada 31 Agustus 2021. Namun banyak yang menolak, dengan alasan permen ini justru membahayakan generasi bangsa. Detiknews.com (6 November 2021)
Di lansir dari portal-islam.id tanggal 9 November 2021, di antara penolakan itu datang dari Majelis Ormas Islam (MOI) yang beranggotakan 13 Ormas Islam Indonesia. Ketua MOI, Nazar Haris menilai bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinaan.
Oleh karenanya, Nazar meminta agar peraturan tersebut dicabut. Karena akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang mestinya perzinaan itu suatu kejahatan, malah kemudian dibiarkan. Seperti pada pasal 5 ayat 2 yang menyatakan bahwa, perbuatan asusila di kampus tidak dikategorikan sebagai kekerasan seksual jika suka sama suka, atau pelaku mendapat persetujuan dari korban.
PPKS Menjadi Pintu Seks Bebas
Permen PPKS digagas oleh Mendikbud, karena melihat dari sudut pandang korban kekerasan seksual di kampus yang harus dilindungi. Juga sanksi yang harus diterapkan bagi pelaku. Namun sayang, dampaknya begitu luas. Yakni mengarah pada kebobrokan seksual di lingkungan kampus dan generasi bangsa pada umumnya. Dengan permen itu, seks bebas tak lagi dipandang sebagai perbuatan dosa dan hina. Tapi menjadi hal yang wajar selama atas dasar suka sama suka. Tak heran, berbagai kalangan yang peduli akan keselamatan generasi bangsa, menolak dan meminta permen tersebut dicabut.
Selain itu, permen PPKS juga bertentangan dengan Undang-undang No. 20 pasal 3 Tahun 2003, tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional. Yaitu menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika permen ini diteruskan, maka akan merubah paradigma standar benar atau salah dari aktivitas seksual, bukan lagi agama. Tapi seksual concent, yakni persetujuan kedua pihak. Sehingga, agama akan semakin jauh dari kehidupan.
Padahal, Allah sang maha kuasa telah memberikan aturan dalam menanggulangi kekerasan seks. Seperti dalam firman-Nya yang artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).
Jika negara taat dengan menerapkan hukum Allah itu, niscaya kekerasan seks, prostitusi, aborsi, perzinaan, dan sejenisnya bisa diatasi dengan baik.
Namun, dengan menerapkan permen PPKS di kampus, tentu berakibat penguasaan satuan tugas penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. Sehingga akan menggeser peran ulama, maupun ormas keagamaan. Bahkan akan memarginalkan peran keluarga, dan lingkungan pendidikan tinggi yang dianggap tidak mampu melakukan pendidikan agama dan akhlak.
Permen ini pun akan berdampak besar pada penyebaran pemikiran, bahwa seks bebas adalah tindakan yang benar, asal memakai kondom. Bahkan, Lesbian Gay biseksual Transgender (LGBT) pun, akan diapresiasi selagi saling menyukai. Standarnya bukan lagi halal dan haram, tapi persetujuan dan suka sama suka.
Kontroversi Kebijakan Menteri
Tak dipungkiri, bahwa kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan, ristek dan teknologi ini, acap kali mengundang gejolak perasaan masyarakat, terutama kaum muslimin. Di awal tahun ini, Mendikbudristek Nadiem Makarim melarang simbul-simbul agama (Islam) di sekolah. Hal ini terjadi saat kasus siswa non muslim yang memakai kerudung di SMKN Padang. Padahal, ia bergeming, dan membisu selama pelajar muslim dilarang memakai kerudung di Bali maupun daerah lain.
Berbeda dengan kasus tersebut, Mendikbud juga berencana menghapus Biaya Operasional Sekolah (BOS) di sekolah yang jumlah muridnya kurang dari 60 siswa, selanjutnya akan dilakukan merger dengan sekolah lain. Hal ini juga mendapat protes dari ormas-ormas yang mendirikan sekolah di daerah-daerah terpencil yang tentu saja jumlah muridnya sedikit. Karena jika di merger, maka dipastikan akan mendapati berbagai kesulitan.
Kebijakan lain yang menjadi kontroversi adalah adanya Organisasi Penggerak lingkungan sekolah. Ide ini banyak diprotes, termasuk oleh PGRI. Karena, Selain ormas, perusahaan-perusahaan besar yang memiliki lembaga sekolah pun, akan mendapat bantuan dari Organisasi Penggerak. Padahal, dengan Corporate Social Responsibility (CSR) yang ada, harusnya perusahaan-perusahaan besar itu tak lagi mendapat bantuan dari pemerintah.
Selain itu, yang tak kalah menggelitik perasaan kaum muslim adalah penyusunan kamus sejarah. Kamus sejarah yang disusun oleh Kemendikbud ini terjadi penghapusan nama-nama tokoh Islam. Di antaranya seperti pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, Pendiri MIAI, Syafruddin Prawiranegara, tokoh Masyumi sekaligus pencetus dan pemimpin Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Mohammad Natsir, tokoh Partai Masyumi sekaligus pencetus mosi, juga Ir. Djoeanda yang merupakan Guru Muhammadiyah, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, kamus sejarah malah memasukkan tokoh-tokoh komunis seperti Aidit, Muso, Semaun, Amin Syarifudin, bahkan Henk Sneevliet. Tak hanya itu, dalam kamus tersebut tokoh-tokoh PKI ini dibahas lebih detail dari pada tokoh Islam.
Sekularisme Menjauhkan Agama dari Kehidupan
Apapun yang dilakukan ormas-ormas Islam itu, tak akan pernah usai. Berbagai polemik yang dilahirkan Mendikbudristek ini, bakal terus terjadi. Syariat Islam juga akan dipandang sebelah mata. Bahkan dijauhkan dari kehidupan kaum muslimin. Kemudian, perlahan dimasukkan untuk diganti dengan paham-paham yang bertentangan dengan Islam. Itulah risiko hidup di bawah naungan sistem/Ideologi yang bukan dari Islam, baik Ideologi kapitalisme yang diadopsi dari barat, maupun ideologi komunisme.
Begitulah negara sekuler. ia akan menjauhkan dan memisahkan antara agama dan kehidupan. Agama hanya boleh mengurusi individu saja, sedangkan agama tak boleh masuk dalam urusan bernegara maupun bermasyarakat. Maka wajar, pendidikan yang berlandaskan Islam selalu dipersoalkan. Sementara, generasi bangsa di cekoki dengan paham-paham yang justru bertentangan dengan Islam. Seperti sekularisme, demokrasi, liberalisme, feminisme, pluralisme, dan semacamnya.
Referensi Hakiki
Kaum muslimin harus menyadari, bahwa Islam tak sekedar agama, tapi sebuah sistem/ideologi yang sempurna dan paripurna mengatur manusia, kehidupan, dan alam semesta. Ia berasal dari wahyu Ilahi, dan wajib diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Baik dalam urusan individu, mengurusi masyarakat, apalagi dalam mengatur pemerintahan bernegara. Seberapapun hebatnya manusia membuat hukum, hasilnya hanya akan berbenturan dengan hukum yang lain. Sehingga, hanya menyebabkan keruwetan, juga kerusakan dan kehancuran, cepat atau lambat.
Karenanya, jadikan syariat Islam sebagai referensi yang hakiki dalam menentukan segala kebijakan, maupun dalam menyelesaikan segala problematika. Selama negara menerapkan paham sekularisme, liberalisme, maupun demokrasi yang semua itu berasal dari ideologi kapitalisme, maka intimidasi terhadap syariat Islam dan kaum muslimin akan terus terjadi.
Wallahua’lam
Views: 8
Comment here