Oleh : Sartinah (Pemerhati Masalah Publik)
wacana-edukasi.com– Pandemi Covid-19 telah memutus kebebasan bepergian bagi masyarakat. Setelah nyaris dua tahun pandemi, pemerintah akhirnya memberi kebebasan tersebut, tetapi dengan syarat masyarakat telah melakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) sebagai bukti bebas Covid-19. Namun harganya yang “selangit” membuat banyak masyarakat keberatan, tetapi tidak punya banyak pilihan.
Setelah banyaknya “hujan” kritik, pemerintah akhirnya menurunkan harga tes PCR. Tentu dengan tetap memperhitungkan untung-rugi. Untuk wilayah Jawa-Bali, pemerintah menetapkan HET tes PCR sebesar Rp275 ribu, sedangkan untuk luar Jawa-Bali ditetapkan sebesar Rp300 ribu. Dengan turunnya harga tes PCR tersebut, haruskah rakyat bersorak?
Sayangnya, penurunan HET tes PCR dikeluhkan oleh para pengusaha yang bergerak di bidang kesehatan. Mereka menilai HET untuk tes PCR cukup memberatkan. Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randi H Teguh mengatakan, rumah sakit, klinik, dan lab dapat dikategorikan terdesak. Mereka akan ditutup jika tidak melakukan layanan, tapi jika mereka melakukannya maka akan “buntung”(kumparan.com, 13/11/2021).
Kerugian yang dikeluhkan para pengusaha di bidang kesehatan tampaknya tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Penyediaan jasa tes PCR telah menjadi bisnis menggiurkan dan mampu menarik banyak keuntungan. Hal ini pun dinyatakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah. Menurutnya, selama berlangsungnya pandemi, para penyedia tes PCR mampu meraup untung hingga puluhan triliun. Sejak Oktober 2020 sampai Agustus 2021 saja, keuntungan para penyedia jasa PCR mencapai Rp10,46 triliun.
Persaingan Tak Sehat Bisnis Kesehatan, Rakyat Dirugikan
Sektor kesehatan kini menjadi bisnis menggiurkan. Banyaknya keuntungan yang mampu dihasilkan dari bisnis PCR ternyata menimbulkan persaingan tak sehat di kalangan para pengusaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut, perusahaan laboratorium dan rumah sakit melakukan modus-modus tertentu untuk memaksimumkan keuntungan.
Modusnya dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya dengan konsultasi dokter. Langkah ini dipastikan akan menambah biaya tes PCR hingga dua kali lipat. Modus lainnya yakni memberikan fasilitas ekspres terhadap masyarakat yang membutuhkan hasil cepat dari tes PCR. Sebab bila menunggu hasil tes normal dibutuhkan waktu sekitar sehari. Masyarakat yang menginginkan hasil cepat akhirnya tetap membayar meski biaya membengkak. Modus-modus berburu untung semacam ini jelas merugikan masyarakat.
Namun demikianlah jika sektor kesehatan yang menjadi hak dasar rakyat, diserahkan pelaksanaannya kepada swasta. Keselamatan nyawa manusia akhirnya dipertaruhkan. Para pengusaha di sektor kesehatan justru memanfaatkan pandemi demi meraup untung besar. Pola pengaturan kapitalistik di negeri ini memang menjadikan semua sektor berpotensi dibisniskan, termasuk sektor kesehatan. Para kapitalis akhirnya berhasil mengeksploitasi hajat dasar publik, sementara rakyat tetap tak berkutik.
Abainya Negara Menyediakan Hajat Dasar Rakyat
Kebutuhan akan fasilitas kesehatan sangat urgen, terlebih di masa pandemi. Negara seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan rakyatnya. Termasuk menyediakan tes PCR secara gratis. Sayangnya, kapitalisme telah mengaborsi peran negara dan hanya menempatkannya sebagai regulator dan fasilitator. Peran tersebut akhirnya menjadikan negara seolah memiliki keabsahan untuk melepas tanggung jawabnya mengurusi rakyat.
Negara akhirnya abai dan membiarkan rakyatnya berjibaku mengurusi kesehatannya sendiri. Terlebih di tengah pandemi, rakyat diterpa kebingungan karena kebijakan yang berubah-ubah. Belum lagi, rakyat juga harus membayar beraneka iuran yang memberatkan. Termasuk membayar berbagai tes sebagai bukti bebas Covid-19 agar dapat bepergian.
Pola pengurusan rakyat semacam ini merupakan ciri khas pengasuhan dalam sistem kapitalisme. Dalam kacamata kapitalisme tidak dikenal namanya pengorbanan. Yang ada hanyalah keuntungan. Karena itu, mustahil rasanya berhadap mendapat pelayanan kesehatan gratis di bawah sistem yang menjadikan materi sebagai prioritas.
Layanan Kesehatan Gratis dalam Islam
Kesehatan termasuk salah satu hak dasar rakyat selain pangan, sandang, papan, pendidikan, dan keamanan. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw. “Siapa saja yang mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari)
Demi terwujudnya hajat dasar publik, maka Allah Swt. memberikan amanatnya kepada negara, yakni khilafah untuk bertanggung jawab penuh. Rasulullah saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari: “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.”
Tanggung jawab pemenuhan tersebut mulai dari terpenuhinya jaminan pembiayaan kesehatan setiap orang; juga menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan; menyediakan peralatan kedokteran; menyediakan dan menyelenggarakan pendidikan SDM kesehatan; menyediakan obat-obatan dan teknologi terkini; serta sarana dan prasarana penunjang lainnya.
Terlebih di masa pandemi, di mana rakyat dihantui ketakutan terjangkit virus menular. Khalifah akan memberikan perhatian terbaik yang memprioritaskan keselamatan nyawa rakyat. Termasuk melakukan tes PCR secara gratis guna mengetahui siapa-siapa yang terdeteksi tertular virus. Negara tidak akan berhitung untung-rugi ketika menyediakan layanan kesehatan. Hal ini disebabkan karena pemenuhan pelayanan kesehatan oleh negara sepenuhnya merupakan jasa pelayanan sosial, bukan bisnis.
Pelayanan kesehatan terbaik dan berkualitas mustahil lahir dari rahim kapitalisme. Mustahil pula akan lahir para penguasa yang menjadikan keselamatan rakyat sebagai prioritas. Hanya dengan menjadikan sistem Islam sebagai solusi, kesejahteraan hakiki bisa terealisasi. Saatnya umat kembali kepada Islam yang telah nyata mampu membawa manusia pada keberkahan dan kesejahteraan di dunia juga di akhirat.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 3
Comment here