Oleh : Siva Saskia
wacana-edukasi.com– Konversi lahan secara besar-besaran akan menyebabkan jenis tutupan lahan berubah. Hal ini juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan daerah aliran sungai (DAS), yang mengakibatkan hidrografi aliran pada DAS tersebut mengalami kerusakan secara alami. Kerusakan ini secara otomatis akan berdampak pada terjadinya bencana alam, salah satunya adalah banjir.
Saat ini, wilayah Kalimantan Barat sedang dilanda bencana banjir. Penyebab banjir di Kalimantan Barat bukanlah akibat curah hujan yang tinggi. Namun justru penyebab utamanya adalah kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) serta maraknya konversi tutupan lahan di wilayah tersebut. Belum lagi jika memperhitungkan sistem penebangan hutan yang tak teratur, serta eksploitasi kayu besar-besaran tanpa adanya proyek reboisasi yang layak.
Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu sebab berkurangnya kemampuan hutan dalam menjalankan fungsi alaminya, – termasuk sistem penyerapan air – adalah beralihnya fungsi lahan hutan menjadi area industri, seperti perkebunan sawit dan pertambangan, pabrik industri kayu, pembangunan infrastruktur, dan lahan pertanian.
Selama dekade terakhir, 4,7 juta hektare hutan dinyatakan hilang setiap tahunnya. Berdasarkan jumlah tersebut, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang terdampak paling parah. Menilik data Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektare hutan primer di antara tahun 2002 dan 2020. Bahkan Indonesia disebut-sebut menjadi negara urutan kelima terbesar di dunia yang kehilangan hutan primer tertinggi di tahun 2020.
Dampak akibat hilangnya hutan ini terhadap masyarakat tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Korban jiwa dan kesengsaraan ratusan ribu manusia yang menjadi korban banjir adalah bukti nyata dari pembangunan kapitalistik yang berlebihan, tidak efisien, dan salah sasaran. Keberpihakan pemerintah pada sistem kapitalis sekuler sangat jelas. Berdasarkan pernyataan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar yang belakangan ini memicu kontroversi, tertera adanya penegasan bahwa pemerintah lebih mendukung deforestasi ketimbang nasib rakyat kecil dan buruknya dampak lingkungan. Beliau mencuitkan dalam akun twitter miliknya, “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”
Seperti dilansir m.antaranews.com, (Ahad, 7/11/2021), Ahli Teknik Sumber Daya Air Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Prof. Dr. Henny Herawati, ST, MT, mengatakan di Pontianak, (Ahad, 7/11), “Perubahan atau konversi lahan, menyebabkan jenis tutupan lahan berubah, hal ini juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan daerah aliran sungai (DAS), sehingga hidrografi aliran pada DAS tersebut berubah menjadi tidak baik.” Beliau juga mengatakan, faktor lain yang menyebabkan banjir adalah terjadinya konversi tutupan lahan seiring bertambahnya jumlah penduduk dan keinginan melakukan konversi lahan menjadi lahan budidaya. “Sehingga lahan dibuka untuk permukiman, lahan awalnya merupakan lahan tertutup atau kawasan hutan. Dibuka untuk lahan pertanian atau perkebunan. Selain itu, curah hujan yang lebat terjadi di sejumlah daerah di Kalbar, menyebabkan banjir yang melanda di daerah hulu Sungai Kapuas,” tuturnya.
“Banjir merupakan peristiwa meluapnya air dari badan sungai akibat curah hujan yang relatif tinggi dan tidak mampu ditampung oleh penampang sungai atau dapat dikatakan kondisi muka air jauh di atas normal,” kata alumni Fakultas Teknik Untan Pontianak ini. Menurutnya, solusi yang harus dilakukan untuk mencegah banjir ini, harus adanya sinergi pemerintah, “stakeholder” serta masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini, peran pemerintah dan “stakeholder” yang sigap mengatasi banjir sangat diharapkan, terutama sektor-sektor yang berwenang menangani masalah banjir.
Namun hingga hari ini, peranan pemerintah dalam menangani masalah banjir masih jauh dari harapan. Ketika solusi yang diberikan hanya sekedar pemberian bantuan, pendirian shelter/tempat penampungan warga untuk membantu masyarakat yang terdampak bencana, serta penggalangan dana, maka itu masih jauh dari cukup. Masyarakat membutuhkan tindakan nyata agar bencana tersebut tidak terulang kembali, bukan bersabar menghadapi dan malah diminta ‘nrimo’ ketika bencana itu kembali lagi.
Untuk itu dibutuhkan penanganan bencana yang wajib dilaksanakan secara fundamental oleh negara, oleh penguasa yang sah. Yaitu dengan tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Ketika syariat ditegakkan secara kaffah, dan sistem islam yang digunakan oleh penguasa, maka pada aspek preventif, sistem Islam akan menetapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan, pemanfaatan SDA untuk kemaslahatan umat manusia, serta politik ekonomi berbasis syariat Islam.
Negara Islam, yakni Khilafah akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam mencegah bencana, seperti pembangunan bendungan, kanal, pemecah ombak, tanggul, reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, serta pengaturan memelihara kebersihan lingkungan. Penguasa Islam pun akan memberikan pemahaman mengenai ilmu lingkungan kepada masyarakat melalui sistem pendidikan islam yang gratis dan mampu dijangkau siapa saja, sehingga akan muncul pribadi-pribadi taat aturan dan bertakwa kepada Allah yang akan memelihara lingkungan sebaik mungkin serta takut dengan ancaman dan larangan Allah jika merusak lingkungan.
Sebab telah tertera jelas panduan Allah Swt dalam menjaga lingkungan. Larangan merusak lingkungan termaktub dalam surah Al-Baqarah: 205, “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” Wallahu’alam bisshawwab.
Views: 12
Comment here